Perkebunan Kelapa Sawit Merusak Daerah Aliran Sungai di Papua Barat
Riset membuktikan dampak buruk perkebunan sawit terhadap penurunan kualitas daerah aliran sungai di Papua Barat.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penelitian terbaru di wilayah Daerah Aliran Sungai Kais, Papua Barat, berhasil mengukur dampak buruk perkebunan sawit terhadap peningkatan limpasan permukaan air, hasil sedimen, serta kandungan zat pencemar, seperti nitrogen dan fosfor.
Karena banyak warga masyarakat adat bergantung pada air di hilir perkebunan untuk kebutuhan sehari-hari, penurunan kualitas air yang signifikan berpotensi memperburuk masalah kesehatan mereka.
Permintaan global terhadap minyak sawit telah mendorong deforestasi hutan tropis di seluruh dunia. Banyak riset menunjukkan hilangnya keanekaragaman hayati ketika hutan hujan diubah jadi perkebunan kelapa sawit.
Namun, para peneliti di Universitas Massachusetts Amherst (UMass Amherst) menjadi yang pertama menunjukkan gangguan yang berdampak luas terhadap daerah aliran sungai di mana perkebunan tersebut berada.
Studi ini dipublikasikan baru-baru ini di Science of the Total Environment, dengan penulis pertama Briantama Asmara, yang menyelesaikan pekerjaan ini sebagai bagian dari studi pascasarjana di UMass Amherst, dan penulis senior Timothy Randhir, profesor konservasi lingkungan di UMass Amherst.
Kedua peneliti fokus pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Kais di Sorong Selatan, Papua Barat, yang luasnya lebih dari 1.000 mil persegi.
Sekitar seperempat daerah aliran sungai ini telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Daerah aliran sungai ini juga dihuni oleh sejumlah kelompok masyarakat adat Papua.
”Daerah Aliran Sungai Kais, seperti banyak tempat perkebunan kelapa sawit berada, sangat terpencil dan belum diteliti dengan baik,” kata Randhir dalam keterangan tertulis yang dirilis UMass Amherst, Kamis (2/5/2024).
Asmara menuturkan, meskipun perusahaan kelapa sawit mempunyai banyak data tentang pestisida yang mereka gunakan, waktu irigasi yang mereka lakukan, masalah limpasan air, dan lain-lain, informasi tersebut tidak sampai kepada masyarakat di hilir.
”Saya meneliti ini karena saya ingin mendapatkan data yang lebih baik dan tersedia untuk umum bagi orang-orang yang hidupnya paling terkena dampak," ungkapnya.
Dalam penelitian ini, Asmara dan Randhir menggunakan alat penilaian tanah dan air (soil and water assessment tool/SWAT+) yang menilai bagaimana hidrologi suatu wilayah merespons berbagai skenario penggunaan lahan.
Mereka kemudian memasukkan data model tutupan lahan, tanah, ketinggian, jaringan aliran sungai, dan data iklim di DAS Kais.
Mereka menanggung semua dampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat, sementara perusahaan kelapa sawit internasional yang menuai hasilnya.
Tim ini membuat model dalam tiga skenario berbeda: data dasar historis, menggunakan data tutupan lahan dari tahun 2010–2015; serta skenario yang diubah, mewakili lanskap kontemporer dengan perkebunan kelapa sawit yang besar pada tahun 2015-2021.
Selain itu, tim peneliti tersebut membuat skenario masa depan, yang memperkirakan dari tahun 2024 hingga 2034, dengan mengasumsikan tingkat ekspansi perkebunan stabil dan mencakup data perubahan iklim untuk 10 tahun ke depan.
Menurunkan mutu air
Temuan mereka menunjukkan, transisi dari hutan hujan tropis ke perkebunan kelapa sawit telah meningkatkan curah hujan, limpasan, dan kelembaban tanah.
Kualitas air menjadi jauh lebih buruk sejak penanaman dimulai dengan indikator sedimentasi meningkat sebesar 16,9 persen, nitrogen 78,1 persen, dan fosfor 144 persen.
Meski dampak terburuk terhadap kualitas air akan sedikit berkurang sesuai skenario masa depan tim, total tonase fosfor yang dibawa oleh DAS akan menurun dari 2.418 ton menjadi 2.233,7 ton serta mutu air akan jauh lebih buruk.
Tim periset juga menemukan, akan terdapat lebih banyak limpasan air daripada yang dihasilkan oleh DAS dibandingkan sebelum hutan hujan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. ”Masyarakat adat di hilir yang bergantung pada sungai dan aliran sungai di daerah aliran sungai sangat rentan,” kata Randhir.
”Mereka menanggung semua dampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat, sementara perusahaan kelapa sawit internasional yang menuai hasilnya,” katanya menambahkan.
Temuan ini, menurut Asmara, dapat membantu memitigasi risiko secara lebih adil. ”Kini setelah kami mengukur dampak perkebunan kelapa sawit terhadap daerah aliran sungai, industri maupun pemerintah daerah (seharusnya) dapat mengambil tindakan,” ujarnya.
Asmara dan Randhir menyarankan kepada pemerintah untuk membatasi penggunaan pestisida, terutama selama periode banjir, serta memantau mutu air secara terus-menerus dan menjaga penyangga tepi sungai. Selain itu, yang terpenting adalah memastikan masyarakat di hilir memiliki akses informasi terkini mengenai mutu air.