Suar Matahari Picu Pemadaman Sinyal Radio di Pasifik
Suar Matahari berkekuatan besar terjadi Rabu (1/5/2024). Suar ini menimbulkan gangguan sinyal radio di sekitar Pasifik.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
Ledakan dahsyat terjadi di permukaan Matahari Rabu (1/5/2024) pagi hingga memicu terjadinya suar Matahari. Suar yang sangat kuat ini memicu gangguan sinyal radio di Pasifik. Seiring makin dekatnya puncak siklus aktivitas Matahari, ledakan di Matahari masih akan terus terjadi dan meningkatkan kewaspadaan terhadap sejumlah teknologi manusia.
Puncak suar itu terjadi pada Selasa (30/4/2024) pukul 23.46-23.58 waktu universal atau Rabu (1/5/2024) antara pukul 06.46-06.58 WIB. Ledakan tersebut terjadi pada daerah yang memiliki bintik Matahari R3654. Menurut Space Weather, suar ini masuk kelas M9,53 alias sedikit lagi masuk kelompok suar terkuat dengan kelas X.
Bintik Matahari adalah daerah gelap di fotosfer atau permukaan Matahari. Kemunculan bintik ini menjadi tanda meningkatnya aktivitas Matahari. Bintik ini terbentuk akibat adanya fluks atau aliran magnet yang sangat kuat dari dalam Matahari. Dengan demikian, bintik ini memiliki medan magnet lebih besar dibandingkan daerah sekitarnya.
Selain kuatnya medan magnet, bintik Matahari terlihat lebih gelap dibandingkan daerah sekitarnya karena medan magnet yang mengelilingi bintik tersebut membelokkan panas. Akibatnya, bagian tengah bintik menjadi lebih dingin. Bintik ini bisa bertahan beberapa jam hingga beberapa bulan.
Ledakan pada bintik memicu terjadinya suar yang kekuatannya dikelompokkan dalam kelas A, B, C, M, dan X. Kelas A memiliki ledakan paling lemah dan X yang paling kuat. Kekuatan ledakan kelas A sepersepuluh kelas B atau kekuatan kelas B sebesar 10 kali kelas A, dan seterusnya. Jadi, kekuatan suar kelas X adalah 10 kali suar kelas M atau 100 kali suar kelas C.
Dari setiap kelas suar, dibagi lagi menjadi 1-9 yang menggambarkan kekuatan relatif suar dengan makin besar angkanya, berarti makin besar kekuatannya. Meski demikian, ada sejumlah suar yang kekuatannya melampaui kelas X9. Salah satunya adalah suar yang terjadi pada 2003 yang kekuatannya diprediksi mencapai X45.
Suar kelas C adalah suar terlemah yang bisa memengaruhi Bumi secara nyata. Suar C ini kerap terjadi, tapi jarang memicu lontaran massa korona (CME) yang berdampak langsung ke Bumi. Suar kelas M bisa memicu pemadaman sinyal radio secara singkat di daerah sekitar kutub Bumi serta menimbulkan badai radiasi kecil yang membahayakan antariksawan yang sedang bertugas di luar angkasa.
Saat ini pengukuran kekuatan suar itu salah satunya dilakukan menggunakan satelit Geostationary Operational Environmental Satellites 16 (GOES-16) milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) dan Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS (NOAA).
Suar pada 30 April itu memicu pemadaman sinyal radio gelombang pendek di wilayah Pasifik. Wilayah yang terdampak paling besar oleh suar ini adalah wilayah yang sedang mengalami tengah hari. Di Indonesia, wilayah timur akan mengalami gangguan sinyal radio lebih besar dibandingkan wilayah tengah dan barat Indonesia.
”Pelaut dan operator radio amatir mungkin menyadari hilangnya sinya radio dengan frekuensi di bawah 20 megahertz (MHz) selama 30 menit setelah puncak terjadinya suar,” lapor Space Weather.
Sementara itu, pantauan Sistem Monitoring Cuaca Antariksa (SWIFtS) Badan Riset dan Inovasi Nasional menyebut ledakan Matahari pada 30 April itu memicu gangguan ionosfer yang bersifat moderat. Akibatnya, gangguan sinyal radio yang terjadi antara 1-2 Mei 2024 pun berlangsung moderat.
Gangguan sinyal radio ini biasanya terjadi tak lama setelah terjadinya suar. Suar itu memancarkan gelombang sinar-X dan radiasi ultraviolet yang kuat ke luar angkasa. Jika pancaran radiasi itu mengarah ke Bumi, radiasi itu hanya butuh waktu sekitar 8 menit untuk sampai di Bumi.
Saat tiba di Bumi, radiasi ini langsung mengionisasi atmosfer bagian atas. Ionisasi itu membuat atmosfer bagian atas menjadi lebih rapat sehingga bisa mengganggu pemantulan sinyal radio gelombang pendek frekuensi tinggi. Padahal, sinyal radio ini digunakan untuk komunikasi jarak jauh.
Pelaut dan operator radio amatir mungkin menyadari hilangnya sinya radio dengan frekuensi di bawah 20 megahertz (MHz) selama 30 menit setelah puncak terjadinya suar.
Pusat Prakiraan Cuaca Antariksa NOAA menyebut gelombang radio yang berinteraksi dengan elektron di atmosfer bagian atas yang terionisasi itu akan kehilangan energi karena makin sering bertumbukan dengan elektron. Akibatnya, kekuatan sinyal radio akan menurun atau bisa terserap seluruhnya.
Menuju puncak
Ledakan Matahari yang menimbulkan suar dengan kekuatan hampir mendekati kelas suar terkuat ini menunjukkan puncak dari siklus 11 tahunan aktivitas Matahari semakin dekat. Kemunculan bintik Matahari makin sering dan kian banyak sehingga membuat potensi terjadi suar, lontaran massa korona (CME), dan badai Matahari atau badai magnetik makin besar.
Ahli fisika Matahari di Observatorium Matahari Nasional di Boulder, Colorado, AS di akun X-nya seperti dikutip dari Space, 1 Mei 2024 menyebut, jumlah bintik Matahari terus meningkat selama beberapa minggu terakhir. Karena itu, suar yang mendekati kelas X yang terjadi 30 April lalu diyakini akan diikuti suar kelas X berikutnya.
Siklus Matahari saat ini adalah siklus ke-25 yang terjadi sejak Desember 2019. Seperti dikutip dari The Washington Post, 14 Januari 2024, siklus ini diperkirakan akan mencapai puncak pada Januari-Oktober 2024. Namun, aktivitas tinggi Matahari masih akan berlangsung hingga 2025-2026.
Situasi ini membuat peneliti Matahari dan lembaga pemantau cuaca antariksa dunia aktif memantau kondisi Matahari. Cuaca antariksa berdampak langsung pada teknologi manusia, khususnya jaringan listrik di daerah lintang tinggi atau di sekitar kutub.
Aktivitas Matahari juga berdampak langsung pada teknologi manusia yang ada di angkasa dan luar angkasa, seperti meningkatnya paparan radiasi pada pesawat terbang dan gangguan pada satelit.
Meski demikian, peningkatan aktivitas Matahari ini tidak berdampak langsung pada manusia dan makhluk hidup di Bumi. Medan magnet Bumi menjadi pelindung makhluk hidup dari bombardir radiasi dan partikel bermuatan dari luar angkasa. Medan magnet inilah yang membuat makhluk hidup masih bertahan di Bumi hingga saat ini.
Namun, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi manusia, manusia menjadi semakin bergantung pada teknologi buatannya. Jika teknologi itu akhirnya terdampak langsung dari peningkatan aktivitas Matahari, dampaknya pada manusia modern akan sangat terasa.