Saatnya Ciptakan Ruang Aman pada Perempuan
Pembunuhan keji pada perempuan yang terus berulang menunjukkan ketiadaan ruang aman bagi perempuan.
Pembunuhan sadis terhadap perempuan kembali berulang. Baru saja terungkap kasus penemuan jenazah perempuan dalam koper di Bekasi, dua hari lalu, Jumat (3/5/2024), kini terulang lagi kasusnya, kali ini di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Tak hanya dibunuh, tubuh korban pun dimutilasi.
Pembunuhan demi pembunuhan keji pada perempuan itu merendahkan martabat perempuan yang tak lagi mengenal waktu dan tempat. Seakan tak ada lagi ruang aman pada perempuan. Di wilayah privat dan publik, di perdesaan ataupun perkotaan, perempuan rentan menjadi korban kejahatan dengan berbagai modus.
Bahkan, kasus pembunuhan di Ciamis, pada Y (40) oleh Tarsum (40), suaminya, dilakukan secara terbuka di jalan desa di Dusun Sindangjaya, Desa Cisontrol, Kecamatan Rancah. Sebelumnya korban dipukul oleh pelaku, kemudian dibunuh. Sejauh ini, pelaku diduga melakukan hal tersebut karena tekanan ekonomi, dan ada ”bisikan gaib” saat dia melakukan ritual pesugihan.
Baca juga: Misteri Pembunuhan Perempuan di Koper Terkuak Berkat CCTV
Kasus yang menimpa Y semakin menambah daftar panjang jumlah perempuan di Tanah Air yang menjadi korban pembunuhan keji. Pada sejumlah kasus umumnya diawali dengan kekerasan fisik dan penyiksaan, bahkan ada yang mengalami kekerasan seksual sebelum dibunuh.
Pembunuhan demi pembunuhan yang menyasar perempuan yang terus terjadi di lingkungan masyarakat menimbulkan pertanyaan panjang. Hampir setiap pekan, publik dikejutkan dengan kasus-kasus pembunuhan pada perempuan (termasuk anak perempuan) yang disertai kekerasan fisik dan seksual.
Kasus Y dan kasus serupa lainnya memberikan pesan kuat pada masyarakat, bahwa perempuan di mana saja rentan menjadi korban kejahatan. Kerentanan tersebut tidak terlepas dari relasi kuasa yang besar pada laki-laki dan kultur patriarki yang masih melekat kuat di tengah masyarakat.
Pembunuhan pada perempuan karena ia perempuan dengan berbagai modus dalam lima tahun terakhir terus disuarakan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Pembunuhan tersebut disebut sebagai femisida.
Kejahatan tersebut merupakan bentuk paling ekstrem dari kekerasan terhadap perempuan dan manifestasi dari diskriminasi terhadap perempuan dan ketidaksetaraan jender.
Masyarakat sibuk memikirkan diri sendiri dan kesulitan hidupnya masing-masing.
Mamik Sri Supatmi, pengajar kriminologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, mengatakan, pembunuhan sadis yang terus menimpa perempuan, termasuk femisida, adalah wujud kegagalan negara dalam menciptakan ruang hidup yang aman bagi perempuan dan anak-anak serta kelompok minoritas.
Penegakan hukum untuk memberikan keadilan pada korban agar menjadi perhatian serius. Namun, hukum bukan merupakan satu-satunya solusi, dan bukan jaminan mencegah kejahatan. Bahkan penegakan hukum yang represif dengan hukuman yang kejam/berat pun bukan lantas membuat orang tidak melakukan kejahatan terhadap perempuan dan anak-anak.
Pencegahan kejahatan dan kekerasan membutuhkan banyak upaya, penegakan hukum hanya salah satunya. Upaya tersebut antara lain melalui cara-cara yang intensif, masif, dan terstruktur mempromosikan penghormatan pada setiap tubuh, khususnya perempuan dan anak. Hal-hal tersebut untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan anak serta kelompok rentan.
”Memang tidak bisa instan perubahan ini. Masalahnya kompleks, berkelindan dengan kemiskinan, akses pada layanan yang layak, antara lain kesehatan mental, dukungan sekitar seperti keluarga, komunitas, dan negara,” kata Mamik.
Kesulitan hidup adalah faktor yang memperburuk relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat patriarki. Bahkan, kehidupan masyarakat di wilayah perdesaan dan lokasi-lokasi permukiman padat di perkotaan, yang dianggap akan lebih memberikan perhatian pada warga satu sama lain, juga berubah.
Baca juga: Memahami Femisida sebagai Bentuk Kekerasan Berbasis Jender
”Yang kita pikir lebih saling memperhatikan satu sama lain nyatanya enggak begitu, karena masyarakat sibuk memikirkan diri sendiri dan kesulitan hidupnya masing-masing,” kata Mamik.
Bahkan, bisa jadi para perempuan di perdesaan atau yang tinggal di tempat-tempat terpencil kini lebih rentan mengalami kekerasan. Pada saat mereka mengalami kekerasan, perempuan korban juga sangat sulit mengakses bantuan/layanan dan keadilan.
Sejumlah upaya perlindungan perempuan sebenarnya bisa mulai dilakukan di desa-desa, misalnya dalam hal penggunaan dana desa. Setiap desa agar diwajibkan memiliki kemampuan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak dan perempuan serta kelompok rentan.
Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), arisan rukun tetangga/rukun warga, aktivitas kerohanian, dan kegiatan komunitas di desa seharusnya bisa didorong menjadi ruang belajar untuk membangun norma kesetaraan dan keadilan bagi setiap orang dan mengikis seksisme terhadap perempuan. Bukan sebaliknya menjadi ruang melanggengkan ketidakadilan dan fanatisme beragama.
Tekanan tinggi pada laki-laki
Pembunuhan yang dilakukan laki-laki pada perempuan, termasuk suami pada istri, terjadi karena berbagai faktor. Nur Hasyim, pengajar sosiologi keluarga Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, menilai saat ini dalam kehidupan yang konsumtif dan kultur yang meletakkan pemenuhan kebutuhan ekonomi pada laki-laki menjadikan tingkat tekanan pada laki-laki sangat tinggi.
Kondisi tersebut diperparah cara pandang masyarakat laki-laki yang dipengaruhi oleh norma maskulinitas. ”Yang mereka yakini bahwa laki-laki pantang berkeluh kesah apa pun keadaannya membuat laki-laku tidak cakap (handicap) untuk mengelola tekanan itu dengan baik, dari yang semula stres biasa menjadi kecemasan (anxiety), berlanjut menjadi depresi sehingga kemudian menjadi masalah kesehatan mental pada laki-laki,” kata Nur Hasyim yang juga pendiri Aliansi Laki-laki Baru
Baca juga: Perempuan Korban Pembunuhan Dibuang dalam Koper Juga Terjadi di Bali
Dalam pembunuhan Tarsum terhadap istrinya karena bisikan gaib untuk memutilasi istrinya, menurut Nur, hal itu sebenarnya bentuk justifikasi atau pembenaran dengan realitas gaib.
Realitas gaib yang diyakini pelaku pada hakikatnya mencerminkan realitas sosial nyata yang menempatkan perempuan sebagai obyek. Dengan demikian, perempuan menjadi persembahan atau tumbal dalam keyakinan suami atau laki-laki tersebut.
”Jadi, masalahnya memang kompleks. Ada dimensi personal, struktural, atau sistem ekonomi yang kapitalistik, dan juga ada budaya klenik yang seksis (patriarkis),” papar Nur Hasyim.
Kejadian tersebut menunjukkan, perempuan masih sangat rentan menjadi korban kekerasan. Sejumlah data menunjukkan mayoritas pelaku kekerasan merupakan orang terdekat, seperti suami, pacar, atau mantan suami/pacar.
Data itu antara lain terdapat pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) tahun 2022. Simfoni mencatat, dari 11.266 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan 11.538 korban, pelaku terbanyak adalah pasangan.
”Kami mendorong aparat kepolisian dapat mengusut tuntas kasus tersebut dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati.