Riwayat Tsunami Pulau Gunung Ruang dan Risikonya ke Depan
Pulau gunung api Ruang di Sulawesi Utara memiliki riwayat erupsi disertai tsunami dan itu bisa berulang di masa depan.
Pulau gunung api Ruang di Kabupaten Sitaro, Sulawesi Utara, kembali erupsi dan memicu evakuasi penduduk di pulau-pulau sekitarnya. Selain ancaman dari karakter letusannya yang eksplosif disertai awan panas, longsoran lereng gunung api ini saat erupsi pada Maret 1871 pernah memicu tsunami besar yang menewaskan setidaknya 400 orang.
Kesaksian mengenai dahsyatnya tsunami yang dipicu erupsi Gunung Ruang ini dilaporkan zoolog dan antropolog Jerman, Adolf Bernhard Meyer, dalam buku Ornithological Miscellany (1877). ”Saya menyaksikan, pada 1871, di Pulau Ruang, dekat Tagulanda, terjadi letusan gunung berapi yang mengerikan,” ujar Meyer.
Menurut Meyer, sebelum erupsi yang terjadi pada 3 Maret 1871 itu, pulau gunung api Ruang tidak dihuni. Namun, di lerengnya terdapat banyak perkebunan milik penduduk dari pulau tetangganya, Tagulandang.
”Semua ini hancur dalam beberapa menit akibat letusan; dan gelombang laut, sebagai akibat dari gempa bumi yang terjadi secara bersamaan (dengan erupsi), menyapu desa besar di Tagulandang, di seberang Ruang,” tutur Meyer.
Baca juga: Gunung Ruang Masih Erupsi, Penerbangan ke Manado Lumpuh
Berdasarkan kesaksian Meyer, hanya beberapa rumah di Tagulandang yang terselamatkan, sisanya rata dengan tanah. ”Sebagian besar penduduknya tenggelam; dan beberapa hari setelah bencana itu terjadi, saya melihat banyak mayat,” ucapnya.
Catatan SL Soloviev dan Ch N Go dalam Catalogue of Tsunamis on the Western Shore of the Pacific Ocean (1984), letusan gunung api Ruang pada 1871 itu diikuti guncangan tanah yang kuat dan dirasakan hingga Tagulandang.
Seiring dengan itu, pantai selatan dan barat Pulau Tagulandang terendam gelombang laut atau tsunami yang naik ke darat sejauh sekitar 180 meter dengan ketinggian 25 meter di Desa Haas. Setidaknya 400 orang meninggal akibat bencana saat itu.
Semua ini hancur dalam beberapa menit akibat letusan; dan gelombang laut sebagai akibat dari gempa bumi yang terjadi secara bersamaan (dengan erupsi), menyapu desa besar di Tagulandang, di seberang Ruang.
Tsunami yang dipicu erupsi gunung api atau dikenal sebagai tsunami vulkanik telah berulang kali terjadi di Indonesia, terutama di pulau-pulau gunung api. Ada beberapa mekanisme yang bisa memicu tsunami vulkanik, di masuknya aliran piroklastik ke lautan, ledakan bawah air yang kuat, keruntuhan kaldera, hingga longsornya lereng gunung (flank collapse).
Di antara berbagai mekanisme ini, flank collapse yang terjadi saat erupsi dianggap sebagai salah satu yang paling berbahaya dalam pembangkitan tsunami vulkanik bagi pulau-pulau gunung api.
Ignatius R Pranantyo, Mohammad Heidarzadeh, dan Phil R Cummins dalam publikasinya di jurnal Geoscience Letters (2021) telah memodelkan tsunami 25 meter dari erupsi Gunung Ruang ini dengan mekanisme flank collapse.
Berdasarkan kesimpulan mereka, ketinggian tsunami hingga 25 meter yang teramati di Desa Haas itu dipicu oleh keruntuhan sebagian tubuh gunung ini ke laut dengan volume sekitar 0,1 kilometer kubik. Dengan skenario ini, ketinggian tsunami di sepanjang pantai bagian selatan dan barat Tagulandang bisa mencapai 15 hingga 25 meter.
Risiko keberulangan
Dengan riwayat tsunami vulkanik pada 1871, pemerintah berupaya mengevakuasi ribuan warga Pulau Tagulandang dalam radius 7 kilometer dari pusat erupsi Ruang, sebagaimana rekomendasi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Proses evakuasi ini telah dilakukan secara bertahap sejak 30 April 2024 menggunakan armada kapal.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto dalam Rapat Koordinasi Penanganan Bencana Erupsi Gunungapi Ruang di Manado, Kamis (2/5/2024), mengutarakan, setidaknya 3.364 warga telah dievakuasi keluar dari Pulau Tagulandang. Sebanyak 5.719 orang lagi masih dalam proses evakuasi yang dilakukan secara bertahap.
”Paling tidak ada sembilan ribu lebih warga dalam radius 7 kilometer yang segera harus diungsikan,” kata Suharyanto. Tak hanya evakuasi sesaat, pemerintah berencana mengambil langkah permanen untuk memindahkan permukiman warga, khususnya yang berada di Pulau Ruang, pulau utama di gunung api itu, ke lokasi yang lebih aman.
Kepala PVMBG Hendra Gunawan mendukung rencana pengosongan zona bahaya Gunung Ruang yang memiliki ketinggian 725 meter di atas permukaan laut (mdpl). Hal ini karena secara historis Ruang sangat lazim mengeluarkan awan panas yang berdampak langsung bagi kehidupan.
”Ternyata dari historisnya Gunung Ruang ini memang sangat lazim mengeluarkan awan panas. Jadi, sudah tepat memang ini merupakan daerah berbahaya,” ucap Hendra.
Berdasarkan catatan PVMBG, erupsi Gunung Ruang telah berulang kali terjadi dengan interval sekitar 30 tahun, di antaranya tahun 1808, 1810, 1840, 1856, 1870, 1871, 1874, 1889, 1904-1905, 1914, 1915, 1918, 1940, 1946, 1949, 2002, dan 2024.
Erupsi terakhir sebelum kejadian pada 2024 ini yang terjadi pada 2002 merupakan erupsi eksplosif disertai awan panas dan mengakibatkan kerusakan lahan dan permukiman, serta memicu pengungsian penduduk.
Di antara deretan kejadian, hanya erupsi pada 1871 yang tercatat memicu terjadinya gelombang tsunami. Ahli tsunami Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Widjo Kongko, mengatakan, secara historis, tsunami vulkanik yang dipicu oleh Gunung Ruang baru terjadi satu kali.
Baca juga: Erupsi Gunung Ruang, 1.945 Warga Dievakuasi Keluar dari Pulau Tagulandang
Meski demikian, catatan sejarah erupsi gunung api kita relatif pendek, yaitu setelah kedatangan kolonial Belanda. Dengan demikian, sangat mungkin data erupsi sebelumnya, termasuk kemungkinan terjadinya tsunami sebelum 1871, tidak diketahui.
Secara empiris, tsunami vulkanik telah berulang kali terjadi di pulau-pulau gunung api lain di Indonesia dan mayoritas terjadi di Indonesia timur.
Beberapa tsunami vulkanik yang pernah terjadi di antaranya saat Gunung Rokatinda di Pulau Flores meletus tahun 1928; Pulau Awu pada 1856 dan 1892, Pulau Gamkonora pada 1673, dan Pulau Gamalama pada 1871, selain Tambora 1815.
Pelajaran Anak Krakatau
Salah satu tsunami vulkanik yang masih segar dalam ingatan saat erupsi Anak Krakatau pada 2018, yang terjadi tanpa peringatan dini. Sebelum akhirnya terjadi tsunami, Anak Krakatau telah erupsi selama sekitar enam bulan, tetapi ancaman tsunaminya diremehkan.
Meski erupsi Krakatau tercatat pernah memicu tsunami dahsyat pada 27 Agustus 1883 yang menewaskan lebih dari 36.000 jiwa, risiko tsunami dari erupsi Anak Krakatau dianggap rendah karena volume gunungnya saat itu kecil. Namun, erupsi Anak Krakatau pada 22 Desember 2018 memicu tsunami dahsyat, yang menggenangi garis pantai Jawa dan Sumatera serta menewaskan 437 orang.
Laporan riset kolaborasi peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama Universitas Birmingham di jurnal Earth and Planetary Science Letters pada 2022 menemukan, tsunami Anak Krakatau pada Desember 2018 itu disebabkan proses destabilisasi tubuh gunung dalam jangka panjang dan tidak dipicu perubahan dalam sistem magmatik.
Hal ini menyebabkan peristiwa ini tidak terdeteksi oleh sistem pemantauan gunung api sehingga perlu perubahan strategi mitigasi risiko ke depan.
Baca juga: Gunung Ruang Awas, Radius 6 Kilometer dari Puncak Daerah Terlarang
Sebastian Watt, geolog dari Universitas Birmingham, yang menjadi penulis utama kajian makalah tersebut menyebutkan, jenis bahaya tsunami vulkanik ini jarang terjadi, sangat sulit diprediksi, dan sering kali menghancurkan.
”Temuan kami menunjukkan bahwa, meskipun ada letusan eksplosif yang dramatis setelah runtuhnya Anak Krakatau, hal ini dipicu oleh tanah longsor yang melepaskan tekanan pada sistem magma—seperti gabus sampanye yang meletus,” tulisnya.
Situasi ini menghadirkan tantangan untuk memprediksi bahaya di pulau-pulau vulkanik di masa depan. Tanah longsor vulkanik besar terjadi sebagai akibat dari ketidakstabilan jangka panjang dan dapat terjadi tanpa perubahan khas dalam aktivitas magmatik di gunung berapi. Inilah yang menyebabkan tsunami vulkanik dapat terjadi tiba-tiba dan tanpa peringatan yang jelas.
Dengan riwayat tsunami vulkanik yang mematikan, kita perlu mengantisipasi risiko terburuk dengan mengevakuasi penduduk di sekitar pulau gunung api Ruang saat ini....