Cerita Kotak Inkubator Bayi
Bayi prematur, berat badan lahir rendah, dan tingkat kematian ibu sangat erat hubungannya.
Belajar dari sekotak inkubator bayi yang dipinjamkan gratis ternyata bisa membuka dan menggali persoalan dasar yang nyata di lapangan. Prof Raldi Artono, si pemilik inkubator gratis, melalui diskusi singkat telah membuka persoalan yang banyak muncul pada praktik di lapangan, yang boleh jadi luput dari perhatian kita.
Masalah kelahiran bayi prematur dan berat badan lahir rendah (BBLR) di Indonesia memang masih menjadi masalah besar dan masih dalam tingkatan tergolong tinggi. Bayi yang prematur selalu bersamaan dengan BBLR. Prevalensi bayi prematur di Indonesia sebesar 7-14 persen, bahkan di beberapa kabupaten mencapai 16 persen (Dirjen Yankes, Kemenkes 2022).
Bayi prematur, berat badan lahir rendah, dan tingkat kematian ibu sangat erat hubungannya. Berdasarkan data dari Maternal Perinatal Death Notification (MPDN), sebuah sistem pencatatan kematian ibu pada Kementerian Kesehatan, jumlah kematian ibu pada tahun 2022 mencapai 4.005 dan tahun 2023 meningkat menjadi 4.129. Sementara itu, kematian bayi pada 2022 sebanyak 20.882 dan pada 2023 tercatat 29.945. Dalam dua tahun terakhir terjadi kenaikan yang menandakan kondisi ini tidak baik-baik saja.
Upaya personal dalam perjalanan program inkubator gratis ini rupanya tercatat sudah menyelamatkan 6.500-an bayi prematur selama 10 tahun, artinya dalam setahun hampir 540 bayi. Namun, jika dibandingkan dengan kelahiran bayi prematur per tahun yang mencapai 600.000 orang (Kemenkes, 2024), artinya upaya ini hanya bisa menyelamatkan 0,091 persen. Bukan angka yang besar, tetapi dari perjalanan 10 tahun, lingkaran persoalan kemudian bisa tersingkap.
Lingkaran persoalan pertama tentang kecukupan gizi ibu-bayi prematur–tengkes (stunting). Salah satu penyebab bayi prematur adalah waktu masih dalam kandungan sang ibu tidak cukup mendapat asupan gizi atau makanan sehat. Seorang bayi prematur kerap berisiko mengalami berbagai masalah kesehatan. Salah satunya adalah memiliki tinggi badan yang kurang, sekaligus memiliki tubuh kerdil, saat mulai memasuki pertumbuhan. Stunting? Menurut Prof Dr Rinawati (2023), bayi prematur menjadi penyumbang sepertiga bayi menjadi tengkes dan dua pertiganya penyumbang angka kematian bayi. Apa artinya, yang menjadi persoalan stunting bukan pada anak yang mengalami stunting, melainkan pada kecukupan gizi ibunya saat masa kehamilan.
Lingkaran persoalan kedua tentang inkubator-ibu kalut-emosi bayi.Dua pertiga angka kematian bayi karena bayi prematur adalah proporsi yang besar. Kenapa banyak banyak bayi prematur tidak terselamatkan? Ini juga menjadi lingkaran persoalan sendiri. Bayi prematur sangat membutuhkan penghangatkarena terjadi tekanan temperatur dari zona nyaman di perut 37derajat celsius lalu ke lingkungan luar yang temperaturnya sangat bisa berubah dari dingin ke panas. Penghangat buatan yang dibuat menyerupai suhu perut adalah inkubator.
Sayangnya yang ada di pikiran si ibu adalah ”masuk inkubator butuh biaya”. Si ibu sudah pasti akan kalut pikiran dan emosinya. Ibu yang kalut, akan apa akibatnya? Secara emosional hubungan dengan bayi menjadi tidak nyaman. Si bayi pasti juga merasakan meski belum bisa bicara. Padahal, bayi butuh lingkungan yang sehat emosi dan fisik. Sekali lagi, ibarat pepatah ”sudah jatuh tertimpa tangga”, nasib bayi prematur sudah secara fisik rentan penyakit ditambah lagi dengan gangguan dan usikan pada emosinya.
Sebagai tindakan kuratif (sudah terjadi), ’harga’ inkubator tentu berpengaruh. Orang yang mampu—segmen sosial atas—tentu tidak terlalu masalah jika harus membayar meski menggunakan inkubator impor dengan harga tinggi. Pada segmen ini juga sudah dipastikan kasus prematur sangat jarang karena gizi si ibu dan bayi pasti baik.Segmen sosial menengah, acap kali menimbang-nimbang ’harga sewa’ inkubator, juga bisa dipastikan tidak banyak kasus prematurnya.
Bagaimana dengan segmen sosial bawah? Boleh jadi hal ini bisa terlayani oleh jaminan sosial BPJS, tetapi tentu saja orangtuanya, bagaimana dengan bayinya? Bayi tentu belum mempunyai KTP, apakah masuk jaminan BPJS? Urusan administrasi bisa jadi menjadi kendala si bayi. Dan bagaimana dengan segmen sosial paling bawah lagi? Bisa jadi ada dan tentu tidak terkover BPJS, ditambah tingkat kemiskinan yang menyebabkan bayi tidak terkover.
Rantai pasok tingkat kesejahteraan
Jadi, poin penting yang harus selalu diingatkan adalah yang pertama tindakan kuratif melalui tersedianya alat medis inkubator bayi biasanya disertai bilirubin box yang terjangkau harga sewanya, bahkan gratis, dan banyak jumlahnya. ”Kami di segmen ini,” kata Prof Raldi. Yang kedua, tindakan preventif dengan menjaga gizi ibu hamil yang menjadi akar persoalan prematur, tengkes, dan berujung pada kualitas manusia Indonesia.
Prematur-tentang-gizi buruk-ekonomi miskin adalah rantai pasok dari tingkat kesejahteraan yang rendah. Persoalan nasional terkait tengkes yang sudah dijelaskan di atas, terutama karenagizi buruk, harus diputus. Si ibu harus diberi gizi yang baik, terutama selama kehamilan. Hal yang dilakukan negara-negara Eropa dengan tunjangan ibu hamil patut dijadikan benchmark.
Berdasarkan analisis data selama 10 tahun, sebaran daerah peminjaman inkubator gratis secara faktual juga mencerminkan tingkat kemiskinan di daerah tersebut, Artinya, kemiskinan ternyata berhubungan erat dengan kelahiran bayi prematur. Dan berlanjut, jika dilihat lebih dalam lagi, di daerah itu jugalah kasus stunting banyak terjadi. Padahal, menjadi manusia yang sehat fisik dan emosi adalah hak semua manusia bayi.
Mengajak negara terlibat
Kegiatan personal menyediakan inkubator gratis tentu tidak cukup. Inkubator yang terjangkau dan tersedia adalah hanya tindakan kecil dari kegiatan kuratif. Sementara ada kegiatan lain yang melengkapinya, yaitu kegiatan preventif. Target sudah jelas, memberi inkubator terjangkau bagi bayi prematur, menjaga dan memelihara gizi ibu selama kehamilan serta daerah kantong-kantong kemiskinan yang menjadi potensi tempat ibu dan bayi berada.
Gerakan ini jelas harus bersifat masif dan tentu memerlukan program khusus karena kebutuhan biayanya. Cara ini yang paling mungkin memotong rantai masalah dasar yang berpengaruh pada kualitas manusia Indonesia. Negara tentu harus terlibat dalam gerakan ini.
Isu adanya upaya pemerintah yang akan datang dalam upaya meningkatkan kualitas manusia Indonesia melalui progam makan siang gratis yang tertuju pada anak didik tentu harus diapresiasi. Namun, melihat persoalan di atas, hendaknya juga memperhatikan sumber masalah anak didik yang mengalami tengkes adalah ketidakcukupan gizi ibunya.
Maka akan elok juga jika program ini dilengkapi pula dengan program kecukupan gizi ibu hamil, terutama di daerah yang rawan gizi. Bolehlah disebut sebagai Program Makan Siang Gratis Plus, menjadikan program yang lebih komprehensif. Persoalan seharusnya bisa dipecahkan. Keterlibatan negara melalui program pemerintah yang baru selayaknya didorong dan disokong. Terakhir, tulisan ini saya dedikasikan untuk Prof Raldi Artono Koestor, guru, sahabat, dan Kick Andy Heroes 2022.
Sri Bramantoro Abdinagoro adalah pengajar senior pada Program Doktor Manajemen Binus Business School dan anggota Indonesia Strategic Management Society