Relasi Toksik
Hubungan toksik tidak memberikan manfaat positif bagi kita. Meski demikian, sering kita sulit keluar dari hubungan itu.
Kita sering menggunakan istilah ”relasi toksik” untuk membahas hubungan yang tidak sehat atau ”beracun”. Sering dalam konteks pacaran, tapi bisa juga dalam konteks lain, seperti hubungan suami-istri, orangtua dan anak, atau dalam pertemanan.
Suatu hubungan dapat mengalami pasang surut dan kadang ada dalam situasi kurang positif. Wajar jika sesekali kita berbeda pendapat atau berkonflik. Itu tidak langsung berarti toksik. Yang toksik adalah jika karakteristik utama hubungan itu bersifat negatif sehingga berada di dalamnya terasa demikian menegangkan.
Apabila dalam hubungan kita sering merasa tidak dihargai, sulit berkomunikasi, tidak dimengerti, dimanfaatkan, atau kesepian, barangkali kita ada dalam hubungan yang toksik. Hubungan seperti itu tidak memberikan manfaat positif bagi kita. Meski demikian, sering kita sulit keluar dari hubungan. Alasannya macam-macam, karena kasihan, takut sendirian, merasa bersalah, takut diperlakukan lebih buruk, tidak siap untuk berpisah, dan lain sebagainya.
Apa yang salah?
Apa yang sebenarnya terjadi? Suatu hubungan bersifat toksik ketika orang-orang yang terlibat dalam hubungan berelasi dan berkomunikasi dengan cara yang tidak sehat. Konflik berulang terjadi. Salah satu atau kedua belah pihak bersikap menuntut, mencari-cari kesalahan, atau memanipulasi perasaan yang lain. Emosi-emosi negatif lebih mendominasi daripada emosi-emosi positif. Hubungan bukannya memunculkan perasaan positif, tetapi malah menyedot energi. Kita jadi merasa lelah, bingung, takut, terjebak, bahkan kacau.
Mengapa ada hubungan seperti ini? Tidak jarang salah satu faktor pentingnya adalah karena salah satu pihak memiliki pola kemelekatan (attachment) yang tidak aman. Barangkali sebagai anak ia diabaikan atau diperlakukan buruk oleh orang-orang dewasa di sekitarnya sehingga curiga akan mengalami hal sama dari orang-orang lain di masa dewasanya. Atau sebaliknya, ia bertumbuh dengan pola asuh yang sangat memanjakan sehingga cenderung menjadi egosentris, hanya sibuk dengan kepentingan diri sendiri.
Baca juga: Melepas Jerat Hubungan Toxic
Mungkin pula terjadi, di masa kanak ia melihat pengalaman perselingkuhan atau ketidakjujuran dalam relasi orang dewasa di sekitarnya dan beridentifikasi dengan salah satu pihak yang—dalam pemahamannya yang terbatas—dibohongi, diperlakukan buruk, atau menjadi korban.
Dengan latar belakang di atas, ia membawa rasa tidak aman, selalu merasa khawatir atau curiga jika pihak yang lain tidak sepenuhnya memberikan perhatian. Karena itu, ia akan menuntut perhatian penuh dari pihak lain, bahkan berusaha mengendalikan dan mengambil keputusan bagi pihak lain. Mungkin ia akan melacak pihak yang lain ada di mana, mengecek telepon genggam dan media sosial, mengatur perilaku pasangannya, melarang pasangan untuk bertemu atau menjalin hubungan sosial dengan orang lain, atau marah untuk hal-hal kecil yang tidak disukai.
Dalam situasi yang ekstrem, dapat terjadi bentuk-bentuk kekerasan yang parah. Dampak psikis atau kesehatan mental dari relasi toksik dapat sangat serius dan kita perlu sadar tentang dampak-dampak lain yang juga dapat muncul. Misalnya, sakit fisik atau terganggunya relasi sosial dengan orang-orang lain. Kehidupan ekonomi juga dapat terdampak jika yang terjadi menyebabkan kita tidak dapat bekerja dengan tenang atau bahkan kehilangan pekerjaan.
Konstruksi jender
Laki-laki atau perempuan tak terkecuali, dapat saja menunjukkan perilaku toksik, yang menghadirkan perasaan tidak nyaman kepada pihak lain, dan dapat berdampak merugikan terhadap hubungan.
Yang perlu dipahami adalah konstruksi jender dapat menghadirkan tampilan berbeda dalam hubungan toksik. Seorang laki-laki yang menghayati bahwa posisinya lebih superior mungkin akan merasa lebih berhak untuk mengatur pasangannya, bahkan melakukan kekerasan fisik dan seksual jika keinginannya tidak diikuti.
Sementara itu, konstruksi jender yang menekankan kesucian dan kesetiaan perempuan mungkin juga dapat memerangkap perempuan. Karena telanjur berhubungan terlalu jauh, ia mengalami kesulitan untuk keluar dari relasinya yang tidak sehat. Mungkin ia kehilangan kepercayaan diri dan melihat diri buruk. Mungkin ia khawatir akan mengalami kekerasan yang lebih parah atau takut dianggap sebagai perempuan yang gagal. Karena itu, meski sangat tertekan, pada akhirnya ia tetap ada dalam hubungan tersebut.
Setidaknya ada dua hal penting yang perlu kita catat. Pertama, berhubungan dengan pihak lain yang toksik akan sangat menggerus kesabaran, kebahagiaan, dan kedamaian batin kita. Karena merasa diperlakukan tidak adil dan tertekan, dan itu terjadi terus-menerus, tanpa disadari kita juga akan ”tertular” perilaku toksik tersebut. Kita yang sebelumnya penuh senyum, sabar, berbicara dengan nada lembut, harus terus berelasi dengan ”si toksik”. Akibatnya, kita mungkin juga jadi cepat marah, berbicara dengan nada tinggi, dan berpikiran negatif.
Baca juga: Hindari Pacaran Beracun
Kedua, relasi yang toksik atau berkekerasan sering menyebabkan kita harus berkompromi, bahkan terlalu jauh menurunkan standar nilai kita tentang hal-hal baik yang perlu dipegang.
Mungkin sebelumnya kita memiliki nilai-nilai yang kita junjung tinggi. Seperti berkomitmen dalam pekerjaan, jujur, tidak berbuat curang. Ada dalam hubungan toksik mengikis nilai-nilai kita. Kita mungkin terpaksa berbohong kepada pihak lain untuk menutupi apa yang terjadi. Berbohong pada pasangan untuk menghindari pertengkaran. Terpaksa merugikan pihak lain dengan membatalkan janji atau mangkir dari pekerjaan guna meredakan kemarahan pasangan. Kita membiarkan diri dihujani kata kasar atau pukulan, dan lebih parah lagi, juga menjadi pribadi yang toksik.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa jauh lebih baik untuk menghindari hubungan toksik atau segera keluar jika menyadari bahwa hubungan kita tidak sehat. Suatu hal yang, sayangnya, tidak semudah itu dilakukan. Semoga kita dapat mendiskusikan dalam kesempatan lain, bagaimana dapat menghindar atau keluar dari hubungan toksik.