Demi menyiasati era ketidakpastian bagi para pekerja—akibat kehadiran AI, kita idealnya terus mengembangkan diri.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Kota Jakarta pada hari Rabu (1/5/2024) adalah sebuah ironi. Puluhan ribu buruh memadati ruang-ruang publik, sedangkan perkantoran Sudirman-Thamrin tutup.
Tanpa reportase dari media arus utama atau media sosial, boleh jadi kita tidak tahu apa yang disuarakan oleh gerakan kaum buruh pada Rabu lalu. Sebagian orang mungkin juga lupa dengan esensi dari Hari Buruh atau yang dikenal sebagai May Day.
Karena hari libur nasional, Rabu siang, para pekerja berkerah putih dan keluarga mereka malah melewatkan hari dengan mengisi pusat-pusat perbelanjaan. Adapun pada Rabu malam, di kawasan Blok M, misalnya, kaum muda yang terlihat baru memasuki dunia kerja bercengkerama dengan teman sepermainan mereka.
Sementara di harian Kompas, dari Rabu siang hingga malam, sekelompok jurnalis justru mendengarkan pemaparan dari peneliti media Greg Piechota. Salah satu materinya terkait pengembangan kecerdasan buatan (AI), yang menurut Piechota ”cukup menakutkan”.
Piechota memang fokus pada potensi perubahan yang diakibatkan AI pada ranah operasional media. Akan tetapi, Piechota juga mengungkapkan, setidaknya terdapat lebih dari 100 perangkat AI yang dapat digunakan oleh berbagai jenis pekerjaan.
Chairman dan CEO Microsoft Satya Nadella pada acara Microsoft Build: AI Day di Jakarta, Selasa (30/4/2024), juga menekankan, generasi baru kecerdasan buatan telah mengubah cara hidup dan bekerja setiap orang di mana pun berada, termasuk di Indonesia.
Nadella tentu optimistis terhadap kehadiran AI. Walau pada pertengahan tahun 2023, Forum Ekonomi Dunia (WEF) telah mengingatkan, setidaknya akan ada 69 juta jenis pekerjaan baru akibat pengembangan AI. Di sisi lain, AI berpotensi menghilangkan sekitar 83 juta jenis pekerjaan.
Terlepas dari seruan para buruh pada May Day lalu soal regulasi dan sistem kerja kontrak, kehadiran AI ini sebaiknya disikapi dengan cukup serius dan sistematik. Penyataan Piechota yang menyatakan bahwa AI menakutkan tentu bukan tanpa alasan. Dia telah mengamati betapa kecerdasan dari AI terus meningkat secara eksponensial.
Organisasi buruh sebaiknya mulai mengingatkan pemerintah kita tentang pentingnya sebuah regulasi yang mengatur pemanfaatan AI. Bulan Oktober 2023, Amerika telah menerbitkan Executive Order on the Safe, Secure, and Trustworthy Development and Use of Artificial Intelligence. Executive Order ini setara dengan peraturan presiden. Kita idealnya menyusun UU AI.
Kita paham, tidak mudah mengatur inovasi seperti AI yang umumnya dari negara maju. Inovasi itu biasanya juga diperkenalkan oleh korporasi multinasional yang beroperasi lintas batas mendompleng infrastruktur digital.
Karena itu, tidak bijak apabila hanya berharap pada pemerintah. Demi menyiasati era yang penuh ketidakpastian bagi para pekerja—akibat kehadiran AI, kita idealnya terus mengembangkan diri. Keahlian baru sebaiknya dipelajari karena alih pekerjaan (shifting) sulit dielakkan di masa depan.
Untuk mempelajari keahlian baru, tentu tidak harus mengikuti pendidikan formal. Ada banyak pelatihan informal yang dapat diikuti. Kunci untuk mempelajari keahlian baru kiranya lebih terletak pada kemauan. Kalau kita punya kemauan kuat untuk belajar, rintangan apa pun kiranya dapat dilalui.