Pembangunan IKN Diminta Perhatikan Kearifan Lokal Terkait Lingkungan
Warga di wilayah IKN mempunyai kearifan lokal terkait lingkungan. Kearifan lokal itu harus diperhatikan pemerintah.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Pembangunan Ibu Kota Nusantara harus memperhatikan kearifan lokal masyarakat setempat. Hal ini karena warga di wilayah yang ditetapkan sebagai IKN telah memiliki kearifan lokal untuk menjaga kondisi lingkungan tempat tinggal mereka.
Kearifan lokal untuk menjaga lingkungan itu antara lain dimiliki masyarakat di Kelurahan Mentawir, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Kelurahan yang termasuk perkampungan tua di pesisir Teluk Balikpapan itu berjarak sekitar 40 kilometer dari Titik Nol Ibu Kota Nusantara (IKN).
Dalam pemaparan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kelurahan Mentawir masuk dalam Wilayah Pengembangan 4 IKN. Wilayah itu diproyeksikan menjadi tempat pariwisata dan hiburan.
Kearifan lokal masyarakat Mentawir terungkap berdasarkan riset yang dilakukan tim peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan, Maritim, dan Budaya Berkelanjutan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang diketuai I Made Geria. Pada awal Mei 2024, tim itu melakukan penelitian lapangan di Kelurahan Mentawir.
”Ada konsep lati tuo pada masyarakat Paser di Mentawir. Artinya belukar atau hutan tua,” kata I Made Geria saat dihubungi dari Balikpapan, Senin (6/5/2024).
Pada masa silam, Made mengatakan, masyarakat Paser di Mentawir memanfaatkan lati tuo atau hutan tua dengan baik. Contohnya, saat warga ingin memanfaatkan kayu hutan, hal itu perlu dimusyawarahkan untuk menghindari penebangan tak terkendali.
Kendati saat ini Mentawir sudah dihuni berbagai etnis, Made mengatakan, kearifan lokal untuk menjaga lingkungan itu masih ada dan bertransformasi menjadi hal-hal baru. Salah satu contohnya, warga merawat mangrove dengan menjadikannya tempat wisata.
Dalam konteks kekinian, sikap terhadap lati tuo itu bermakna menjaga alam sebagai daya dukung lingkungan dari bencana. Keberadaan tegakan pohon di hutan, misalnya, penting untuk melindungi Kelurahan Mentawir dari bencana tanah longsor.
Selain itu, mangrove yang terjaga dan penanaman kembali mangrove yang pernah dirusak merupakan bentuk adaptasi warga untuk menyiasati pasang surut air laut. Tanaman bambu yang tersebar di banyak titik juga turut menjaga tepian sungai dari degradasi.
Made mengatakan, penelitian di Mentawir akan dilakukan berkelanjutan. Selain dipublikasikan, hasil riset itu akan dijadikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah, terutama dalam pembangunan IKN yang berketahanan bencana. Dia berharap nilai-nilai kearifan lokal itu bisa menjadi landasan kebijakan pengembangan IKN di wilayah tersebut.
Apalagi, Made menyebut, sejak tahun 1970-an, sejumlah daerah di hulu Mentawir mulai dibuka oleh sejumlah perusahaan tambang dan industri lain. Hal itu menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan. Akibatnya, air sungai yang dimanfaatkan warga kondisinya kini keruh.
Ancaman kerusakan lingkungan
Ketua Lembaga Adat Paser Mentawir Sahnan (55) bercerita, pada masa silam lati tuo dipertahankan untuk menjaga kualitas Sungai Mentawir yang melewati permukiman warga. Namun, kini warga kesulitan mendapat air bersih karena air Sungai Mentawir keruh.
”Dulu, namanya Sungai Mentawar. Artinya sungai penawar sakit. Kalau warga sakit gatal, misalnya, sembuh kalau mandi di situ. Airnya bersih,” kata Sahnan.
Kualitas air sungai yang menurun itu, kata Sahnan, terjadi akibat sejumlah pembangunan yang dilakukan di sekitar hulu sungai. Selain itu, aktivitas tambang sejak tahun 2000-an di hulu sungai turut membuat sungai mengalami pendangkalan.
”Dampaknya buat kami, airnya jadi tercemar. Kalau hujan deras, warnanya seperti susu coklat,” katanya.
Sahnan menambahkan, masyarakat setempat juga mengenal lati burok atau belukar baru. Lati burok merupakan area ladang berpindah yang pada masa silam digunakan warga untuk menanam padi gunung dan buah-buahan.
Namun, sejak tahun 2017, tak ada lagi warga yang menerapkan ladang berpindah. Sebab, sejumlah perusahaan di sana melarang warga untuk membuka lahan dengan cara dibakar.
Saat ini, ladang-ladang itu menjadi belukar. Namun, warga masih memanfaatkannya karena masih ada sejumlah pohon buah yang tumbuh.
Hingga saat ini, Sahnan mengaku belum pernah mendapat sosialisasi dari pemerintah mengenai pengembangan IKN di kampungnya. Ia berharap pembangunan yang dilakukan di wilayahnya kelak mempertimbangkan kearifan lokal tentang hutan yang hidup di masyarakat.
Menurut dia, lati tuo atau hutan tua yang ada di Mentawir punya potensi yang bisa dimanfaatkan warga. Selain untuk menjaga kondisi lingkungan, hutan tersebut juga berpotensi dimanfaatkan untuk wisata dan diambil hasil alamnya.
Dulu, namanya Sungai Mentawar. Artinya sungai penawar sakit. Kalau warga sakit gatal, misalnya, sembuh kalau mandi di situ. Airnya bersih.
Oleh karena itu, Sahnan berharap lati tuo itu tidak dibuka untuk pembangunan. Selain itu, ia berharap warga dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Pemerintah juga diharapkan membuat peraturan berbasis kearifan lokal dalam pemanfaatan lati tuo di Mentawir.
”Kami juga berharap ada solusi mengenai kebutuhan air warga,” ucapnya.
Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita IKN Myrna Asnawati Safitri mengatakan, pemerintah berkomitmen memperhatikan pengetahuan lokal masyarakat di IKN dalam mengambil kebijakan.
Untuk itu, Otorita IKN menyiapkan payung hukum terkait pengakuan, perlindungan, dan pemajuan kearifan lokal di wilayah yang ditetapkan pemerintah sebagai IKN. Payung hukum itu berupa Peraturan Kepala Otorita IKN.
”Saat ini sedang proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,” kata Myrna.