Orangutan Bisa Mengobati Luka dengan Tanaman Antiinflamasi dan Pereda Nyeri
Orangutan sumatera dapat mengobati luka dengan mengoleskan getah tanaman berkhasiat antiinflamasi dan pereda nyeri.
JAKARTA, KOMPAS — Hewan diketahui memiliki perilaku pengobatan sendiri. Riset terbaru menemukan, orangutan sumatera bisa mengobati lukanya dengan tanaman penyembuh, yakni mengoleskan getah tanaman berkhasiat antiinflamasi dan pereda nyeri yang juga digunakan manusia.
Meski terbukti ada perilaku pengobatan sendiri pada hewan, sebelumnya tidak diketahui bahwa hewan bisa mengobati lukanya dengan tanaman penyembuh. Studi terbaru tersebut mengungkap metode pengobatan sendiri itu.
Para ahli biologi dari Max Planck Institute of Animal Behavior, Jerman, dan Universitas Nasional, Indonesia, telah mengamati praktik penyembuhan pada orangutan sumatera jantan yang mengalami luka di bagian wajah.
Orangutan ini memakan dan berulang kali mengoleskan getah tanaman merambat yang memiliki khasiat antiinflamasi dan pereda nyeri yang biasa digunakan dalam pengobatan tradisional. Orangutan yang mengalami luka ini juga menutupi seluruh lukanya dengan daun yang telah dikunyah.
Baca juga: Orangutan Belum Terbebas dari Ancaman Kepunahan
Temuan ini dipublikasikan di Scientific Reports, bagian dari jurnal Nature, pada Kamis (2/5/2024). Isabelle B Laumer dan Caroline Schuppli dari Development and Evolution of Cognition Research Group, Max Planck Institute of Animal Behavior, menjadi penulis utama.
Laporan juga ditulis Arif Rahman, Tri Rahmaeti, dan Sri Suci Utami Atmoko dari Fakultas Biologi dan Pertanian Universitas Nasional; Ulil Azhari dari SUAQ Project, Medan; serta Hermansyah dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL).
Dalam laporannya, para peneliti menyebutkan, meski perilaku sakit dan menghindar sering diamati pada hewan nonmanusia, pengobatan sendiri dalam bentuk menelan bagian tumbuhan tertentu tersebar luas pada hewan, tetapi frekuensinya rendah.
Kerabat terdekat manusia, kera besar, diketahui memakan tanaman tertentu untuk mengobati infeksi parasit dan menggosokkan bahan tanaman pada kulit mereka untuk mengobati nyeri otot.
Baru-baru ini sekelompok simpanse di Gabon diamati mengoleskan serangga pada luka. Namun, efisiensi dari perilaku ini masih belum diketahui. Perawatan luka dengan bahan aktif biologis sejauh ini belum didokumentasikan.
Dalam riset terbaru ini, tim peneliti melaporkan bukti pengobatan luka aktif dengan tanaman penyembuh pada orangutan sumatera (Pongo abelii) jantan liar. Perilaku orangutan ini diamati di lokasi riset Suaq Balimbing, Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh.
Kawasan tersebut merupakan hutan hujan lindung yang menjadi rumah bagi sekitar 150 orangutan sumatera yang terancam punah.
”Selama pengamatan harian terhadap orangutan, kami melihat seekor pejantan bernama Rakus mengalami luka di bagian wajah, kemungkinan besar setelah berkelahi dengan pejantan tetangganya,” kata Laumer, dalam keterangan yang dirilis Max Planck Society.
Baca juga: Orangutan Dianiaya, Diperdagangkan, dan Dibunuh
Tiga hari setelah cedera, Rakus secara selektif merobek daun tanaman liana dengan nama umum akar kuning (Fibraurea tinctoria), mengunyahnya, lalu berulang kali mengoleskan sari yang dihasilkan pada luka selama beberapa menit. Terakhir, ia menutupi seluruh lukanya dengan daun yang sudah dikunyah.
Laumer mengatakan, spesies liana ini dan spesies terkait lainnya yang dapat ditemukan di hutan tropis Asia Tenggara dikenal karena efek analgesik dan antipiretiknya. ”Spesies-spesies ini digunakan dalam pengobatan tradisional untuk mengobati berbagai penyakit, seperti malaria,” ujarnya.
Analisis senyawa kimia tanaman menunjukkan adanya furanoditerpenoid dan alkaloid protoberberin, yang memiliki aktivitas antibakteri, antiinflamasi, antijamur, antioksidan, dan aktivitas biologis lain yang relevan dengan penyembuhan luka.
Pengamatan pada hari-hari berikutnya tidak menunjukkan tanda-tanda luka terinfeksi dan setelah lima hari luka sudah tertutup.
Peneliti juga mengamati bahwa Rakus beristirahat lebih banyak daripada biasanya saat terluka. Tidur berdampak positif pada penyembuhan luka karena pelepasan hormon pertumbuhan, sintesis protein, dan pembelahan sel meningkat saat tidur.
Bukan kebetulan
Seperti semua perilaku pengobatan mandiri pada hewan selain manusia, kasus yang dilaporkan dalam penelitian ini menimbulkan pertanyaan tentang seberapa disengaja perilaku tersebut dan bagaimana perilaku tersebut muncul.
”Perilaku Rakus tampaknya disengaja karena ia secara selektif merawat luka wajah di bagian kanannya, dan tidak di bagian tubuh lainnya, dengan sari tanaman,” kata Laumer.
Perilaku tersebut juga diulangi beberapa kali, tidak hanya dengan sari tumbuhan, tetapi juga kemudian dengan lebih banyak bahan tanaman padat sampai luka tertutup seluruhnya. Keseluruhan prosesnya memakan waktu yang cukup lama.
Baca juga: Pembunuhan Orangutan di Kalimantan Terus Terjadi, Populasi Menurun
Menurut Caroline Schuppli, ada kemungkinan pengobatan luka dengan Fibraurea tinctoria pada orangutan di Suaq muncul melalui inovasi individu. ”Orangutan di lokasi tersebut jarang memakan tanaman tersebut,” ujarnya.
Namun, ada orangutan yang tak sengaja menyentuh luka mereka saat memakan tanaman ini dan mengoleskan sari tanaman tersebut ke luka mereka.
”Karena Fibraurea tinctoria memiliki efek analgesik yang kuat, orangutan mungkin langsung merasakan pelepasan rasa sakit. Hal ini menyebabkan mereka mengulangi perilaku tersebut beberapa kali,” ungkapnya.
Karena Fibraurea tinctoria memiliki efek analgesik yang kuat, orangutan mungkin langsung merasakan pelepasan rasa sakit. Hal ini menyebabkan mereka mengulangi perilaku tersebut beberapa kali.
Karena perilaku tersebut belum pernah diamati sebelumnya, pengobatan luka dengan Fibraurea tinctoria sejauh ini belum ada dalam daftar perilaku populasi orangutan Suaq. Seperti semua orangutan jantan dewasa di wilayah tersebut, Rakus tidak lahir di Suaq, dan asal-usulnya tidak diketahui.
”Orangutan jantan berpencar dari daerah kelahirannya selama atau setelah masa pubertas dalam jarak jauh untuk membangun wilayah jelajah baru di wilayah lain atau berpindah antarwilayah jelajah orang lain,” tutur Schuppli.
Ada kemungkinan perilaku itu ditunjukkan lebih banyak individu dalam populasi kelahirannya di luar wilayah riset Suaq.
Wawasan baru
Perilaku yang mungkin inovatif ini menyajikan laporan pertama mengenai penanganan luka aktif dengan zat aktif biologis pada spesies kera besar. Hal ini memberikan wawasan baru mengenai adanya pengobatan mandiri pada kerabat terdekat kita dan asal mula evolusi pengobatan luka secara lebih luas.
”Perawatan luka pada manusia kemungkinan besar pertama kali disebutkan dalam sebuah naskah medis yang berasal dari tahun 2200 SM, yang mencakup pembersihan, pemlesteran, dan pembalutan luka dengan bahan perawatan luka tertentu,” kata Schuppli.
Bentuk pengobatan luka aktif tak hanya terjadi pada manusia, tapi juga dapat ditemukan pada kera besar Afrika dan Asia. Jadi, ada mekanisme umum mendasari pengenalan dan penerapan zat bersifat medis atau fungsional pada luka dan nenek moyang kita yang menunjukkan bentuk perilaku salep serupa.