Literasi Keagamaan Membuka Perjumpaan dengan Agama Lain
Indonesia yang plural berpotensi menghadapi konflik salah satunya karena perbedaan agama. Literasi keagamaan dibutuhkan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Literasi keagamaan dibutuhkan untuk membuka ruang perjumpaan dan dialog dengan kelompok agama lain secara langsung serta memberi pengalaman positif untuk merasakan keberagaman. Untuk Indonesia yang majemuk, literasi keagamaan yang inklusif perlu dikembangkan.
Literasi keagamaan yang inklusif tidak hanya mendalami agama sendiri, tetapi terbuka juga untuk memahami agama lain langsung dari pemeluknya. Dengan demikian, terbangun toleransi dan kemampuan berkolaborasi.
”Literasi keagamaan tak bicara satu agama untuk membangun kepercayaan agar prasangka pada kelompok agama lain bisa didialogkan dengan tokoh agama berbeda,” kata Direktur Institut Leimena Matius Ho dalam kuliah umum Jumpa Agama-agama di Universitas Ciputra, Surabaya, Sabtu (4/5/2024).
”Kami mengembangkan literasi keagamaan lintas budaya (LKLB) untuk membangun kompetensi hidup dalam keberagaman. Program ini untuk guru-guru sekolah dan madrasah,” ujarnya.
Matius mengatakan, LKLB diimplementasikan dengan memperkuat kompetensi pribadi, yakni memahami agama sendiri, khususnya dalam hubungan dengan sesama manusia yang berbeda.
Ada juga kompetensi komparatif untuk memahami agama lain dari penganutnya sendiri, serta kompetensi kolaboratif untuk memahami bagaimana bisa bekerja sama atau berkolaborasi dengan saling menghargai perbedaan.
Lebih lanjut, membangun rasa percaya di antara kelompok berbeda agar mampu berkolaborasi seperti dalam program LKLB sejalan dengan pesan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) dalam laporan tahun 2021 bertajuk ”Reimagining Our Futures Together”.
Literasi keagamaan tak bicara satu agama untuk membangun kepercayaan agar prasangka pada kelompok agama lain bisa didialogkan dengan tokoh agama berbeda.
”Karena dunia makin terpecah belah dan terpolarisasi antaragama dan suku, pendidikan perlu memperkuat kemampuan bekerja sama dengan solidaritas dan kolaborasi. Saling percaya jadi pelumas untuk bekerja sama agar mampu mengatasi beragam persoalan dunia yang makin kompleks,” kata Matius.
Perjumpaan
Dosen Agama Universitas Ciputra (UC), M Alfin Fatikh, yang juga sebagai moderator, mengatakan, mata kuliah Agama di UC tidak ditujukan untuk mempelajari agama sesuai agama mahasiswa.
Di UC disediakan dosen agama Islam, Kristen, Katolik, dan agama lain. Mahasiswa bebas memilih masuk kelas dosen agama mana saja. ”Perkuliahan agama jadi lebih bersifat diskusi dan dialog dari sudut pandang agama lain sehingga bisa saling memahami,” kata Afin.
Rektor UC Yohannes Somawiharja mengatakan, secara umum lembaga pendidikan di Indonesia mengajarkan pendidikan agama sesuai dengan agama masing-masing. Dalam pandangan UC, pendidikan doktrin agama menjadi tanggung jawab masjid, gereja, dan rumah ibadah lain.
”Justru kebutuhan warga plural yang potensial terjadi konflik, yakni pemahaman pada agama lain. Idenya membuka perjumpaan. Karena ada stereotype pada agama lain, muncul ketidakpahaman. Akibatnya, orang yang tidak baik memanfaatkan agama jadi jualan demi meraih uang, kekuasaan, atau hal lain,” tuturnya.
Koordinator mata kuliah Pancasila dan Agama UC John Wolo mengatakan, implementasi kebinekaan tunggal ika semestinya dengan membuka ruang perjumpaan. Mahasiswa yang berbeda agama dan suku menjadi lebih peka merayakan perbedaan.
Ruang perjumpaan agama-agama tidak hanya disediakan di kampus. Mahasiswa juga diberikan pilihan untuk live in atau tinggal dan berinteraksi langsung dengan tokoh agama lain.
Pada 3-5 Mei 2024 ada pilihan bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah agama untuk live in di Sanggar Candi Sapta Rengga, Yogyakarta, Kampung Kristen Peniwen di Malang, dan Mahavihara Mojopahit di Mojokerto sambil berdialog langsung dengan tokoh agama masing-masing.
Mahasiswa yang tak live in wajib mengikuti kuliah umum jumpa agama-agama. Selain mendatangkan Direktur Institut Leimena Matius Ho untuk berbagi tentang LKLB, ada Muhammad As’ad, pengajar Universitas Hasyim Asy’ari Pesantren Tebuireng Jombang, dan tokoh Kristen Ortodoks Gigih Pramuda.
Bagi guru Madrasah Aliyah Negeri 2 Tuban, Lina Pahalawati, berjumpa pemeluk agama lain, masuk ke dalam rumah ibadah dan berdialog dengan tokoh agama lain, memberikan pengalaman keberagaman yang berkesan.
”Pemahaman saya menjadi lebih baik, tidak lagi ada prasangka. Hal ini ingin juga saya terapkan di sekolah,” kata Lina.