Mimpi Jadi Dokter Spesialis Terkubur, Perundungan Bukan Hal Normal
Perundungan pada peserta PPDS patut menjadi perhatian dalam perbaikan sistem pendidikan kedokteran di Indonesia.
Beratnya menjalani pendidikan kedokteran sudah disadari oleh OK (33) jauh hari sebelum ia masuk dalam program pendidikan dokter spesialis pada awal 2023. Namun, ia tak menyangka proses yang harus dilewatinya sangat berat.
Bukan perkara berat karena pendidikan akademik dan pembelajaran dalam pelayanan pada pasien, tetapi lebih kepada tekanan yang didapatkan dari dosen dan seniornya. Bahkan, ternyata juga berat di ”ongkos”. Biaya untuk pendidikan kedokteran yang sudah cukup besar, masih ditambah lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk menjamu dan membayar aneka permintaan dosen-dosennya.
“Saya tidak sanggup. Saya ini bukan dari keluarga yang kaya raya jadi kalau membayangkan harus mengeluarkan ratusan juta lagi di luar pendidikan, saya sudah tidak sanggup,” kata OK ketika dihubungi akhir pekan lalu.
OK yang saat ini merupakan dokter umum memutuskan keluar dari program pendidikan dokter spesialis (PPDS) pada 2023 lalu. Padahal, ia baru menjalani PPDS selama satu semester. Saat itu, ia menjalani pendidikan di salah satu perguruan tinggi di wilayah Indonesia timur.
Baca juga: Perundungan dan Kekerasan Picu Gejala Depresi Calon Dokter Spesialis
Kata-kata kasar hampir tiap hari ia dapatkan dari senior ataupun konsulen atau dosen pembimbing. Makian serta berbagai umpatan didapatkannya ketika ia melakukan kesalahan kecil. Ia pernah mengalami, pada suatu ketika ia tidak membawa alat-alat perkakas, seperti tang. Saat salah satu dosen meminta alat tersebut dan ia tidak membawa, dosen tersebut langsung marah besar. Itu juga pernah terjadi ketika ia terlambat lima menit ketika diminta menjemput dosennya di rumah dosen tersebut.
OK mengatakan, tekanan-tekanan yang didapatkan sering kali dianggap para dosen sebagai dalih untuk pembentukan mental dan karakter para residen. Namun, menurut dia, itu justru memperburuk sikap dari orang yang menerima tekanan tersebut.
“Yang semakin memberatkan saya saat menjadi PPDS itu bukan soal tugas ketika jaga malam atau ditegur ketika kurang cekatan, karena itu masih bisa saya perbaiki. Namun, saya semakin tidak nyaman karena hal-hal yang tidak masuk akal. Beberapa kali saya harus membelikan dosen saya sepatu atau bahkan karpet untuk mobilnya seharga Rp 4 juta,” katanya.
Baca juga: Pendidikan Dokter Spesialis Dikaji Bersama
Permintaan-permintaan tersebut, tambah OK, tidak hanya sesekali. Sering kali, ia harus membelikan kain ataupun pakaian untuk dosen-dosennya. Pernah juga ketika ia harus membayar biaya cetak (print) seniornya, ia harus membayar sampai Rp 9 juta. Hal-hal seperti itu pun dianggap normal dan wajar. Jika dihitung-hitung, selama satu semester lebih dari Rp 100 juta sudah ia keluarkan di luar biaya pendidikan.
Saya semakin tidak nyaman karena hal-hal yang tidak masuk akal. Beberapa kali saya harus membelikan dosen saya sepatu atau bahkan karpet untuk mobilnya seharga Rp 4 juta.
Apabila permintaan-permintaan tersebut ditolak, para dosen tidak segan-segan mempersulit proses pendidikan dari peserta PPDS tersebut. Sejumlah peserta PPDS yang pernah menolak permintaan-permintaan sempat tidak lulus saat ujian.
“Saya akhirnya memutuskan mengundurkan diri. Kondisi keuangan keluarga saya pas-pasan. Saya masih proses pendidikan dan belum dapat pendapatan. Sementara orangtua saya hanya tinggal ibu saya. Jika dilanjutkan, saya tidak akan mampu membiayai kebutuhan-kebutuhan itu,” tutur OK.
Perundungan
Persoalan perundungan pada peserta PPDS bukan hal baru. Meski itu tidak terjadi di semua pusat pendidikan PPDS, tidak sedikit kasus perundungan yang ditemukan selama ini. Dari laporan Kementerian Kesehatan tahun 2023 lalu, setidaknya ada 91 pengaduan perundungan yang diterima pada 20 Juli-15 Agustus 2023.
Dari data itu, 44 laporan terjadi di rumah sakit yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan, 17 laporan di RS umum daerah di 6 provinsi, 16 laporan di fakultas kedokteran di 8 provinsi, 6 laporan di rumah sakit milik perguruan tinggi, 1 laporan di RS TNI/Polri, dan 1 laporan lain dari RS swasta. Sebagian besar laporan perundungan terkait dengan permintaan biaya di luar kebutuhan pendidikan, pelayanan dan penelitian, serta penugasan jaga di luar batas yang wajar.
Selain itu, laporan terbaru dari Kementerian Kesehatan menunjukkan, 22,4 persen peserta PPDS terdeteksi mengalami gejala depresi dan 3,3 persen di antaranya ingin mengakhiri hidup atau melukai diri sendiri. Itu ditemukan dari hasil skrining yang dilakukan terkait kesehatan jiwa peserta PPDS di 28 rumah sakit vertikal milik Kementerian Kesehatan. Persoalan perundungan diduga menjadi salah satu penyebab tingginya depresi pada peserta PPDS.
Perundungan pada pelaksanaan PPDS yang sampai membuat seorang calon dokter spesialis mengundurkan diri menjadi ironi di tengah situasi kekurangan dokter, terutama dokter spesialis di Indonesia. Dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional pada pertengahan April 2024, Presiden Joko Widodo menyampaikan, situasi kekurangan dokter menjadi masalah terbesar di Indonesia. Rasio dokter saat ini masih 0,47 per 1.000 penduduk. Bahkan, masih ada 34 persen rumah sakit umum daerah yang belum memiliki dokter spesialis.
Terkait masalah perundungan yang terjadi pada pelaksanaan program PPDS, Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan Arianti Anaya menuturkan, perbaikan sistem pendidikan pada program PPDS akan terus dilakukan. Meski tidak mudah, proses perbaikan dan pengawasan akan dijalankan untuk mencegah tindakan perundungan terjadi dalam sistem pendidikan kedokteran di Indonesia.
Baca juga: Depresi, 3,3 Persen Calon Dokter Spesialis Ingin Akhiri Hidup atau Lukai Diri
”Bagi sebagian orang, (perundungan) itu dianggap biasa pada PPDS. Itu tidak bisa lagi sekarang ini. Jadi kita akan mulai benahi. Setidaknya pencegahan akan dilakukan dengan pemberian sanksi. Jika terbukti melakukan perundungan, akan kami cabut SIP-nya,” katanya.
Di lain sisi, Arianti mengatakan, Kementerian Kesehatan juga akan memberikan penghargaan pada dosen-dosen yang tidak memiliki catatan teguran. Penghargaan tersebut dapat digunakan untuk mendapatkan gelar profesor klinis dari Kementerian Kesehatan.
Masalah perundungan pada peserta PPDS telah menjadi isu yang menjadi perhatian bagi organisasi profesi kedokteran. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah mengeluarkan Fatwa Etik Kedokteran tentang Perundungan pada Lingkungan Profesi Kedokteran.
Dalam fatwa itu disebutkan, setiap dokter di Indonesia tidak boleh melakukan tindak perundungan dalam bentuk apa pun terhadap sejawat dokter, tenaga kesehatan, peserta didik, rekan kerja, sesama pengurus organisasi profesi kedokteran, pasien, keluarga atau wali pasien, dan masyarakat. Disebutkan pula, tindakan perundungan merupakan bentuk pelanggaran terhadap etika kedokteran ataupun etika dan aturan umum.
Selain itu, tindakan perundungan di lingkungan pendidikan kedokteran juga dinilai dapat memberikan contoh yang buruk pada generasi muda dan dapat memberikan paradigma yang keliru bahwa perundungan adalah hal yang wajar. Karena itu, tindak tegas harus dilakukan pada setiap praktik perundungan dalam pendidikan kedokteran.