Menikmati Hidup Tanpa Melakukan Apa-apa ala ”Niksen”
Kesibukan menderas. Semua serba terburu-buru. Stres pun menghinggapi warga kota. Atasi dengan ”niksen”, yuk.
Target kerjaan, pelajaran, perkuliahan, dan ujian sekolah mengantre untuk diselesaikan setelah cuti panjang Idul Fitri berakhir. Padahal, energi telah terkuras untuk mudik ke kampung halaman lalu balik ke ”dunia nyata” menjalani hidup di perantauan. Selama libur atau pulang kampung pun seperti tiada berhenti ke sana kemari untuk bersilaturahmi, reuni, jalan-jalan, kulineran, atau wisata lain.
Tak heran jika lelah badan juga pikiran tiada terkira. ”Jompo”, kalau meminjam bahasa pergaulan kekinian. Sayangnya, ”jompo” tak terobati bahkan setelah libur datang.
Berbagai acara di Sabtu dan Minggu yang dilakukan untuk mengusir stres, bosan, dan capek ternyata menambah beban. Kondisi fisik maupun psikis tak jua kembali prima. Ibaratnya seperti gawai yang kekurangan daya, yang setiap kali dalam proses pengisian baterai, tak pernah sampai penuh ke angka 100 persen. Lalu, aktif digunakan lagi.
Baca juga: Tren Sewa Rumah, Antara Bunga KPR hingga Gaya Hidup Kekinian
Pada hari Senin, sering kali kaum urban justru amat lelah dan tertekan. Frasa I hate Monday, yang mencerminkan kebencian atau keengganan menghadapi hari Senin beserta segala pekerjaan yang harus dilakukan, menjadi terasa sangat relevan.
Itulah dinamika yang banyak mendera kaum urban. Selalu produktif setiap hari, bahkan saat libur, telah menjadi gaya hidup banyak orang terutama pekerja perkotaan. Waktu bergerak seperti sangat cepat.
Sepanjang Senin sampai Jumat, waktu didedikasikan untuk menyelesaikan satu tugas agar dapat mengerjakan tugas-tugas lain berikutnya, rapat bersama klien dan kolega di kantor atau dari satu kafe ke kafe lain. Sabtu-Minggu saatnya mengajak anak jalan-jalan, olahraga bareng komunitas sehobi, atau bersih-bersih rumah.
Kesibukan tersebut tanpa sengaja dipaksa terus berlangsung karena seperti itulah cara warga kota menyatakan dirinya eksis, ada dan penting. Kesibukan telah menjadi status dan bagaikan candu. Hingga kemudian muncul gurauan satir: ”Libur? Kayaknya pernah dengar, deh” atau ”Kalau banyak nganggur, badan malah pegel-pegel”.
Saat ini, kemajuan teknologi membuat telepon genggam pintar selalu ada dalam jangkauan, berbagai informasi mengalir deras dan semakin melegitimasi siapa saja untuk melakukan aneka aktivitas yang sebenarnya tidak semuanya diperlukan.
Berbagai pengetahuan tentang bagaimana mencapai hidup seimbang, sejahtera, elegan, selalu tampak bahagia dan glamor—layaknya para pesohor media sosial—tanpa sadar memengaruhi pola pikir. Banyak di antara kita terpacu untuk terus melakukan sesuatu agar menjadi seperti ikon-ikon yang dijejalkan dalam alam sadar atau alam bawah sadar kita.
Pada kenyataannya, tulis Olga Mecking di The New York Times, menjadi sibuk bukan indikator status dan kehidupan nyaman sejahtera. Faktanya, berkegiatan terus-menerus demi mencapai tujuan-tujuan tertentu efek sampingnya nyata. Jumlah kasus kelelahan, gangguan kecemasan, dan penyakit yang berhubungan dengan stres atau psikosomatis terus meningkat.
Baca juga: Banjir Dubai, Kota Paling Maju Pun Tunduk pada Krisis Iklim
Bermeditasi, berolahraga, atau mengonsumsi makanan sehat, walaupun baik dan penting, ternyata tidak selalu bisa mengatasi kelelahan fisik dan mental manusia kota.
Solusi yang benar-benar dibutuhkan, menurut Mecking, adalah meniru jurus orang Belanda yang disebut niksen. Lewat bukunya, Niksen: Embracing the Dutch Art of Doing Nothing, ia menjabarkan arti niksen, yaitu tidak melakukan apa pun.
Dalam karyanya yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Niksen: Rahasia Hidup Bahagia Tanpa Melakukan Apa-apa (2021)itu, Mecking berpendapat, setiap orang perlu memilih secara sadar melepaskan beban dengan tidak terjebak melakukan berbagai hal untuk tujuan-tujuan tertentu.
Apakah bisa seseorang benar-benar tidak melakukan apa pun? Karena, saat tidur, duduk, dan melamun saja pun tetap masuk kategori sedang melakukan sesuatu.
Niksen muncul sebagai penjelasan atas apa yang hilang, ketiadaan atau kekosongan dalam hidup kita.
Tujuan tanpa tujuan
Menurut Mecking, seperti dikutip dari The Guardian, banyak orang kesulitan dalam mendefinisikan niksen. ”Definisi yang saya gunakan dalam buku adalah tidak melakukan apa pun, tanpa tujuan,” katanya.
Mecking menyatakan, banyak orang terbiasa memikirkan suatu hasil ketika memutuskan melakukan sesuatu. Ketika menyiapkan makanan, kita berpikir bahwa makanan ini akan membantu menurunkan berat badan atau membuat lebih sehat. Jika berjalan-jalan, harus menjadi bagian dari target 10.000 langkah hari itu.
”Akibatnya, kita kehilangan kesenangan dari aktivitas menyantap makanan atau sekadar berjalan. Niksen adalah tentang melepaskan hasil dari apa yang kita lakukan,” katanya lagi.
Lebih praktisnya, menurut Mecking, ide niksen adalah menggunakan waktu dan energi secara sadar dan penuh pertimbangan untuk melakukan aktivitas, seperti menatap ke luar jendela atau duduk diam. Mereka yang tak paham mungkin menyebut para pelakunya pemalas atau boros waktu.
Perempuan asal Polandia yang menikahi laki-laki Jerman dan kini tinggal di Den Haag, Belanda, serta aktif dalam gerakan Smarter Living itu menyatakan, niksen perlu dilakukan di antara rutinitas kita. Di rumah atau tempat kerja, berikan izin kepada diri sendiri untuk meluangkan waktu sejenak setiap hari untuk nongkrong atau bengong.
Baca juga: Kreativitas dan Humor di Balik ”Dress Shimmer” hingga Kaleng Rengginang
Jika saat bengong kemudian jatuh tertidur, itu berarti berkah. Tidur siang beberapa belas menit atau beberapa puluh menit menjadi tamasya menyenangkan yang mengembalikan energi dan mencerahkan pikiran.
Bisa juga biarkan mata menjelajah birunya langit menelusuri gumpalan-gumpalan awan di atas kepadatan bangunan kota dari meja kerja. Sekadar mendengarkan ritme hunjaman hujan di kaca jendela pun menenangkan, apalagi kalau ditemani secangkir kopi atau teh hangat.
Merangsang ide kreatif
Bagi orang Belanda sendiri, seperti apakah niksen itu?
”Niksen adalah sebuah konsep,” kata Ruut Veenhoven, guru besar emeritus kondisi sosial untuk kebahagiaan manusia di Erasmus University Rotterdam, Belanda, kepada The Guardian.
Veenhoven mengakui minat publik terhadap gagasan niksen cukup besar. Hal itu tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat yang merasa paling bahagia ketika aktif. Dalam masyarakat modern, ada banyak kegiatan baik yang dapat dilakukan.
”Hasilnya, kami melakukan banyak hal. Tingkat kepuasan hidup juga tinggi dan terus meningkat. Efek sampingnya, kita mengalami tekanan dan memimpikan lebih banyak relaksasi. Niksen muncul sebagai penjelasan atas apa yang hilang, ketiadaan atau kekosongan dalam hidup kita,” kata Veehoven.
Baca juga: ”The Nuruls”, antara Stereotipe dan Subkultur
Secara umum, budaya yang dibentuk dan dijalankan oleh manusia di mana pun berada tidak menganjurkan duduk diam, apalagi rebahan. Teknologi, seperti ponsel pintar, membuat hampir mustahil untuk benar-benar melepaskan diri dan menikmati kemalasan maupun menyelami kebosanan atas rutinitas.
Hidup dalam budaya yang mengagungkan kesibukan, orang kehilangan kemampuan untuk duduk diam. Sesungguhnya, ketika tidak melakukan apa-apa atau berbuat sesuatu tanpa tujuan jelas, otak bakal ditata ulang. Dan, justru inilah manfaat besar niksen, menata ulang cara otak bekerja!
Baca juga: Fenomena Proust, Mudik, dan Nostalgia Nasi Liwet Solo
Sandi Mann dan Rebekah Cadman dari Departemen Psikologi Universitas Central Lancashire, Inggris, dalam makalah risetnya "Does being bored make us more creative?" (2013) menyebutkan, menikmati kebosanan itu efektif untuk menstimulasi otak. Kala melamun dan membiarkan pikiran mengembara tanpa batas, ide-ide kreatif yang bisa menjadi solusi atas berbagai masalah berpotensi besar muncul.
Mann menambahkan, aktivitas berjejalan membuat pelakunya terengah-engah. Proses pemikiran kreatif tersumbat. Kesibukan kerap pula membuat orang terlena menggapai kesenangan semu lewat pencapaian bendawi. Mengambil jeda dan mengosongkan pikiran dapat merangsang terbukanya keran ide out of the box yang membawa kembali seseorang ke jalur menuju kebahagiaan sejati dan hakiki.
Gaya hidup hijau
Kaum urban yang terbiasa dikejar target pekerjaan, memenuhi kebutuhan rutin, berlomba mencapai kenyamanan ala para bintang iklan atau seperti di film-film, rasanya perlu melatih diri mempraktikkan niksen.
Niksen setiap orang juga berbeda. Butuh bereksperimen untuk menemukan cara menikmati kekosongan sesuai diri kita masing-masing.
Beberapa praktik niksen terbukti selaras dengan gaya hidup hijau. Salah satunya, seseorang yang membiarkan dirinya mandi dan berganti baju sekali saja selama berakhir pekan di rumah tergolong lebih ramah lingkungan. Ia juga memiliki tambahan waktu untuk rileks.
Treehugger, situs yang menawarkan saran dan inspirasi gaya hidup hijau, menyatakan, di tingkat individu dan rumah tangga, pengurangan aktivitas mencuci dan detergen, serta hanya menyetrika baju tertentu memperkecil potensi perusakan lingkungan.
Akhir pekan ini, mulai mempraktikan niksen bisa menjadi ide bagus. Cepat atau lambat, niksen yang cocok dengan diri kita pasti akan kita temukan. Dan, hidup yang semakin menyenangkan bakal mengikuti kemudian. Hmm... yuk.
Baca juga: Catatan Urban