Untuk menyelamatkan KPK, dibutuhkan kehendak politik yang kuat dari para pemegang kekuasaan di negeri ini.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Dari satu masalah ke masalah berikutnya. Itulah cerita Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini. Butuh kehendak politik negara untuk menyelamatkan KPK.
Salah satu isu yang dihadapi KPK terkait Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK. Ia diduga melanggar etik karena berkomunikasi dengan pejabat Kementerian Pertanian untuk kepentingan mutasi salah satu pegawai di kementerian itu.
Sebelumnya, pada Desember 2023, Firli Bahuri mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK. Langkah itu diambil Firli setelah ia dinyatakan sebagai tersangka kasus pemerasan terhadap bekas menteri pertanian, Syahrul Yasin Limpo.
Lili Pintauli Siregar juga mundur sebagai pimpinan KPK pada Juli 2022. Lili mengambil keputusan itu di tengah persidangan etik yang dilakukan Dewas KPK terkait dugaan gratifikasi dan akomodasi yang ia terima dari BUMN untuk menyaksikan MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat.
Citra KPK pernah berada di angka 88,5 persen pada Januari 2015.
Terkait pemerasan, 66 pegawai KPK diberhentikan karena memeras atau melakukan pungutan liar terhadap tahanan KPK. Sejumlah kasus itu turut memengaruhi citra KPK. Hasil survei Litbang Kompas periode Desember 2023, citra positif KPK di angka 47,5 persen. Angka itu terendah dari 22 kali survei sejak Januari 2015. Citra KPK pernah berada di angka 88,5 persen pada Januari 2015.
Anjloknya citra KPK seiring dengan turunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. IPK Indonesia pada 2023 ada di angka 34 dengan nilai maksimal 100. Capaian itu sama dengan skor pada 2014. Namun, dengan skor 34, Indonesia ada di peringkat ke-107 pada 2014. Pada 2023, ada di peringkat ke-115 dari 180 negara. IPK Indonesia menunjukkan tren naik hingga 2019 dengan skor 40. Setelah itu, terjadi tren turun dengan kenaikan sempat terjadi pada 2021 dengan skor 38 atau naik satu angka dibandingkan 2020 dengan skor 37.
Jika dicermati lebih detail, anjloknya citra KPK dan turunnya IPK ini seiring dengan adanya revisi UU KPK. Berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang merupakan revisi atas UU No 30/2002 tentang KPK telah mengubah sejumlah hal di KPK. Perubahan itu, misalnya, kini KPK mengenal surat perintah penghentian penyidikan dan pegawai di KPK adalah aparatur sipil negara.
Pimpinan KPK tentu pihak yang paling bertanggung jawab untuk membawa KPK keluar dari berbagai jeratan persoalan yang kini melilit lembaga itu. Marwah KPK turut ditentukan oleh kredibilitas dan integritas pimpinan lembaga itu.
Namun, sejumlah persoalan yang menimpa pimpinan KPK juga turut disebabkan oleh sejumlah kebijakan yang diambil terkait lembaga itu. Misalnya melalui revisi UU KPK.
Ini tak berarti pimpinan KPK saat ini dapat lepas tanggung jawab dari karut-marut yang tengah terjadi di lembaga itu. Namun, untuk menyelamatkan KPK, juga dibutuhkan kehendak politik yang kuat dari para elite politik dan pemegang kekuasaan di negeri ini. Semoga tak terlalu berlebihan jika mengharapkan kehendak politik itu masih ada dan kuat.