Pedagang Keliling Bertaruh Nyawa di Desa Terpencil Kabupaten Kupang
Beragam tantangan dihadapi pedagang keliling yang berjualan di desa-desa terpencil di Kabupaten Kupang.
Setiap hari ratusan pedagang berkeliling menggunakan sepeda motor, memasuki desa-desa terpencil di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.Hampir semua jenis barang dibawa sesuai pesanan konsumen. Mereka berdagang sekaligus membantu masyarakat pedalaman berbelanja kebutuhan pokok sehari-hari.
Melki Snaem (36), pedagang keliling, memberhentikan sejenak sepeda motornya di tepi Bendungan Tilong di Desa Oelnasi, Kabupaten Kupang, Kamis (25/4/2024), pukul 10.30 Wita. Ia mengelap keringat yang mengucur di wajahnya, lalu menyandarkan sepeda motornya. Di sepeda motor itu tergantung dua ember plastik putih di sisi kiri-kanan dudukan sepeda motor.
”Panas sekali. Capek. Sudah tiga desa saya putar keliling. Keluar dari rumah pukul empat, langsung menuju pasar (ikan) menunggu nelayan dari laut. Kalau terlambat datang, tidak kebagian ikan. Beli dari nelayan lebih murah ketimbang dari tangan kedua, harga sudah naik dua kali lipat,” kata Snaem.
Ia membawa ikan segar dan tahu hari itu. Sejumlah jenis ikan yang biasa diminati warga desa, yakni kembung dan ikan tembang, tersimpan dalam satu ember. Adapun tahu disimpan di ember yang lain.
Setiap jenis dibungkus kantong plastik putih. Jumlah tahu 100 potong, sedangkan ikan segar 70 ekor.
Baca juga: Pedagang Keliling Enggan Gulung Tikar
Snaem sudah mempunyai pelanggan tetap, seperti guru, aparatur desa, dan tenaga kesehatan. Terkadang mereka memesan jenis kebutuhan tertentu, seperti ayam potong, daging babi, sapi, dan buah-buahan. Pada musim kemarau, jenis sayur tertentu pun dipesan, seperti wortel, sawi, kol, dan tomat. Bahkan ada yang memesan minyak tanah.
Kebanyakan warga di pedalaman NTT tidak rutin berbelanja kebutuhan pokok tiap hari. Biasanya mereka membawa hasil pertanian lahan kering, seperti singkong, pisang, ubi jalar, daun singkong, bunga pepaya, dan kacang-kacangan, untuk jual di pasar tradisional terdekat.
Uang hasil penjualan digunakan untuk berbelanja kebutuhan hidup, seperti beras, gula pasir, kopi, ikan segar, tahu, tempe, minyak tanah, dan garam. Di desa pedalaman tertentu di Sumba, Flores, dan Lembata, hasil pertanian ini ditukar langsung dengan ikan, garam, gula, minyak goreng, atau kebutuhan lain.
Mas Jawa
Snaem berjualan keliling di Kabupaten Kupang sejak 2016. Hal itu berawal dari ajakan seorang pedagang perantau asal Sidoarjo, Jawa Timur, bernamaYono, yang lebih familiar dipanggilnya ”Mas Jawa”. Mas Jawa mengajak dan menemani dia berjualan keliling karena belum mengenal situasi desa-desa di pedalaman Kabupaten Kupang.
Mas Jawa telah kembali ke daerah asalnya saat pandemi Covid-19, tepatnya pada April 2020. Ia belum kembali ke Kabupaten Kupang sampai hari ini.
”Komunikasi kami pun putus. Saat itu, ia menjual pakaian dan sepatu. Atas usulan dia pula, saya jual ikan segar. Kami jalan beriringan, masuk keluar desa di Kabupaten Kupang. Awalnya saya merasa berat, tetapi lama-kelamaan menjadi terbiasa dan senang juga, bahkan sebagai pekerjaan rutin. Sebelumnya saya buruh bangunan,” kata Snaem.
Baca juga: Pedagang Ikan, dari Perahu Hingga Jalanan
Pria lulusan kelas satu SMP ini mengaku hal terberat yang dilaluinya adalah berjualan keliling selama musim hujan. Sering kali ia harus menyeberangi sungai dan melewati jalan berlumpur. Terkadang sepeda motor terpaksa didorong karena ban kempis atau kehabisan bahan bakar. Pernah juga ia mendorong sepeda motor sampai 1 kilometer di tengah guyuran hujan dan jalan berlumpur.
Suatu ketika, ayah tiga anak ini terseret arus saat menyeberangi sungai di Desa Tesbatan, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang. Beruntung ia selamat karena tertahan di batu. Sementara barang dagangan bersama ember hanyut ke sungai. Sejak saat itu ia memilih berjualan di desa-desa yang tidak banyak tantangan perjalanan, seperti arus sungai atau jalan buruk, kecuali musim kemarau.
Dengan risiko yang tidak ringan itu, dari berjualan ikan dan tahu, Snaem setiap hari mendapat keuntungan Rp 200.000-Rp 250.000.
Baca juga: Kala Siswa SD di Pedalaman NTT Berswadaya Bangun Gedung
Kisah lain dialami Azis Natun (39), penjual sayur dan tempe keliling sejak 2019. Jenis jualan ini, menurut dia, lebih cepat laku dibandingkan jenis dagangan lain. Hal itu tidak lepas dari harga yang ditawarkan sangat terjangkau. Sayur sawi satu ikat, sekitar 15 ons, misalnya, dijual Rp 6.000. Tempe dijual Rp 7.000 per potong.
Terkadang Azis membawa pesanan warga, seperti minyak tanah. Minyak tanah itu dibeli di Kupang Rp 25.000 per jeriken lima liter, dijual dengan harga Rp 30.000–Rp 35.000 per jeriken. Belakangan tidak ada lagi yang pesan minyak tanah karena banyak warga desa menggunakan kayu bakar lagi. Biasanya, pesanan minyak tanah ada lagi menjelang hari Natal dan Tahun Baru.
Ayah dua anak ini berangkat dari Kota Kupang pukul 07.00 Wita. Setelah keliling ke desa-desa, sekitar pukul 12.00 Wita ia sudah pulang ke Kota Kupang.
Hampir lima tahun berjualan keliling, Azis mengaku, kesulitan utama berjualan di desa-desa pedalaman Kabupaten Kupang adalah buruknya jalan. Kondisi jalan banyak yang berlubang, berupa batu-batuan, dan sebagian besar berupa jalan tanah.
Kondisi sebagian jalan aspal yang dibangun puluhan tahun silam sekarang banyak yang rusak dan aspalnya terkelupas. Jalan buruk menyebabkan tidak ada kendaraan umum berani melintasi desa-desa itu, kecuali mengerjakan perumahan atau proyek pemerintah di wilayah itu.
Kondisi jalan itu pula yang membuat ongkos transportasi di sana relatif mahal. Jasa ojek konvensional dari Desa Oelnasi ke Kota Kupang, misalnya, dipatok Rp 200.000 sekali jalan. Ojek antardusun saja dihargai sampai Rp 20.000 sekali jalan.
Ini terjadi karena ruas jalan sangat buruk. Tidak ada kendaraan umum melintas. Juga belum ada kendaraan daring beroperasi rutin di desa-desa pedalaman. Siswa SMP dan SMA di wilayah itu berjalan kaki sampai 4 kilometer menuju sekolah.
Baca juga: Hujan dan Angin Kencang Rusak Jalan di Kabupaten Kupang
”Kalau soal jatuh dengan sepeda motor atau ban kempis di jalan, itu sudah terbiasa. Tetap saya jalani pekerjaan ini. Tetapi untuk anak-anak ke depan, mereka tidak boleh bekerja seperti ini. Saya berjuang agar dua anak ini bisa ke perguruan tinggi. Itu kepuasan saya. Soal kerja apa setelah lulus perguruan tinggi, itu urusan mereka. Tetapi tidak boleh menjadi pekerja migran ilegal. Jika ingin mencari pekerjaan lebih baik, sebaiknya ke Kalimantan atau Papua,” kata Azis.
Sebelumnya, pada 2018, Azis berjualan pakaian bekas impor yang layak pakai. Namun, pakaian itu hanya laku pada awal bulan. Itu pun tidak banyak warga yang berbelanja. Alhasil, banyak pakaian dikembalikan kepada pengepul di Kupang. Bagi sebagian besar warga NTT, belanja pakaian lebih sering dilakukan menjelang hari raya Natal dan Tahun Baru.
Snaem dan Azis hanyalah sebagian dari ratusan pedagang keliling dengan sepeda motor di Kabupaten Kupang. Mereka sering berpapasan di jalan saat menelusuri jalan-jalan desa. Berbagai jenis kebutuhan mereka jual, mulai dari bakso, mi ayam, ikan asin, garam, sayur, es cendol, hingga mainan anak-anak.
Bantu warga
Keberadaan para pedagang itu cukup membantu warga. Hal itu salah satunya dirasakan John Tulus (58), warga Desa Tesbatan, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang. Warga tidak harus mengeluarkan uang transportasi menuju Kota Kupang atau Pasar Oesao di Kabupaten Kupang untuk berbelanja.
Meski di desa-desa juga ada kios-kios kecil yang menyediakan beras, telur, gula, dan minyak goreng, ada jenis kebutuhan tertentu yang tidak tersedia, seperti ikan segar, tahu, tempe, sayur segar, dan daging segar.
”Pergi ke pasar juga jauh. Jadi, pedagang keliling ini tetap dibutuhkan warga. Bila perlu, mereka dibantu pemerintah,” katanya.
Baca juga: Pertanian Lahan Kering, Pilihan ASN di NTT Saat Purnatugas