Membaca Roman ”Ragam Ni Si Marian” Kartini Sjahrir
Melalui riset mendalam, ”Ragam Ni Si Marian” adalah sebuah roman yang mengikat pembaca dari awal sampai akhir.
Perempuan penulis baru roman Indonesia sudah lahir. Dan, ternyata tidak main-main. Penulis ini tidak hanya mampu memperkaya khazanah sastra Indonesia, tapi juga mengungkapkan secara rinci latar dan perjalanan sejarah Indonesia, melalui jalinan kisah cinta fiksi meliputi proses dan usaha perkebunan, pedagangan, penjajahan, serta pergerakan mahasiswa dan pemuda Indonesia pada rentang masa 1900-1955. Tidak hanya di negara jajahan Hindia Belanda, tetapi juga di Negeri Belanda.
Melalui riset pustaka dan penelitian lapangan selama lebih dari empat tahun, Nurmala Kartini Sjahrir, doktor antropologi dan mantan Duta Besar RI untuk Republik Argentina merangkap Republik Paraguay dan Republik Uruguay (2010-2014), ini melahirkan roman perdananya, Ragam Ni Si Marian, yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK) pada Maret 2024. Dengan judul lengkap Ragam Ni Ngolu Ni Si Marian-Ragamnya Kehidupan Si Marian, roman setebal 660 halaman dengan 80 bab, ini merupakan trilogi pertama yang mencakup periode 1900-1955.
Rupanya, gagasan bagi roman ini lahir ketika dunia dan Indonesia khususnya dilanda pandemi Covid-19 yang sangat mencekam sejak awal 2020. Kartini mengawali kisah cinta segi empat ini dengan latar wabah flu Spanyol (Spanish flu), yang melanda dunia pada 1918-1920, dan meledak di Spanyol menjelang akhir Perang Dunia I. Padahal, sejatinya, awal flu itu terjadi awal Maret 1918, di Kansas, Amerika Serikat, sebelum kemudian mewabah ke Perancis, Jerman, serta Inggris, dan akhirnya ke Hindia Belanda, dengan jumlah korban global antara 17 juta sampai 100 juta jiwa.
Ragam Ni Si Marian adalah sebuah roman yang mengikat pembaca dari awal sampai akhir karena walau kisah kasih tak sampai ini secara umum dapat ditebak alurnya, tetapi banyak detail tak terduga.
Ditulis dengan gaya bahasa yang lancar, mudah dipahami, dan penguasaan materi yang mumpuni, sebagaimana roman-roman berlatar sejarah, banyak nama tokoh yang terlibat di dalamnya. Pada trilogi pertama ini, kita bisa merasakan dan ”mengalami” kisah serupa pada masa yang sama, yang sangat berhasil dituliskan Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), dalam tetratlogi-nya yang ditulis di Pulau Buru (Bumi Manusia, 1980, Anak Semua Bangsa, 1980, Jejak Langkah, 1985, dan Rumah Kaca, 1988). Yang membedakan Ragam Ni Si Marian dengan karya-karya Pram itu, barangkali, bila Pram menulis berdasarkan ingatan pengalaman, Kartini menulisnya berdasarkan riset pustaka dan peninjauan langsung ke pelbagai tempat yang ditulisnya, baik di Indonesia maupun di Belanda. Bahkan, proses penulisan romannya pun dilakukan di sebuah tempat di Belanda selama beberapa bulan.
Perbedaan lainnya adalah, bila Pram melukiskan tempat dan panorama dalam karyanya berdasarkan mata batin seorang pengarang dan penulis fiksi, yang mungkin tidak membutuhkan detail, sedangkan Kartini mengamati dan menghayati panorama dan kehidupan manusia pada masa lalu itu (Kartini baru lahir pada 1 Maret 1950), dari kacamata dan kepakarannya sebagai seorang antropolog. Tidak hanya mendalami tentang manusia dan karakternya secara biologis, tapi juga aspek sosial dan kaitannya dalam perspektif budaya, perilaku, bahasa, dan pandangan hidup.
Ragam Ni Si Marian mengisahkan tentang pertunangan, pemutusan hubungan, pernikahan, dan perselingkuhan orang Belanda dengan orang pribumi dari Suku Batak dengan latar Kota Batavia, Limbangan (Priangan) dan Holland, pada masa penjajahan, pandemi flu spanyol, dan pergerakan Indonesia merdeka 1900-1955. Roman yang terdiri dari 80 bab setebal 660 halaman ini intinya bercerita Ihwal pertunangan pasangan Belanda di Negeri Belanda, yakni Jan-Pieter Smit dengan Margriet van den Berg, yang tertunda dan kemudian batal, karena Jan-Pieter Smit, ahli botani kelahiran Limbangan (Garut), itu ditugaskan perusahaannya untuk mengelola perkebunan di Hindia Belanda. Jan-Pieter semula sempat dijodohkan dan ditunangkan resmi dengan Margriet anak dari Hendrick van den Berg, mantan tentara Belanda di Hindia Belanda.
Sementara pada masa yang hampir sama, rencana pertunangan pemuda Batak Willem ”Olań”Hasiholan dengangadis campuran Batak Marian Bintang Hasibuan, juga tertunda dan akhirnya batal, karena Willem Hasiholan keburu pergi ke Belanda untuk melanjutkan pendidikannya di bidang hukum. Willem adalah anak dari pasangan Batak Tiurma danMarolop Siregar. Sementara Marian adalah putri sulung dari pasangan Batak Immanuel ”Iman” Hasibuan dengan Minarsih, perempuan Sunda keturunan Menak (priyayi) pengusaha perkebunan. Minarsih meninggal setelah melahirkan Marian dan adiknya. Dan pasangan Iman Hasibuan dan Minarsih itu bersahabat baik dengan pasangan Tiurma dan Marolop Siregar. Mereka memiliki hubungan bisnis hasil bumi (perkebunan kopi dan pertanian) di wilayah Priangan.
Cinta mempertemukan dan cinta juga yang memisahkan. Demikianlah kisah roman ini dibuka dengan adegan di rumah sakit. Marian yang mengabdikan dirinya sebagai Perawat, kedatangan pasien yang terkena flu spanyol. Tak lain adalah Jan-Pieter Smit. Perkenalan yang kemudian melibatkan keduanya dalam petualangan asmara di tengah kontroversi pergaulan bisnis dan sosial dua anak bangsa yang dinilai tidak setara: penjajah dan terjajah. Disertai prasangka dan ketidak adilan. Serta dusta. Ya, Jan-Pieter tidak pernah mengatakan kepada Marian bahwa di Belanda ia sudah bertunangan dengan Margriet. Sesuatu yang berakibat fatal ketika Jan-Pieter harus kembali ke Belanda dan meninggalkan Marian yang baru mengorbankan kegadisannya untuk si penjajah.
Rupanya, gagasan bagi roman ini lahir ketika dunia dan Indonesia khususnya, dilanda pandemi Covid-19 yang sangat mencekam sejak awal 2020.
Sementara di Belanda, Margriet yang tak pernah mendengar lagi kabar tentang Jan-Pieter, tunangannya, berkenalan dengan pemuda pribumi Batak yang tengah belajar hukum: Willem Hasiholan. Di tengah prasangka dan ketidaksetaraan yang sama, penjajah dan terjajah, Margriet tidak pernah menceritakan kepada Willem ihwal hubungan dan pertunangannya dengan Jan-Pieter. Padahal mereka sudah berpacaran layaknya suami-istri. Hingga keinginan Willem untuk menikahi Margriet ditolak mentah-mentah oleh ayah Margriet: Hendrick van den Berg. Willem pun kembali ke Hindia Belanda dengan rasa hampa walau ia sudah mengantongi ijazah sarjana hukum dan terlibat dengan pergerakan pemuda Hindia Belanda yang mengampanyekan Kemerdekaan bagi Hindia Belanda.
Sepulang ke Indonesia, Willem akhirnya bertemu Marian, calon tunangan yang tidak jadi ditunangkan karena ia keburu ke Belanda. Sementara kondisi Marian yang merana, mantan perawat yang tetap cantik dan sangat berbakat sebagai pengusaha, serta menjadi perempuan yang mandiri, akhirnya menerima kehadiran Willem dalam hidupnya. Apalagi dari hasil hubungan asmaranya yang pertama dan terakhir dengan Jan-Pieter, ia hamil dan melahirkan anak kembar: Jusuf dan Josefina, yang tak pernah diberitahukannya kepada Jan-Pieter.
Lalu, apa yang terjadi ketika Jan-Pieter menikah dengan Margriet di Belanda dan kembali ke Hindia Belanda lalu bertemu dengan pasangan Willem dan Marian?
Saya tidak ingin mengurangi kenikmatan pembaca selanjutnya. Karena roman ini, selain mengingatkan kita kepada perkembangan sejarah sosial dan politik masa Hindia Belanda hingga Kemerdekaan 17 Agustus 1945, juga ihwal apa konsekuensinya bagi warga Belanda yang masih tinggal pada masa penjajahan Jepang hingga Kemerdekaan. Termasuk bagi pasangan Jan-Pieter dan Margriet.
Ragam Ni Si Marian adalahsebuah roman yang mengikat pembaca dari awal sampai akhir, karena walau kisah kasih tak sampai ini secara umum dapat ditebak alurnya, tetapi banyak detail tak terduga. Kita juga disuguhi pelbagai keunikan adat istiadat Sunda, Batak, dan Belanda, dengan aneka ragam fashion, dan kulinernya masa itu, yang tetap berpengaruh hingga kini.
Kartini Sjahrir, yang mantan perenang dan pendaki gunung ini, juga sangat fasih dan romantis ketika menggambarkan alam pegunungan dan perkebunan di daerah Priangan, yang tak begitu banyak berubah hingga sekarang. Lukisan suasana piknik di danau dan lembah juga terasa sangat puitis. Termasuk ketika ia melukiskan adegan asmara pasangan Willem-Margriet dan Jan-Pieter-Marian. Sesuatu yang menakjubkan untuk penulis yang baru membuat romannya yang pertama pada usia 74 tahun. Namun, ihwal bertutur dan berbahasa, sebagaimana dua karya nonfiksi sebelumnya, Rumah Janda I dan Rumah Janda II, Kartini sudah mampu mengungkapkan bakatnya dalam berkisah.
Karena itu, akan sangat ditunggu buku kedua dan ketiga trilogi ini, yang akan mengisahkan Indonesia periode 1955-1998, dan periode 1998-sekarang. Masa-masa bergemuruh yang dialaminya langsung sebagai aktivis mahasiswa dan politik. Apalagi suaminya, almarhum Dr. Sjahrir, adalah ekonom dan tokoh pergerakan mahasiswa 1970-an, dan abangnya adalah Luhut Binsar Pandjaitan, tokoh kunci pasca-Reformasi 1998 hingga kini.
Baca juga: Menyelami Kerinduan Mereka yang Tertindas
Tentu tidak ada karya yang sempurna. Akan tetapi, sebagai proforma, saya hanya ingin menyampaikan beberapa catatan kecil yang agak mengganggu kenikmatan membaca. Pertama, beberapa judul bab seperti judul makalah bahkan agak spoiler karena sudah menggambarkan apa yang akan terjadi. Padahal, judul-judul itu bisa kita bikin ”romantis” seperti kata lagu Maliq & D’Essentials, yang lagi ngetren di TikTok sekarang.
Kedua, mengingatkan kepada pembaca ihwal nama-nama jalan dan daerah yang dulu berbahasa Belanda dengan nama-nama sekarang, membuat pembaca segera ”disadarkan” dari kenikmatan dan keasyikkannya menyelami masa lalu. Dan terakhir, mungkin ini karena ketidakcermatan editor saja. Di halaman 29 terdapat kalimat: Karena santan yang terbuat dari minyak kelapa tidak tersedia di Nederland, maka santan diganti dengan susu. Setahu saya, santan terbuat dari sari parutan kelapa dan bukan dari minyak kelapa.
Lepas dari catatan kecil ini, saya yang pernah membuat beberapa novel lebih dari 500 halaman, terus terang sangat kagum dan terpesona pada daya tahan, kesabaran dan kecermatan Kartini Sjahrir dalam menyelesaikan magnum opus-nya yang pertama ini: Ragam Ni Si Marian. Semoga karya berikutnya jauh lebih romantis dan lebih memikat. Salut Bu Kerr…! (*)
Pengarang; Penulis Biografi Luhut; Tinggal di Bintaro.
Data Buku
Judul: Ragam Ni Si Marian
Penulis: Kartini Sjahrir
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit: Cetakan I, 2024
Tebal: xviii+670 halaman
ISBN: 978-623-160-338-8