Tari, Dinamika Global dan Upaya Memilih Makna
Tari menjadi representasi beragam maksud dan pemikiran sekaligus merupakan upaya untuk memilih makna.
Jika selama ini kita memahami tari lekat dengan simbolisme tradisi, alam lingkungan, dan nilai komunal lainnya, pada dasarnya tari menjadi harmonisasi hubungan manusia dengan alam, baik secara fisik maupun spiritual. Tari menjadi tubuh yang mengalirkan gerak dan menerima energi dari ambience ruang tempatnya berada.
Dalam konteks tersebut, tubuh tari menjadi bio-sphere, sebuah ruang inter-relasi antara ketubuhan dan lingkungannya, sebuah konstruksi sosial dan kultural.
Namun, perubahan yang merasuki berbagai sendi kehidupan mengubah berbagai pola hubungan, termasuk tari sebagai sebuah komunikasi seni. Seiring perkembangan teknologi, sajian komunikasi seni (tari) saat ini tidak lagi (hanya) muncul dalam ruang waktu yang terbatas, tetapi juga menerabas berbagai medium, baik moda, wahana, basis ekspresi, maupun bentuk presentasinya.
Baca juga: Tari sebagai Pengetahuan
Sparks (2001) menyebut komputerisasi telekomunikasi melahirkan suatu fenomena yang mengubah konfigurasi moda komunikasi konvensional, dengan melahirkan kenyataan dalam dimensi ketiga. Jika dimensi pertama adalah kenyataan kehidupan empiris sosial dan alam, dimensi kedua merupakan kenyataan dalam kehidupan simbolik dan nilai-nilai yang dibentuk, maka dengan dimensi ketiga dikenal kenyataan maya (virtual reality) yang melahirkan suatu format masyarakat lainnya.
Masyarakat siber (cyber-society) yang terbentuk dalam kenyataan virtual ini membentuk ruang siber (cyber-space) sebagai ajang yang memungkinkan adanya hubungan antarmanusia, sebagai arena terbuka dan demokratis. Sebagai warga dari masyarakat siber, manusia Indonesia menjadi warga masyarakat virtual yang didefinisikan secara teknologis (Ashadi Siregar, 2009). Inilah yang menjadi konteks kekinian manusia Indonesia.
Dengannya, teknologi mengubah konfigurasi masyarakat, mulai dari masyarakat agraris, industrial, sampai ke masyarakat informasi. Dalam konteks tari, logika ini digunakan untuk menunjukkan perkembangan sosio-artistik masyarakat tari dari bio-sphere menuju ke cyber-sphere.
Kreasi lewat platform digital
Tari menjadi bergerak dengan kecepatannya sendiri, memekarkan dirinya sendiri, sebagai bagian dari pergerakan realitas. Kreasi termediasi lewat platform digital sehingga mengubah konfigurasi moda komunikasi dan membuka alternatif ruang untuk beradaptasi serta mengekspresikan gagasan dan imajinasi artistik.
Terlebih di masa pandemi, ketika kesempatan menampilkan karya tari di atas panggung menjadi terbatas, para koreografer bisa mengeksplorasi media sedemikian rupa, dalam penjelajahan kreatif yang sangat terbuka dan bervariasi. Tidak hanya pada unsur estetis, proses kreatif bisa dilakukan dengan membuka wacana dan menjangkau luasan logika lain dalam antropologi, etnografi, sosio-religi, hingga ilmu medis dan arsitektur.
Hal ini seturut Merleau-Ponty melalui teori kebertubuhan manusia bahwa ”tubuh dan segenap kebertubuhan adalah cara kita berkomunikasi dengan waktu dan ruang” di mana pun, tak terkecuali di ruang virtual (Afianto, 2020). Ini tidak hanya menjadi sebuah pengalaman estetik, tetapi juga mendukung lahirnya sensasi dan sublimitas yang lain, yang baru.
Tari menjadi bergerak dengan kecepatannya sendiri, memekarkan dirinya sendiri, sebagai bagian dari pergerakan realitas.
Dengannya, dalam dinamika dunia yang makin mengerut, interaksi antarbangsa semakin intens, teknologi komunikasi semakin progres, budaya menjadi sebuah produk instan yang tercipta seketika (immediate).
Batas kebudayaan menjadi kabur, kita semakin leluasa meniru dan memakai apa saja yang kita lihat dan konsumsi di layar telepon seluler (ponsel). Ada jogetan baru di Tiktok, maka dalam lima menit gerakan itu sudah bisa menjadi tren dunia. Globalisasi menjadi air bah yang membanjiri manusia dengan atribut-atribut yang menjadikannya generasi instan dan reaktif.
Kualitas diri
Pun demikian, mengutip Wirjosandjojo (2024), globalisasi membuka sisi lain yang juga bisa meningkatkan kualitas diri. Informasi memang mampu menjadikan diri sebagai sosok entitas yang hybrid. Namun, tubuh juga adalah sebuah komputer yang mampu menampung begitu banyak kebudayaan sebagai perangkat lunak yang beroperasi harmonis di dalamnya.
Budaya dapat menyatu atau kerja berdamping-dampingan. Otokritik muncul, nilai dan fungsi di antara software kebudayaan itu saling menarik, berargumentasi, menggugat, menciptakan keseimbangan dan pertumbuhan berkehidupan.
Selama ini kita terbiasa berpikir tentang budaya yang terkait dengan masa lalu, dengan konservasi, transmisi, dan pewarisan tradisi masyarakat tertentu. Namun, budaya juga memiliki wajah yang mengarah ke masa depan: kebudayaan yang maju, yang terwujud dari penemuan yang prospektif. Bentuknya bisa saja berbeda dari yang selama ini kita kenal melalui proses transmisi budaya.
Tari bisa hadir dari seorang arsitek, ekonom, kaum difabel, hingga tukang becak yang menyadari spirit gerak dalam dirinya adalah sebuah ekspresi kemanusiaan. Karena pada saat yang sama, sebagai sebuah ekosistem, tari juga memiliki elemen untuk saling mengajak-menggerakkan, memaknai, mengkritisi, berdialog, dan memperbaiki.
Baca juga: Tari dalam Problematika Ketubuhan Kontemporer Kita
Proses dialektis yang memang seharusnya terjadi dalam sebuah iklim artistik dan intelektual yang sehat, positif dan produktif, untuk menciptakan solusi-solusi terbaru, meng-kini dan kontekstual dalam menghadapi masalah kemanusiaan yang juga semakin kompleks.
Selain banyaknya ruang yang bisa menjadi media eksplorasi dan moda interaksi antarpelaku seni pertunjukan, bekal literasi digital artistik bagi masyarakat juga diperlukan. Hal ini patut didukung dengan media digital publik yang memberi ruang makin luas kepada seni pertunjukan dan kebudayaan melalui program-program acaranya.
Dengannya, tari menjadi representasi budaya, cara di mana kita dapat mengonstruksikan identitas, memilih diksi untuk menceritakan diri dan kehidupan kita agar identitas dan makna yang kita inginkan terbentuk. Tari menjadi representasi beragam maksud dan pemikiran sekaligus merupakan upaya untuk memilih makna.
Hal ini penting sebagai kontekstualisasi peringatan Hari Tari Dunia pada 29 April lalu untuk mengembangkan tradisi dan memperluas batas: sebagai eksplorasi estetis yang membangun dan memperluas basis pengembangan gagasan kreatif atas dinamika terkini.
Purnawan Andra, Alumnus Jurusan Tari ISI Surakarta; Bekerja di Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek