Gaya Hidup dan Kondisi Lingkungan yang Buruk Tingkatkan Risiko Kanker
Gaya hidup yang lebih sehat dapat mengurangi risiko kanker. Selain itu, deteksi dini juga harus lebih ditingkatkan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gaya hidup yang berubah terkait pola makan serta lingkungan meningkatkan faktor risiko kanker. Meski belum ditemukan penyebab pasti kanker, upaya memperbaiki gaya hidup jadi lebih sehat menurunkan risiko kanker. Selain itu, kesadaran warga dalam deteksi dini mesti ditingkatkan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, dampak polusi udara telah mengancam kesehatan manusia. Polusi udara pun diketahui menjadi penyebab 29 persen kematian karena kanker paru.
”Jadi kita perlu meningkatkan kesadaran akan risiko kanker, di antaranya dengan edukasi untuk meningkatkan gaya hidup sehat, mencegah paparan polusi udara, pembangunan infrastruktur ramah lingkungan, serta deteksi dini kanker secara berkala,” ujarnya dalam acara HUT Ke-21 Indonesian Cancer Information and Support Center Association (CISC), di Jakarta, Sabtu (4/5/2024).
Budi menambahkan, warga perlu berupaya secara beriringan menjaga kesehatan diri dan lingkungan. Kesehatan manusia dan kesehatan lingkungan perlu dipandang sebagai satu kesatuan dalam penanggulangan kesehatan di masyarakat.
Konsultan hematologi onkologi medik di MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, Jeffry Beta Tenggara, menuturkan, faktor risiko kanker terkait faktor genetik, lingkungan, serta faktor yang belum diketahui pasti. Warga yang punya riwayat keluarga dengan kanker perlu lebih waspada akan risiko kanker.
Selain dengan mencegah faktor risiko lain, seperti gaya hidup dan lingkungan yang buruk, kesadaran deteksi dini secara berkala disarankan. Kanker memiliki tingkat kesintasan lebih besar jika ditemukan pada stadium awal. Dengan deteksi dini, terapi kanker jauh lebih efektif dari segi biaya dan tata laksana.
“Pastikan warga bisa mencegah faktor risiko terkait lingkungan. Gaya hidup seperti merokok, mengonsumsi alkohol, mengonsumsi makanan siap saji, serta kurang aktivitas fisik harus dihindari. Selain untuk mencegah kanker, gaya hidup lebih sehat dapat mencegah penyakit lain, seperti jantung dan stroke,” katanya.
Jeffry menambahkan, gaya hidup masyarakat yang memicu terjadinya obesitas pun perlu diwaspadai. Orang dengan obesitas memiliki risiko mengalami kanker lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak dengan obesitas.
Hal itu ditunjukkan dalam studi yang diterbitkan dalam Lancet Public Health dari American Cancer Society. Dalam studi itu disebutkan, selama 20 tahun terakhir telah terjadi peningkatan tajam pada kejadian kanker pada mereka yang berusia 25 sampai 49 tahun, khususnya yang mengalami obesitas.
Komunitas
Kepala Departemen Radioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, Soehartati A Gondhowiardjo, yang juga Dewan Penasihat CISC mengatakan, komunitas pasien ataupun penyintas kanker berperan mendukung keberhasilan terapi dari pasien kanker.
Pastikan warga bisa mencegah faktor risiko terkait lingkungan. Gaya hidup seperti merokok, mengonsumsi alkohol, mengonsumsi makanan siap saji, dan kurang aktivitas fisik harus dihindari.
Komunitas tidak hanya mendukung untuk kesehatan fisik, tetapi juga mendukung kesehatan mental dari setiap pasien. ”Apa yang dilakukan dokter ataupun tenaga kesehatan tidak ada artinya tanpa adanya dukungan dari komunitas,” tuturnya.
”Kita tahu pengobatan kanker penuh dengan tantangan. Dengan adanya komunitas sebagai navigator bisa membantu pasien untuk mengetahui kanker, dari A sampai Z sehingga para pasien pun punya motivasi dalam pengobatan,” ungkapnya.
Psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Yohana Domikus, menambahkan, komunitas berperan penting bagi pasien kanker. Pasien juga biasanya lebih nyaman jika didampingi oleh komunitas yang anggotanya merupakan para penyintas kanker.
”Kenapa pasien lebih nyaman dengan kelompok pendukung? Itu karena ada rasa senasib dan sepenanggungan. Kelompok ini tidak ada maksud tertentu yang punya pengalaman yang sama sebelumnya. Beban psikologis pasien bisa lebih ringan dengan adanya dukungan dari kelompok pendukung,” ujarnya.