Tak boleh kita lupakan, negara eksis karena warga. Penguasa mendapatkan kekuasaannya dari warga.
Oleh
BIVITRI SUSANTI
·2 menit baca
Pemilihan umum usai secara prosedural menurut undang-undang meski menyisakan banyak pertanyaan mengenai legitimasinya. Maka, warga dipersilakan sibuk kembali dengan urusan masing-masing. Pandangan yang keliru ini disebarluaskan untuk membiarkan kesibukan terjadi di sisi sebaliknya, yaitu politikus yang justru sibuk mengorganisasikan kekuasaan.
Mereka yang belajar hukum tata negara Indonesia biasanya diberikan cara pandang tentang negara sebagai organisasi kekuasaan. Logemann, seorang akademikus yang juga politikus berkebangsaan Belanda yang ditempatkan pemerintah kolonial Belanda di Nusantara, memberikan definisi hukum tata negara positif di Indonesia. Ujar Logemann (1975), ”Sebuah negara merupakan organisasi kekuasaan yang memiliki tujuan untuk mengatur masyarakat yang ada di dalamnya menggunakan kekuasaan tersebut.” Celakanya, sebagaimana proses belajar di Indonesia secara umum yang kerap bersifat dogmatik, uraian ringkas itu semacam menjadi rapalan wajib di kelas-kelas hukum tata negara dasar di Indonesia, tanpa ruang diskusi kritis.
Mestinya, ada pertanyaan lanjutan: apa tujuan kekuasaan yang diorganisasikan itu? Apakah hanya untuk kepentingan si penyelenggara kekuasaan, yaitu negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif)? Atau untuk tujuan keadilan dan kesejahteraan warga?
Bila negara hanya organisasi kekuasaan, apa bedanya negara dengan organisasi bajak laut atau mafia, misalnya? Yang membedakan tentu saja hukum; mafia melanggar hukum, sedangkan negara justru dianggap mempunyai legitimasi hukum sebagai kekuasaan yang sah. Nyatanya, negara juga bisa melanggar hukum, baik secara kolektif dalam pelanggaran hak asasi manusia maupun dalam kasus perorangan seperti dalam tindak pidana korupsi. Bahkan, negara justru membuat hukum sehingga apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan ditentukan sendiri oleh negara.
Karena itulah, kekuasaan dalam negara harus mendapat penyeimbang. Demokrasi adalah soal akuntabilitas, yaitu pemegang kekuasaan harus bisa mempertanggungjawabkan bagaimana kekuasaan itu dijalankan kepada rakyat yang memilihnya. Maka, wakil rakyat (legislatif) harusnya bisa menjadi salah satu mekanisme akuntabilitas itu, baik melalui fungsi legislasi, pengawasan, maupun fungsi anggaran lembaga perwakilan itu.
Repotnya, salah satu tantangan besar untuk mendapatkan pemerintahan yang demokratis itu justru saat pemilu usai seperti saat ini. Kue kekuasaan mulai dibagi-bagi sekadar untuk menciptakan stabilitas politik. Kalaupun kue yang dibagi tidak cukup untuk semua yang meminta jatah kue, penguasa bisa saja membuat kue menjadi lebih besar.
Kue apa yang bisa dibagi dalam kekuasaan? Jawabnya: jabatan, yang bermakna pembentukan kebijakan, yang memberikan akses pada uang, fasilitas, dan keistimewaan dalam konteks masyarakat feodal. Jabatan yang tersedia dalam kekuasaan negara, seperti dijelaskan Logemann, memang banyak, misalnya menteri dan pimpinan lembaga negara.
Bagaimana bila jabatan yang bisa dibagikan tak cukup? Jumlah menteri yang diatur dalam undang-undang kementerian negara, sejumlah maksimal 34, bisa saja diubah bila penguasa menginginkannya. Bukankah mengubah hal penting secara tidak etis baru saja kita alami Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah aturan mengenai calon wakil presiden? Jangan lupa, ada pula wakil menteri dan menteri koordinator. Tak ketinggalan: komisaris badan usaha milik negara.
Juan Linz (1990) menyebutnya consociational democracy atau demokrasi yang dibangun dengan membentuk kerja sama di antara kelompok-kelompok yang berbeda untuk membagi kekuasaan. Model ini tidak salah sepanjang dibatasi oleh dua hal. Pertama, peleburan ini tidak boleh meminggirkan aspek akuntabilitas dalam demokrasi dengan tidak membuat koalisi yang terlalu besar. Kedua, ia harus dibuat dengan visi yang jelas, tujuan bernegara yang terang bagi semua—bukan tanpa arah hanya untuk membagi kekuasaan untuk keuntungan elite politik.
Tak boleh kita lupakan, negara eksis karena ada warga. Bahkan, penguasa mendapatkan kekuasaannya dari warga. Saatnya kita mengkritik pandangan bahwa setelah pemilu dianggap selesai warga cukup menyerahkan urusan politik kepada orang-orang yang sudah dipilihnya. Bila ini yang terjadi, sumber-sumber daya alam Indonesia akan semakin terkuras, untuk kepentingan elite pemegang kekuasaan.