Ketidakakuratan Kamus Saku Versi AI
Alat bantu alih bahasa, termasuk Google Translate, sangat canggih. Namun, sentuhan manusia tetap diperlukan.
Ketika saya masih pelajar sekolah menengah pertama sekitar tahun 1992 di Yogyakarta, pelajaran bahasa Inggris menjadi pelajaran yang sangat kami takuti. Selain sulit dimengerti, ketersediaan media dan alat bantu juga sangat terbatas.
Uang saku hanya cukup untuk membeli kamus Inggris-Indonesia. Itu pun yang model kamus saku yang harganya terjangkau. Kamus ini kecil, seukuran saku depan anak sekolah, terdiri atas 2.000 kata. Tidak semua siswa punya dan, kalaupun ada, kamus itu dipinjam ke sana dan kemari.
Sekarang zaman sudah berubah. Gawai atau telepon pintar dengan berbagai aplikasi ada dalam genggaman, termasuk aplikasi untuk alih bahasa. ”Kamus saku” itu sekarang bukan main hebatnya.
Tidak hanya kata per kata yang bisa diterjemahkan. Lebih dari satu paragraf, bahkan satu artikel dengan jumlah 5.000 kata, dapat dialihbahasakan dengan sekejap. Dalam hal ini, alih bahasa dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia ataupun sebaliknya. Hebat bukan?
Salah satu dari kamus saku itu ialah aplikasi Google Translate yang ada di gawai Anda-anda semua.
Baca juga: Proses ”Pemerolehan Bahasa” Kecerdasan Buatan
Satu kata dua makna
Meskipun demikian, ini adalah soal bahasa dengan segala kompleksitasnya, salah satunya berhadapan dengan beragam pilihan makna kata. Bahasa dengan kosakatanya bukanlah matematika dengan angka pastinya.
Satu kata dalam bahasa Indonesia bisa mempunyai lebih dari satu makna dalam bahasa Inggris. Pun sebaliknya. Akurasi pemilihan satu kata atau paling tidak mendekati maknanya dalam satu bahasa ke bahasa lain merupakan suatu keharusan.
Contoh paling gampang dan sering terdengar adalah kata rice dalam bahasa Inggris yang mempunyai banyak pilihan makna dalam bahasa Indonesia. Ada ketan, gabah, nasi, padi, dan menir.
Dengan kamus saku nan canggih tersebut, kita coba mengalihbahasakan dua kalimat: (1) Nasi berjatuhan di pematang sawah. (2) Padi berjatuhan di pematang sawah. Hasilnya sama: Rice falls on the rice fields.
Hasil dari alih bahasa ini membingungkan karena antara nasi dan padi tidak ada bedanya, padahal kita tahu nasi adalah beras yang sudah dimasak, sedangkan beras masih mentah dan tidak enak dimakan.
Salah satu cara untuk menghindari kesalahan dalam alih bahasa adalah kelengkapan makna diperlukan secara detail. Nasi kita definisikan sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni ’beras yang sudah dimasak’. Kalimat lengkapnya akan seperti ini: Beras yang sudah dimasak berjatuhan di pematang sawah. Hasilnya: Cooked rice falls on the rice fields. Dengan demikian, jelas apa yang kita maksud.
Baca juga: ”Suka” Tidak Sama dengan ”Sering”
Satu kata dua kelas kata
Contoh di atas baru satu masalah. Sudah jamak diketahui bahwa dalam bahasa Indonesia adakalanya satu kata bisa mempunyai dua atau lebih kelas kata. Kelas kata ini akan tampak jelas jika kata-kata tersebut digunakan dalam kalimat.
Kata foto contohnya: (1) Foto pemandangan itu! Kata foto dalam kalimat ini dimaksudkan berkelas verba. (2) Itu foto pemandangan. Kata foto dalam kalimat ini dimaksudkan berkelas nomina.
Kalau dialihbahasakan, hasilnya masing-masing seperti ini: Photo of that view! dan It’s a landscape photo. Kata foto pada kedua kalimat itu menjadi photo dengan kelas kata nomina. Seharusnya, foto pada kalimat pertama berupa kata kerja karena mengandung perintah.
Oleh karena itu, pengategorian kelas kata menjadi penting. Supaya kata foto terdeteksi sebagai kata kerja, kita lengkapi dengan sufiks atau akhiran -lah. Fotolah pemandangan itu! Take a photo of the scene!
Contoh lainnya, Anak Akses Internet, Perlindungan Diperkuat, yang jika kemudian disalin dan ditempel, akan terjadi alih bahasa Children’s Internet Access, Strengthened Protection. Padahal, yang dimaksud dalam judul sebuah artikel itu adalah Anak Mengakses Internet, Perlindungan Diperkuat sehingga hasil yang tepat berupa anak kalimat Children Accessing the Internet,… dan bukan frasa benda Children’s Internet Access,….
Nama diri
Lalu, bagaimana kalau alih bahasa itu menyangkut nama orang atau nama geografis yang tidak perlu dialihbahasakan? Nama orang dan cara penulisannya adalah hak asasi setiap manusia sehingga tidak ada yang salah. Masalah dalam alih bahasa sering kali muncul jika nama seseorang itu juga merupakan nama benda.
Misalnya adalah, maaf kalau kebetulan ada nama yang disebut, Mutiara Siahaan. Kamus saku nan canggih ini mengalihbahasakan ke dalam bahasa Inggris menjadi Wasted Pearls. ”Woi, ini nama orang, kenapa kamu terjemahkan?” Begitu kira-kira protes terjadi.
Untuk kasus terakhir ini tidak ada obatnya. Kamus saku ini dengan aplikasinya yang canggih tersebut belum secangih kebahasaan kita, pikiran kita, dan kecerdasan kita.
Baca juga: Pemakaian Istilah ”Binatang”, ”Hewan”, dan ”Satwa”
Prinsip kehati-hatian
”Bahaya untuk saat ini kalau kita menggunakan aplikasi alih bahasa dengan pasrah bongkokan (memercayakan atau menyerahkan 100 persen untuk menyelesaikan masalah). Aplikasi penerjemah, yang merupakan bagian dari artificial intelligence (AI), belum bisa membedakan konteks mana yang harus diterjemahkan dan mana yang tidak terjemahkan, misalnya nama orang,” ujar teman saya yang bekerja sebagai pemrogram di perusahaan asing selama 18 tahun.
AI juga belum bisa membedakan antara makna kiasan, idiom, dan makna sebenarnya atau denotasi, kata teman saya itu lagi. Misalnya, akan salah jika moment of truth yang merupakan kiasan diterjemahkan menjadi momen kebenaran sebagai makna denotasi. ”Jangan-jangan bukan alih bahasa yang dihasilkan, melainkan disinformasi. Intervensi dan sentuhan manusia masih diperlukan,” ucapnya.
”Bagaimanapun, AI adalah tool, alat. Bolehlah dipakai selama proses alih bahasa, tapi tetap harus ada campur tangan manusia, minimal pada tahap akhir,” ujarnya sebelum menutup telepon.
Saat ini, tahun 2024, masih diperlukan pengecekan kembali hasil kerja kamus saku nan canggih sehingga pas benar sesuai dengan apa yang dimaksud. Pengguna harus meneliti dan mengecek kembali apakah ada kesalahan pilihan kata. Alat bantu yang merupakan bagian dari teknologi ini penuh tantangan dalam penggunaannya, tetapi sekaligus sangat menjanjikan dalam hal kecepatan. Kita tunggu perkembangan berikutnya.
Baca juga: Kehadiran ”Mantan” yang Berlebihan
Antonius Galih Rudanto, Penyelaras Bahasa Kompas