Vaksin Covid-19 AstraZeneca Picu Efek Samping, Tidak Ada Laporan Kasus di Indonesia
AstraZeneca mengakui vaksin Covid-19 buatannya dapat menyebabkan efek samping berupa trombosis dengan trombositopenia.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – AstraZeneca mengakui vaksin Covid-19 yang dikembangkannya bersama Universitas Oxford dapat menyebabkan efek samping berupa trombosis dengan trombositopenia. Efek samping tersebut dapat berpotensi menyebabkan pembekuan darah.
Dikutip dari situs berita Inggris, The Telegraph, pengakuan dari AstraZeneca disampaikan dalam dokumen hukum yang diserahkan ke pengadilan tinggi di London pada Februari 2024. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa vaksin Covid-19 buatan mereka ”dapat, dalam kasus yang sangat jarang, menyebabkan TTS (trombosis dengan trombositopenia)”.
Terkait dengan itu, Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pascaimunisasi (Komnas PP KIPI) Hindra Irawan Satari saat dihubungi di Jakarta, Jumat (3/5/2024), mengatakan, kejadian sindrom trombosis dengan trombositopenia setelah pemakaian vaksin Covid-19 AstraZeneca tidak ditemukan di Indonesia. Hal itu sesuai hasil surveilans aktif dan pasif yang dilakukan Komnas KIPI.
”Darı lebih dari 70 juta dosis AZ (AstraZeneca) di Indonesia, tidak ada laporan TTS yang diterima oleh Komnas KIPI. Kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) bila ditemukan penyakit atau gejala terjadi antara 4 sampai 42 hari setelah vaksin disuntikkan. Kalaupun saat ini ditemukan kasus TTS di Indonesia, pasti bukan karena vaksin Covid-19 karena sudah lewat rentang waktu kejadiannya,” tuturnya.
Trombosis dengan trombositopenia (TTS) merupakan penyakit yang dapat menyebabkan seseorang mengalami pembekuan darah. Selain itu, TTS bisa menyebabkan kadar trombosit darah menjadi rendah. Kasus TTS amat jarang terjadi di masyarakat. Namun, kondisi tersebut bisa menyebabkan gejala serius.
Darı lebih dari 70 juta dosis AZ (AstraZeneca) di indonesia, tidak ada laporan TTS yang diterima oleh Komnas KIPI.
Gejala TTS bisa beragam. Apabila pembekuan darah terjadi pada otak, gejala yang muncul seperti pusing. Namun, jika terjadi di saluran cerna, pembekuan darah dapat menyebabkan mual. Sementara pembekuan darah yang terjadi di bagian kaki dapat menyebabkan gejala pegal. Biasanya kondisi itu juga dapat menyebabkan perdarahan jika terjadi penurunan kadar trombosit dalam darah.
Surveilans
Hindra menuturkan, surveilans aktif dan pasif telah dilakukan Komnas KIPI untuk melihat gejala atau penyakit yang dicurigai terkait penggunaan vaksin Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun telah mengeluarkan rekomendasi untuk melakukan surveilans tersebut.
Di Indonesia, survei dilakukan selama satu tahun di 14 rumah sakit di tujuh provinsi yang memenuhi kriteria. Pengamatan tersebut dilakukan sejak Maret 2021 sampai Juli 2022. Setelah itu, pengamatan tetap dilanjutkan.
”Karena tidak ada gejalanya, jadi kami lanjutkan beberapa bulan untuk memenuhi kebutuhan jumlah sampel yang dibutuhkan untuk menyatakan ada atau tidak ada keterkaitan (gejala dan penggunaan vaksin). Sampai kami perpanjang juga tidak ada TTS pada AstraZeneca,” ujar Hindra.
Sekalipun surveilans aktif sudah selesai dilakukan, Komnas KIPI tetap melakukan surveilans pasif hingga kini. Berdasarkan laporan yang masuk, tidak ditemukan ada kasus TTS.
Masyarakat diminta untuk melaporkan kejadian ikutan pascaimunisasi kepada Komnas KIPI melalui puskesmas. Para petugas di puskesmas telah dilatih untuk melakukan investigasi, anamnesis, dan rujukan ke rumah sakit. Jika ditemukan adanya kasus, rekomendasi akan dikeluarkan oleh Kelompok Kerja KIPI berdasarkan bukti yang ada.
Secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menuturkan, vaksin yang beredar di Indonesia, termasuk vaksin Covid-19, sudah mendapatkan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Vaksin yang diberikan kepada masyarakat pun sudah melalui sejumlah pengujian, mulai dari uji laboratorium, pengujian pada hewan coba, serta pengujian pada manusia.
”Dilihat manfaatnya jauh lebih besar dibandingkan efek sampingnya. Jadi, lebih banyak manusia yang selamat dari kematian dan sakit berat dibandingkan yang mengalami efek samping. Namun, efek samping tetap harus disikapi dengan kehati-hatian sehingga perlu adanya syarat kriteria vaksinasi,” katanya.