Capres-Cawapres Jangan Debatkan Kelanjutan atau Stop Hilirasi
Program hilirisasi yang digenjot empat tahun terakhir, khususnya di sektor mineral dan tambang, belum mampu mendongkrak kontribusi industri pengolahan terhadap ekonomi Indonesia.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2024 diharapkan menyiapkan strategi mengoptimalkan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah produk perdagangan. Program hilirisasi yang digenjot empat tahun terakhir, khususnya di sektor mineral dan tambang, belum mampu mendongkrak kontribusi industri pengolahan terhadap ekonomi Indonesia.
Jumat (22/12/2023) ini, tiga calon wakil presiden (cawapres) akan tampil dalam debat publik terkait isu ekonomi. Salah satu isu yang diantisipasi akan muncul dalam debat adalah hilirisasi yang dicanangkan pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satryo Nugroho, Kamis (21/12/2023), berpendapat, para calon presiden (capres) dan cawapres harus menawarkan konsep baru bagi program hilirisasi. Isu ini menjadi tantangan bagi mereka yang akan dipilih rakyat pada 14 Februari 2024 nanti.
”Kita ingin mendengar, bukan hanya menolak atau meneruskan hilirisasi, tapi kita ingin melihat model hilirisasi apa yang akan dikembangkan masing-masing capres dan cawapres,” ujarnya dalam diskusi publik secara daring.
Ia mengatakan, konsep hilirisasi yang dilakukan pemerintah sekitar empat tahun terakhir masih lebih mencolok pada upaya menghentikan ekspor barang mentah dan menarik permodalan untuk membangun industri pengolahannya. Seperti diketahui, program hilirisasi diawali dengan komoditas mineral dan tambang, yaitu nikel dan tembaga.
Realisasi investasi untuk pengembangan hilirisasi, menurut data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), juga mencapai seperempat atau Rp 266 triliun dari total realisasi investasi di Tanah Air yang sebesar Rp 1.053 triliun sejak Januari-September 2023. Dari seperempat jumlah tersebut, mayoritas digunakan untuk membangun pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) nikel (Rp 97 triliun) dan tembaga (Rp 47,6 triliun).
Sayangnya, realisasi investasi itu belum berdampak pada kontribusi industri pengolahan atau manufaktur yang terus merosot 20 tahun terakhir. Pada tahun 2022, industri pengolahan hanya menyumbang 18,3 persen terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Padahal, pada 2004 angkanya masih sekitar 29 persen.
Sementara itu, kontribusi sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDB terus melejit. Setidaknya, sejak tahun 2020 hingga tahun 2022 terjadi peningkatan hampir dua kali lipat dari 6,44 persen menjadi 12,22 persen, mengutip data Badan Pusat Statistik.
”Jadi, pertanyaannya, apa sudah optimal hilirisasi ini, karena kontribusi pengolahan menurun dibandingkan sektor ekstraktif?” kata Andry.
Ia sendiri menerangkan, hilirisasi yang mayoritas masih berfokus pada produk mineral tersebut belum optimal karena rendahnya produktivitas tenaga kerja di sektor manufaktur.
Berdasarkan data yang diolah Indef, produktivitas berdasarkan jumlah karyawan di Indonesia masih di bawah Thailand, Vietnam, dan China yang menempati urutan teratas. Kemudian, total faktor produktivitas Indoensia, yang diukur Asian Productivity Organization (APO) 2023, juga terus merosot dalam 20 tahun terakhir. Dalam hal ini, Indonesia kalah dari Malaysia, Thailand, Vietnam, dan China. Data BPS juga mencatat, kontribusi tenaga kerja sektor manufaktur pun mengalami stagnansi tujuh tahun terakhir.
Data tersebut menunjukkan, Indonesia belum bisa memaksimalkan investasi hilirisasi untuk menyerap tenaga kerja secara maksimal. Selain isu tersebut, proyek hilirisasi untuk sektor nontambang juga harus mampu dicarikan solusi oleh ketiga pasangan capres-cawapres. Pemerintah memang mulai mengarahkan agar penambahan nilai tambah produk perdagangan diperluas, seperti ke sektor pertanian dan kehutanan. Namun, sektor tersebut belum menarik investasi yang tinggi (Kompas.id, 28/10/2023).
”Para calon harus menjawab bagaimana indikator kesejahteraan yang masih rendah di wilayah hilirisasi perlu diselesaikan, lalu bagaimana komoditas alam didorong agar masuk proses hilirisasi,” pungkasnya.
Hilirisasi nikel
Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef, Ahmad Heri Firdaus, menambahkan, hilirisasi yang dikerjakan Indonesia penting untuk memperkuat fundamental perdagangan, seperti hilirisasi nikel yang sejalan dengan strategi transisi ke energi terbarukan dengan perluasan kendaraan listrik.
”Kita harus mengambil posisi. Ke depan harus jadi supplier, agar posisi di global value chain meningkat,” katanya pada kesempatan yang sama.
Ia mengakui, upaya itu memang tidak lepas dari resistansi pihak eksternal. Sejak Indonesia mengeluarkan larangan ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019, negara-negara pengimpor nikel dalam negeri, seperti Uni Eropa, melawan dengan sikap geopolitiknya. Perlawanan itu seperti memberi kebijakan nontarif berupa sertifikat ramah lingkungan pada barang ekspor kehutanan yang biasa dijual ke wilayah Eropa.
”Persoalan nikel ini bukan hanya bicara soal transisi energi, tetapi bagaimana strategi diplomasi, strategi bicara dengan negara-negara mitra perdagangan,” ujar Ahmad.
Laporan Woodmac pada akhir 2022 mencatat, pasokan nikel Indonesia ke pasar global sekitar 1,5 juta ton dari total permintaan global sekitar 3,1 juta ton. Indonesia menguasai pasokan nikel global bersama dengan China. Pasokan produksi tambang itu kini diolah di 15 smelter nikel di seluruh Indonesia.
Ke depan, kontribusi nikel Indonesia untuk pasokan global diproyeksikan naik sampai 70 persen. Sementara itu, stok tersebut akan diolah lebih maksimal menjadi barang bernilai tambah dengan penambahan beberapa smelter pada tahun-tahun mendatang.
Kekayaan cadangan mineral, seperti nikel, juga dinilai membuat hilirisasi mineral punya ruang pertumbuhan yang besar di masa datang. Untuk itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Agraria, Tata Ruang, dan Kawasan Sanny Iskandar mengatakan, Indonesia membutuhkan lebih banyak pabrik pengolahan.
”Di sinilah muncul kebutuhan pengembangan kawasan industri. Ini agar industri yang terbangun bisa terkonsentrasi dan memiliki efisiensi karena berada dalam kawasan yang memiliki infrastruktur yang telah terintegrasi,” katanya (Kompas.id, 20/12/2023).