Gairah Sastra Anak Muda: Perlunya Rekognisi Simpul-simpul Komunitas
Komunitas-komunitas penggerak sastra, dongeng, hingga inisiatif literasi melimpah. Mayoritas mereka adalah kaum muda.
Berita pada rubrik Humaniora (Kompas, 11/4/2024) menyebutkan bahwa minat anak muda terhadap sastra berkurang. Itu karena anak muda lebih cenderung menikmati sajian audio-visual, alih-alih bacaan sastrawi yang sarat nilai, rasa, dan makna hidup.
Ulasan itu menarik dan ditopang pendapat peneliti dan pejabat berwenang. Namun, benarkah demikian? Mari kita bedah pelan-pelan.
Perlu riset spesifik
Serampung membaca berita yang berjudul “Ketertarikan Anak Muda pada Sastra Perlu Ditumbuhkan” tersebut, saya teringat uraian Prof Budi Darma saat mengisi acara ”Menjadi Manusia dengan Sastra” (Februari 2018) yang dihelat oleh Galeri Indonesia Kaya dan Penerbit Noura Books.
Sastrawan sekaligus guru besar di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut bertutur, ”Sebetulnya kalau kita mengatakan bahwa banyak anak muda yang tidak suka membaca, itu ada betulnya, tapi tidak seluruhnya betul.”
Ia bertumpu pada pengamatan personalnya di toko-toko buku: banyak anak muda yang sering membeli dan meminta dibelikan buku. Hanya saja, ini masih secara umum buku bacaan, yang tidak semua sastra.
Baca juga: Sastra, Takhayul, dan Kebuntuan Ideologis
Seno Gumira Ajidarma, yang juga pemateri forum tersebut, pun selanggam. Ia menilai sekarang malah ada ”membaca sebagai gaya hidup (lifestyle)”. Banyak anak muda yang merasa malu jika belum membaca buku tertentu.
Lebih jauh, ia pun menyodorkan gugatan agar tidak menyalahkan pembaca jika tidak tertarik dengan buku sastra. Di sinilah letak tantangan bagi para penulis—membuat pembaca terbius lantas tertarik.
Sebagai imbuhan, Seno juga menjabarkan tiga mitos sastra yang mesti dibongkar: curhat, bahasanya mendayu-dayu, dan berisi petuah. Apabila ketiga ini masih ada, menurut Seno, selamanya sastra akan berjarak.
Terlepas dari itu, semua uraian di atas masihlah percik-percik impresi personal. Ia kurang kokoh untuk dijadikan argumentasi ilmiah. Ihwal semacam ini justru merupakan panggilan bagi para peneliti sastra dan bahasa di Tanah Air. Betapa perlunya meriset secara mendalam tentang minat anak muda terhadap sastra. Juga tercakup di dalamnya bagaimana dampak media sosial terhadap ketertarikan mereka.
Pertanyaannya adalah, apakah benar minat anak muda pada sastra berkurang, atau memang rendah sedari dulu (stagnan), atau justru meningkat? Survei mana yang menjelaskan berapa persen minat anak muda pada sastra yang berkurang? Indikatornya apa, dari berapa persen ke berapa, dan basis datanya dari mana? Masalahnya, pusat riset bidang yang otoritatif dan berwenang pun belum menjajaki hal ini secara mendalam, lebih-lebih secara komprehensif.
Jangan-jangan ini kecenderungan alarmis reaksioner saja. Atau justru ini malah menjadi self-fulfilling prophecy: kita ”dikutuk” oleh omong-omong dan pelabelan yang kita karang-karang sendiri.
Pertanyaannya adalah, apakah benar minat anak muda pada sastra berkurang, atau memang rendah sedari dulu (stagnan), atau justru meningkat?
Andai kata ingin meneliti secara kualitatif, apa yang membuat minat anak muda pada sastra berkurang? Generasi sebelumnya bagaimana kondisinya dan sekarang seperti apa sehingga bisa disebut menurun? Dahulu benarkah tampak bergairah dan semarak, sedangkan kini surut dan loyo?
Ini perlu dicurigai secara kritis: boleh jadi generasi pendahulu tampak ramai justru kerena pemainnya itu-itu saja? Nama-nama dan peristiwa besar saja. Jika meminjam istilah Steven Pinker, itu sekadar ”bias berita utama” (headline bias). Sebuah kecenderungan untuk tersamun oleh berita utama yang padahal keadaan sehari-hari tidaklah sesuram itu. Ini juga yang mendasari tendensi progressophobia dalam masyarakat, seolah-olah kita ini dekaden melulu, tanpa ada kemajuan sama sekali.
Kemudian untuk dampak media sosial, memang, jamak disadari kalau kehadirannya telah mendisrupsi banyak aspek, termasuk perampokan jam baca buku dan perhatian publik hari ini. Kendati demikan, saya agak sanksi dengan kosakata ”berkurang” dalam artikel di rubrik Humaniora tersebut—juga pendapat para ahli yang dikutip. Pasalnya, pernyataan tersebut lebih banyak porsi asumsinya ketimbang data riil yang ditempuh secara metodologis.
Baca juga: Gen Z Lebih Suka Buku yang Relevan dan Tidak Menggurui
Repotnya lagi, saya sendiri pun kesulitan menemukan kajian survei atau riset yang spesifik menelusuri minat anak muda Indonesia terhadap sastra—bukan literasi secara umum. Temuan lama ada dari LSI. Hasil penjajakannya menyingkap bahwa dari 1.200 responden di 34 provinsi dengan usia di atas 17 tahun, data pembaca sastra kita sebanyak 6,2 persen (LSI, Desember 2017). Hanya saja, demografi kelompok usia belum ditelusuri lebih lanjut.
Hal yang menarik dari temuan ini ada dua poin penting. Pertama, pembaca sastra nyatanya cenderung terlibat kegiatan sosial. Angkanya sebesar 65,7 persen bagi pembaca sastra dibandingkan dengan 48,5 persen yang tidak membaca sastra. Artinya, individu yang mengonsumsi sastra relatif lebih peka, peduli, dan aktif dalam kegiatan masyarakat. Lagi-lagi, riset soal ini urgen ditempuh.
Lingkar komunitas sastra lokal
Beranjak dari persoalan yang tampak murung tadi, saya ingin mengajak pembaca untuk sedikit optimistis dan penuh harap. Di luar hasil survei literasi kita yang rendah, nyatanya ada kertap-kertip inisiatif yang sedang tumbuh.
Buktinya, hasil survei Perpustakaan Nasional mencatat bahwa minat baca masyarakat Indonesia meningkat. Dari tahun 2017 yang sebesar 36,48 persen menggelembung menjadi 53,84 persen pada 2019 (Media Indonesia, 8/9/2020).
Di survei yang sama, buku sastralah yang paling favorit (58 persen), disusul tema keagamaan (29 persen). Dan, Provinsi DI Yogyakarta menjadi daerah tertinggi soal minat baca (63,02 persen). Membaca data itu, tentu kita bisa sejenak tersenyum.
Walaupun saya peneliti generasi muda dan sosial keagamaan, keseharian saya mengelola media literasi membuat saya juga aktif berinteraksi dengan anak-anak muda pegiat literasi dan sastra di Yogyakarta. Kesan personal pun masih menguat akan benih-benih muda penerus estafet kesusastraan Tanah Air.
Banyak toko buku dan penerbit bermunculan, jumlah pengikutnya ratusan ribu dan lumayan laris. Pusparagam kegiatan sastra, seni, buku saling berkolaborasi; ada Mocosik Festival, Jogja Art + Book Festival, dan sebangsanya.
Baca juga: Sastra Muda
Di antara semua, sejatinya melimpah sekali komunitas-komunitas penggerak sastra, dongeng, teater, klub baca buku, dan inisiatif literasi. Ada Forum Buku Berjalan, Pustaka Bergerak, Komunitas Akar Pohon Mataram, Komunitas Kutub Yogyakarta, Jejak Imaji, Komunitas Kamar Kata Karanganyar, dan lain-lain—untuk menyebut sebagian contoh.
Mayoritas mereka adalah kaum muda yang getol dan militan. Saya pernah bertemu dengan beberapa dari mereka yang bahkan rela kelaparan di rantau, menolak dikirimi uang oleh orangtua, dan bertahan hidup hanya dari menulis.
Ini menyiratkan sebuah wajah penuh gairah akan sastra dalam diri anak muda kita. Ironisnya, para pegiat ini sangat sedikit yang jurusan sastra. Rerata dari jurusan humaniora yang lain, seperti filsafat dan sejarah. Bahkan, ada yang bioteknologi dan psikologi.
Sisi minus lainnya, mereka masih sporadis, terpencar, dan jarang direkognisi dan mendapat dukungan pihak berwenang—meski mereka pun tak minta. Inisiatifnya pun masih mayoritas di kota-kota besar, belum menjamah pelosok negeri. Akan luar biasa apabila diperbanyak dan muncul ”koagulan” yang memperjumpakan mereka satu sama lain agar berkolaborasi dalam kerja-kerja kesusatraan yang berkelanjutan. Dan, saya sangat menantikan saat itu tiba.
M Naufal Waliyuddin, Peneliti Generasi Muda; Kandidat Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Instagram: madno_wk