Manusia kini hidup dalam kepungan krisis lingkungan. Wartawan tak boleh lelah menyuarakan kepentingan publik.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Setiap 3 Mei, masyarakat pers internasional merayakan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia. Pada 2024, World Press Freedom Day dipusatkan di Santiago, Chile.
Tema yang diangkat tahun ini, sesuai dengan kenyataan dunia saat ini yang dilanda perubahan iklim, adalah ”A Press for the Planet: Journalism in the Face of the Environmental Crisis” (Pers bagi Bumi: Jurnalisme dalam Menghadapi Krisis Lingkungan). Media memiliki kewajiban menjaga lingkungan, antara lain dengan terus mengingatkan potensi bencana yang bisa menimpa warga dunia.
Pada Hari Kebebasan Pers Sedunia, Jumat (3/5/2024), Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyoroti peran jurnalis dalam memberitakan kerusakan lingkungan. Dunia mengalami darurat lingkungan serta menimbulkan ancaman besar bagi generasi sekarang dan mendatang. Masyarakat perlu mengetahui hal ini. Jurnalis dan pekerja media berperan penting dalam memberikan informasi dan mendidik warga (Kompas.id, 3/5/2024).
Hari Kemerdekaan Pers Sedunia ditetapkan oleh PBB tahun 1993, setelah Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) mengusulkan pada 1991. Tahun 2021, tema pada Hari Kebebasan Pers Sedunia adalah ”Information as a Public Good”. Informasi merupakan barang publik sehingga tidak boleh ada siapa pun yang menguasainya demi keuntungan diri semata atau kelompoknya. Tahun 2023, tema yang diangkat adalah ”Shaping a Future of Rights: Freedom of Expression as a Driver for All Other Human Rights” (Membentuk Masa Depan Hak: Kebebasan Berekspresi sebagai Pendorong bagi Semua Hak Asasi Manusia Lainnya). Rangkaian tema itu berkaitan dengan memiliki informasi yang benar dan kebebasan menyatakan pendapat, jurnalis bisa menyuarakan dan mengingatkan bahaya kerusakan lingkungan.
Namun, menyuarakan pelestarian alam dan lingkungan, serta menunjukkan kepada publik siapa saja yang mengoyak lingkungan demi kepentingan diri atau kelompoknya, bukan tanpa risiko. Tak sedikit wartawan meninggal akibat melaporkan kerusakan lingkungan di bumi ini. Guterres menyebutkan, sejumlah jurnalis yang meliput penambangan ilegal, pembalakan liar, perburuan liar, dan isu lingkungan lain terbunuh dalam beberapa dekade terakhir. UNESCO menyebutkan, setidaknya 749 jurnalis dan media yang melaporkan isu lingkungan menjadi sasaran pembunuhan, kekerasan fisik, penahanan, dan pelecehan pada periode 2009-2023.
Kondisi hampir mirip juga terjadi di Indonesia. Pada 2014, sejumlah wartawan di Sulawesi Selatan diserang aparat ketika meliput mahasiswa yang berunjuk rasa menolak penambangan yang merusak lingkungan. Pada 2023, Aliansi Jurnalis Independen mencatat 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis, meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagian dari pekerja media itu menyuarakan kerusakan alam.
Manusia kini dalam kepungan krisis lingkungan sehingga bencana terus terjadi. Wartawan tak boleh lelah menyuarakan kepentingan publik dan menjaga lingkungan dengan tetap menjaga independensi dan keselamatan dirinya.