Penyaluran rumah bersubsidi diperkirakan segera habis, seiring dengan minimnya kuota tahun ini.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kuota rumah bersubsidi sebesar 166.000 unit pada tahun ini diprediksi bakal habis terserap pada triwulan III (Juli-September) 2024. Subsidi perumahan berupa fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan atau FLPP itu menurun jika dibandingkan tahun 2023 sebesar 220.000 unit.
Ketua Umum Lembaga Pengkajian bidang Perumahan, Permukman dan Pengembangan Perkotaan (The HUD Institute) Zulfi Syarif Koto, Minggu (5/5/2024), menyampikan, pihaknya memprediksi penyerapan FLPP akan habis sebelum Oktober 2024. Hal itu becermin dari penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi berupa FLPP tahun sebelumnya sebesar 220.000 unit yang habis terserap sebelum akhir tahun. Sementara pada tahun ini, kuota FLPP hanya 166.000 unit atau 75 persen jika dibandingkan tahun 2023.
Berdasarkan data Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), realisasi penyaluran dana FLPP per 3 Mei 2024 tercatat 69.365 unit atau 41,7 persen dari kuota FLPP tahun ini.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah, saat dihubungi secara terpisah, mengemukakan, penyerapan FLPP biasanya akan meningkat pesat mulai semester II (Juli-Desember). Penurunan kuota FLPP pada tahun ini dikhawatirkan membuat rumah bersubsidi akan lebih cepat habis terserap, yakni diperkirakan pada Juli 2024.
Aktivitas pekerja di proyek pembangunan perumahan subsidi di Desa Cibunar, Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (19/2/2024).
Kehabisan kuota FLPP akan berdampak signifikan pada masyarakat berpenghasilan rendah karena semakin sulit mengakses rumah. Dari sisi pengembang, kehabisan kuota FLPP juga membuat produksi rumah bersubsidi terhenti, termasuk industri-industri yang terkait properti.
”Kami berharap pada masa transisi pemerintahan, kuota rumah bersubsidi tetap terjaga sehingga prestasi presiden berjalan baik di masa transisi. Jangan sampai ada celah kekosongan dalam realisasi KPR bersubsidi,” kata Junaidi.
Ia menambahkan, guna menjaga kestabilan produksi rumah bersubsidi dan keterjangkauan masyarakat, pemerintah perlu menambah kuota rumah bersubsidi di sisa masa pemerintahan. Apalagi, pemerintahan mendatang telah mencanangkan program penyediaan tiga juta rumah per tahun. Jumlah ini tiga kali lipat dibandingkan dengan program sejuta rumah yang digulirkan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Kami berharap pada masa transisi pemerintahan, kuota rumah bersubsidi tetap terjaga sehingga prestasi presiden berjalan baik di masa transisi.
Sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, mengemukakan, pihaknya masih akan mengkaji penyaluran FLPP. ”Nanti saya akan diskusikan dengan Bank Tabungan Negara, kemudian dengan Kementerian Keuangan, kalau memang demand-nya (FLPP) tinggi akan saya minta tambahan untuk itu,” katanya, beberapa waktu lalu.
Pekerja merampungkan pembuatan rumah bersubsidi di kawasan Rabak, Bogor, Jawa Barat, Minggu (22/1/2023).
Badan percepatan perumahan
Menurut Junaidi, pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk membentuk Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3) guna mempercepat penyediaan rumah umum layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Pembentukan BP3 ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2021 tentang Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan. Regulasi itu merupakan tindak lanjut dari ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 50 dan Pasal 185 huruf b.
Hingga dua tahun regulasi itu ditetapkan, kelembagaan BP3 masih belum dibentuk oleh pemerintah. Peran badan khusus itu dinilai penting untuk keberpihakan pemerintah mengurusi perumahan rakyat, serta pencapaian target program 3 juta rumah per tahun.
BP3 memiliki peran strategis dan sinergis dengan Badan Bank Tanah dalam percepatan penyediaan tanah dan perumahan rakyat, serta kestabilan harga tanah untuk permukiman rakyat. Selain itu, peran konsolidasi dengan lintas kementerian/lembaga terkait perumahan, pembiayaan, dan pengelolaan dana konversi untuk hunian berimbang. Dalam konsep hunian berimbang itu berlaku komposisi 1:2:3, pembangunan setiap 1 rumah mewah harus diimbangi dengan pembangunan minimal 2 rumah menengah dan 3 rumah sederhana.
”Selama ini, kebijakan hunian berimbang dan konversinya nyaris tidak berjalan. BP3 berperan menghidupkan kembali konsep hunian berimbang untuk mengurai persoalan kekurangan rumah(backlog) yang masih tinggi,” lanjut Junaidi.
Ia mencontohkan, persoalan kekurangan rumah tidak hanya menimpa masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi juga masyarakat berpenghasilan menengah bawah dengan standar gaji Rp 8 juta-Rp 15 juta per bulan, atau sedikit di atas MBR. Di sisi lain, masyarakat yang masuk kategori penghasilan di bawah MBR yang membutuhkan bantuan rumah sosial, hingga kini belum sepenuhnya terakomodasi.
Pada 2020, sebanyak 13,6 juta keluarga tercatat belum memiliki rumah. Adapun pada 2022 keluarga yang belum memiliki rumah sebanyak 12,7 juta keluarga atau 20 persen dari jumlah keluarga.
Praktisi hukum perumahan dan perkotaan, Muhammad Joni, secara terpisah, mengemukakan, transformasi kelembagaan berupa pembentukan BP3 sangat mendesak karena kekurangan rumah yang masih tinggi, di samping itu rumah kumuh di perkotaan. Sementara itu, program sejuta rumah masih perlu tepat sasaran dengan fokus pada masyarakat berpenghasilan rendah, dan masyarakat sektor informal.
Suasana lingkungan perumahan subsidi di Desa Cibunar, Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (19/2/2024).
Ia menilai, salah satu masalah utama penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah adalah tidak adanya jaminan lahan yang terjangkau untuk mendorong rumah layak huni dan terjangkau. Kinerja badan bank tanah yang seharusnya menjadi aktor penyedia tanah perumahan selama ini dinilai tidak fokus dan tidak memprioritaskan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
”BP3 perlu dibentuk dan didorong menjadi aktor bank tanah perumahan masyarakat berpenghasilan rendah serta lembaga pembiayaan perumahan yang biaya murah dan berbeda dengan properti komersial,” kata Joni.