Beredar Daftar Nama Calon Pansel KPK, Pembusukan KPK Dinilai Berlanjut
Nama-nama calon anggota Panitia Seleksi KPK muncul. Dominasi alat kekuasaan dinilai kuat.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nama-nama calon anggota panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mulai beredar. Pihak Istana menyebutkan bahwa Presiden Joko Widodo belum memutuskan nama para tokoh yang menjadi anggota panitia seleksi calon pimpinan dan dewan pengawas lembaga antirasuah tersebut. Di sisi lain, ada pandangan dari kalangan akademisi bahwa dominasi alat kekuasaan tergambar dalam daftar nama yang beredar tersebut.
Nama calon anggota panitia seleksi (pansel) yang beredar ini antara lain Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan M Yusuf Ateh, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Ivan Yustiavandana, serta Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria.
Berikutnya, pengajar Hukum Pidana Universitas Airlangga, Surabaya, Taufiq Rachman, Deputi Bidang Keuangan dan Manajemen Risiko Kementerian BUMN dan Komisaris PT PLN Nawal Nely, Kepala Badan Strategi Kebijakan Hukum dan HAM Ambeg Paramarta, dan Rektor IPB Arief Satria.
Nama-nama lain yang muncul adalah anggota Dewan Pengurus Transparency International Indonesia Rezki Sri Wibowo, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Elwi Danil, dan Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia Fauzie Yusuf Hasibuan.
Selain itu juga Direktur Eksekutif Kemitraan dan Wakil Ketua KPK (2015-2019) Laode M Syarif, akademisi dan Ketua Pansel KPK 2019 Yenti Garnasih, serta Deputi Bidang Administrasi Aparatur Kementerian Sekretariat Negara Nanik Purwanti.
Menanggapi nama-nama yang beredar, Koordinator Staf Khusus Presiden Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana mengelak memberikan konfirmasi. ”Sampai saat ini Presiden belum memutuskan nama tokoh-tokoh yang menjadi anggota Pansel Capim (Calon Pimpinan) dan Dewas (Dewan Pengawas) KPK. Nama-nama bakal calon pansel masih dalam proses penggodokan,” tuturnya, Minggu (19/5/2024).
Presiden, menurut Ari, menghormati harapan dan masukan dari semua elemen masyarakat dalam pembentukan Pansel Dewas dan Capim KPK. Dalam menetapkan sembilan anggota Pansel Dewas dan Capim KPK, Presiden berpegang pada koridor peraturan perundang-undangan.
Sampai saat ini Presiden belum memutuskan nama tokoh-tokoh yang menjadi anggota Pansel Capim dan Dewas KPK. Nama-nama bakal calon pansel masih dalam proses penggodokan.
Sebelumnya, Presiden Jokowi pernah mengatakan akan memilih nama-nama anggota pansel yang berintegritas. ”Tokoh yang baiklah, yang punya integritas, yang concern terhadap pemberantasan korupsi. Saya kira banyak sekali, tinggal nanti dipilih,” ujarnya kepada wartawan di Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, Selasa (14/5/2024).
Dengan komitmen tersebut, menurut Ari, Presiden Jokowi sudah memastikan pembentukan dan penetapan Pansel KPK 2024 adalah untuk memperkuat KPK dan sistem pemberantasan korupsi di Indonesia.
Namun, di sisi lain, pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Herlambang Perdana Wiratraman, menilai nama-nama yang beredar ini menunjukkan dominasi alat kekuasaan. Kalaupun ada nama-nama masyarakat sipil dan intelektual terselip di antaranya, dia menyebut, mereka hanya aksesori politik kekuasaan.
”Kita tahu, KPK mengalami pelemahan, bahkan pembusukan, yang justru tak hanya dari kendali kekuasaan, melainkan pula dari dalam. Apa yang dikhawatirkan masyarakat sipil terbukti,” tuturnya melalui pesan singkat dari Leiden, Belanda, Minggu (19/5/2024).
Kita tahu KPK mengalami pelemahan bahkan pembusukan, yang justru tak hanya dari kendali kekuasaan, melainkan pula dari dalam. Apa yang dikhawatirkan masyarakat sipil terbukti.
Herlambang juga menilai semestinya Presiden Jokowi malu dan tak lagi membodohi publik soal pemberantasan korupsi. Memilih Pansel KPK dengan susunan nama-nama yang menunjukkan dominasi alat kekuasaan—dengan sedikit memberi aksesori intelektual atau aktivis—hanya akan menambah panjang daftar ketidakpercayaan masyarakat. Ketidakpercayaan publik ini bukan hanya kepada KPK, melainkan juga pada komitmen politik Presiden Jokowi.
Pemilihan pimpinan KPK 2019 terbukti sebagai salah satu pembusukan KPK. Terbukti, pimpinan KPK yang terpilih terbelit masalah. Dalam sidang putusan yang digelar di Gedung Anti-Corruption Learning Center KPK, Jakarta, Rabu (27/12/2023), Dewan Pengawas KPK menyatakan Ketua KPK Firli Bahuri terbukti bersalah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku KPK, salah satunya terbukti melakukan hubungan langsung ataupun tidak langsung terhadap pihak yang beperkara di KPK. Firli pun diminta mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK.
Unsur pimpinan lain, Lili Pintauli Siregar, diduga menerima tiket dan akomodasi senilai Rp 90 juta dari Pertamina dalam gelaran MotoGP Mandalika. Saat diproses melanggar kode etik oleh Dewan Pengawas KPK, Lili mengundurkan diri.
Kini, Dewan Pengawas juga memproses dugaan pelanggaran kode etik oleh Nurul Ghufron. Dia disebut menggunakan pengaruhnya untuk memutasi salah seorang pegawai Kementerian Pertanian.
Pimpinan KPK bermasalah ini menyusul revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada 2019. Perubahan pasal-pasal dalam aturan tersebut dinilai melemahkan KPK.
Kini, menurut Herlambang, semua bergantung Presiden Jokowi. Pilihannya, meninggalkan warisan penguatan pemberantasan korupsi dengan memilih anggota pansel yang betul-betul berintegritas dan bukan sekadar alat kekuasaan atau semakin menegaskan penilaian atas rezim Jokowi yang membusukkan pemberantasan korupsi di Indonesia.