Masyarakat sipil harus membangun solidaritas dan menjadi ”watchdog” untuk mengontrol pemerintah.
Oleh
SYAMIL SHAFA BESAYEF
·3 menit baca
Perselisihan hasil pemilihan umum atau PHPU yang dimohonkan oleh capres-cawapres nomor urut 1 dan 3 telah melewati rangkaiannya. Upaya tersebut merupakan langkah untuk menguak dugaan kecurangan pemilu melalui mekanisme Mahkamah Konstitusi mengadili perkara PHPU.
Senin, 22 April 2024, MK menolak semua permohonan yang diajukan pihak 1 dan 3. Menariknya, dalam putusan terdapat dissenting opinion tiga hakim konstitusi yang meminta dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa tempat.
Perjuangan kubu 1 dan kubu 3 secara konstitusional telah selesai karena putusan MK bersifat final sesuai dengan Pasal 24 (C) UUD 1945. Terlepas dari kontroversi putusan MK, kini putusan tersebut sudah berkekuatan hukum. Apakah artinya partisipasi politik kita sebagai masyarakat sipil telah usai?
Banyak orang berpikir bahwa partisipasi politik hanya sebatas masuk bilik suara, lalu menyerahkan semua kepada penyelenggara pemilu. Partisipasi politik selanjutnya adalah mengawal pemerintah ke depan dalam menjalankan roda pemerintahan. Civil society mengawal kebijakan dan demokrasi agar terjadi percepatan terwujudnya kesejahteraan rakyat. Civil society harus membangun solidaritas dan menjadi watchdog untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah.
Pascakontestasi politik Pilpres 2024, poros perubahan antara PKB dan Nasdem tampaknya bergabung menjadi bagian pendukung pemerintah yang menang. Dengan posisi PPP tidak masuk parlemen, partai di parlemen yang belum menyatakan sikap adalah PKS dan PDI-P. Jika diasumsikan yang oposisi di parlemen hanya PKS dan PDI-P, artinya oposisi hanya berjumlah 25,14 persen. DPR yang memiliki fungsi pengawasan terhadap eksekutif berpotensi kehilangan taringnya.
Keadaan tersebut berpotensi melahirkan oposisi dari masyarakat sipil. Namun, keadaan ini relatif dianggap bahaya oleh kekuasaan. Keadaan tersebut menjadi bom waktu yang akan meledak. Ketika pemerintah melakukan langkah blunder dalam mengambil keputusan atau mengeluarkan suatu kebijakan, masyarakat akan merespons dengan kepercayaan terhadap pemerintah yang minim.
Sebagai masyarakat sipil yang tergabung dari berbagai unsur, kita harus membangun lingkar sekutu yang lebih besar untuk mengawal pemerintahan yang akan berjalan.
Pendidikan diatur dalam BAB XIII Pasal 31 UUD 1945. Disebutkan bahwa ”Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” (Ayat 1) dan ”Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” (Ayat 2).
Pada kenyataannya, yang terjadi saat ini adalah pendidikan layaknya sebagai ladang untuk berbisnis, bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana Pembukaan UUD 1945. Banyaknya sekolah swasta di Jakarta tidak hanya untuk menimba ilmu, tetapi juga menampung siswa yang tidak bisa bersekolah di sekolah negeri. Tidak hanya terjadi di pendidikan dasar dan menengah, tetapi juga pendidikan tinggi, terutama pada perguruan tinggi negeri berstatus PTN berbadan hukum (PTN-BH).
Pada awalnya, tujuan PTN-BH adalah mewujudkan kemandirian PTN dalam pengelolaan dirinya sendiri. Dalam hal ini, segala bentuk atas kebijakan internal PTN tersebut bisa dibentuk sendiri tanpa perlu adanya intervensi pemerintah lewat Kemendikbudristek. Bisa dikatakan, PTN-BH adalah hak otonomi PTN. Pada kenyataannya, justru PTN-BH menjadikan suatu hal yang ”mengerikan” bagi mahasiswa.
Kita lihat yang terjadi di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), mahasiswa baru mendapatkan kejutan dari rektor berupa kenaikan UKT. Hal ini bukan hanya terjadi di Unsoed. Calon mahasiswa jalur undangan/prestasi (SNBP 2024) pun tak luput dari ”pungutan tambahan”.
Apabila kita melihat fenomena tersebut, mungkinkah di masa mendatang pendidikan diperuntukkan hanya buat keluarga yang mampu secara finansial?
Kami mengharapkan kebijakan PTN-BH ”dikaji kembali” agar tidak memberatkan orangtua secara finansial.