Hari Pendidikan Nasional Menjadi Semangat Pemerataan Pendidikan
Penyalahgunaan bantuan pendidikan menjadi ironi karena mengkhianati semangat pemerataan kualitas SDM di Indonesia.
Hari Pendidikan Nasional menjadi momentum untuk mengevaluasi berbagai program edukasi pemerintah. Salah satu yang perlu dikaji lebih dalam adalah progam pendidikan di jenjang pendidikan tinggi. Maraknya penyalahgunaan bantuan pendidikan menjadi ironi karena mengkhianati semangat pemerataan kualitas SDM yang masih minim lulusan perguruan tinggi.
Jelang peringatan Hari Pendidikan Nasional, publik tengah dikagetkan dengan dugaan penyalahgunaan Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK) yang mewarnai jagat maya. Keramaian bermula ketika nama-nama mahasiswa yang diduga menyalahgunakan dana tersebut diungkap di media sosial. Ironinya, sejumlah kasus yang ditemui datang dari para mahasiswa di perguruan tinggi negeri.
Disebut-sebut sebagai penyalahgunaan lantaran para mahasiswa terkait dinilai tidak layak menerima KIPK. Pasalnya, mereka tampak tak memiliki persoalan finansial. Dari unggahan di media sosial, mereka tertangkap gaya hidup yang mewah, bahkan terekam mampu berlibur ke luar negeri. Tak sedikit publik yang mengecam kasus tersebut. Hingga kini, pihak kampus tengah menyelidiki kebenaran dan memproses tindak lanjutnya. Salah seorang terlapor pun telah mengundurkan diri dari program KIPK.
Protes dan kekecewaan publik itu bukan tak beralasan lantaran program KIPK memang memiliki target tertentu dan khusus. Mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2020, prioritas sasaran KIPK adalah mahasiswa dari keluarga miskin atau rentan miskin. Prioritas lainnya adalah mahasiswa yang berasal dari daerah 3T, orang asli Papua yang sesuai UU otonomi khusus, dan TKI yang berlokasi di perbatasan NKRI.
Baca juga: Biaya Kuliah Tinggi, Pengajuan Beasiswa bagi Mahasiswa Tidak Mampu Melonjak
Oleh sebab itu, realisasi penyaluran KIPK harus dikembalikan kepada mereka yang berhak mendapatkannya. Dalam Permendikbud Pasal 6 pun tertera dengan jelas bahwa pembatalan dapat dilakukan jika penerima tidak lagi memenuhi ketentuan prioritas sasaran. Hal tersebut guna mengembalikan semangat awal yang dijunjung dari adanya program tersebut.
Secara umum, KIPK merupakan salah satu skema bantuan pendidikan yang merupakan bagian dari Program Indonesia Pintar (PIP). Tujuan utamanya adalah menghadirkan pendidikan yang berkualitas dan merata guna mencetak sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang unggul. KIPK juga merupakan bagian dari Merdeka Belajar yang kini tengah menjadi fokus dunia pendidikan di Tanah Air.
Dalam ketentuan yang berlaku, KIPK tidak hanya memberikan dukungan biaya perkuliahan, tetapi juga biaya hidup bagi penerimanya. Biaya kuliah disesuaikan dengan program studi dan akreditasi universitas terkait. Sementara biaya hidup ditentukan pada besaran Rp 800.000 hingga Rp 1,4 juta disesuaikan dengan indeks harga masing-masing daerah. Bantuan biaya hidup diberikan untuk menunjang proses perkuliahan penerima KIPK agar dapat menuntaskan pendidikannya tanpa kesulitan mencukupi kebutuhan harian.
Minimnya pendidikan tinggi
Di lain sisi, fenomena yang tengah terjadi akhir-akhir ini menjadi pengingat pentingnya evaluasi dan transparansi dari setiap program yang dijalankan pemerintah. Dalam kasus KIPK ini, seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dituntut untuk teliti dan selektif sehingga penerima program adalah mereka yang benar-benar membutuhkan. Dengan demikian, mereka yang terbatas secara finansial, tetapi memiliki keinginan untuk menggapai ilmu lebih tinggi, dapat terfasilitasi sehingga insan Tanah Air yang berlatar pendidikan tinggi semakin meluas.
Hingga kini, di tengah segala kemajuan yang ada, penduduk di Indonesia masih didominasi oleh pendidikan rendah. Merujuk data BPS tahun 2022, sepertiga dari seluruh penduduk Indonesia yang berusia di atas lima tahun memiliki tingkat pendidikan maksimal SMP. Bahkan, lima persen penduduk Indonesia sama sekali tidak pernah sekolah.
Baca juga: Uang Kuliah Tunggal: Sengkarut Pendanaan Pendidikan Tinggi
Sementara itu, lulusan perguruan tinggi Tanah Air baru mencapai 7,57 persen pada periode yang sama. Dibandingkan dengan Malaysia, capaian Indonesia jauh tertinggal. Merujuk Departemen Statistik Malaysia, pada 2012 persentase penduduk Malaysia yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi sudah sekitar 25 persen, seperempat dari total populasi. Terbaru, pada 2022, sudah meningkat dan mencapai 35,64 persen.
Ketertinggalan tersebut turut berefek pada rendahnya capaian Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia di antara negara-negara lainnya. Hingga 2023 HDI Indonesia masih di kisaran 0,71. Sementara negeri jiran Malaysia dan Thailand sudah menyentuh level 0,80. Kementerian Keuangan mencatat, dari 191 negara yang menjadi sasaran survei HDI, Indonesia menempati peringkat ke-114 pada tahun 2021, kemudian sedikit naik kelas ke urutan 112 pada 2023. Skor Program for International Student Assesment (PISA) Indonesia pun masih di bawah rata-rata OSCD dan ASEAN-5.
Anggaran pendidikan memungkinkan
Pada zaman yang kian modern dan kompleks, beragam keahlian khusus semakin diperlukan. Indonesia pun kini tengah mengejar target Indonesia Emas di tahun 2045 mendatang yang membutuhkan dukungan SDM berkualitas. Guna meningkatkan daya saing dan cita-cita besar tersebut, pendidikan dasar hingga menengah saja rasanya tidak lagi cukup. Menghadirkan SDM unggul lulusan perguruan tinggi kian menjadi kebutuhan krusial.
Inilah saatnya Indonesia keluar dari ketertinggalan di sisi pendidikan itu. Beragam program yang telah dicanangkan pemerintah, jika direalisasikan dengan baik, niscaya dapat mewujudkan segala harapan dan cita-cita mulia itu. Apalagi, pemerintah telah berupaya menjalankan amanat undang-undang yang menyatakan bahwa dana pendidikan minimal 20 persen dari APBN.
Melihat trennya, anggaran pendidikan yang disusun pemerintah pun semakin meningkat dari tahun ke tahun. Secara total, alokasi anggaran pendidikan yang disiapkan pemerintah tahun ini sebesar Rp 660,8 triliun atau naik 19,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Berkaitan dengan perguruan tinggi dan bantuan pendidikan dalam skema KIPK, anggaran yang disiapkan pun cukup tinggi dan terus mengalami penambahan.
Baca juga: Anggaran Pendidikan Tinggi Minim, Akses Kuliah di Indonesia Masih Berat
Tahun ini, anggaran KIPK sebesar Rp 13,9 triliun yang ditargetkan menyasar 985.577 mahasiswa di seluruh Nusantara. Sekitar 200.000 di antaranya mahasiswa baru. Dibandingkan tahun lalu, dananya bertambah 17,8 persen dengan tambahan sasaran sekitar 72.000 mahasiswa. Jika terealisasi sesuai rencana, harapan untuk menghadirkan seorang sarjana di setiap 10 penduduk Indonesia bukanlah suatu hal yang mustahil.
Sayangnya, keterbukaan infomasi terkait realisasi jumlah penerima manfaat dari program tersebut belum dapat ditemukan. Terbaru, berdasarkan publikasi Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan Kemdikbud, penerima KIPK 2023 tercatat sebanyak 161.953 mahasiswa baru. Tidak tercatat jumlah total dari penerima KIPK di tahun bersangkutan. Padahal, target total penerima yang ditetapkan lebih dari 913.000 mahasiswa. Jika semuanya terealisasi sesuai rencana, tentu akan berbuah manis bagi dunia pendidikan Indonesia. Namun, jika tidak, patut dipertanyakan dan dievaluasi program tersebut.
Pada momentum Hari Pendidikan Nasional saat ini, kasus terkini yang menyasar lini tertinggi sebuah pendidikan patut menjadi perhatian bersama. Tema ”Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar” menjadi semangat untuk menggerakkan segala program yang telah dicanangkan seperti tujuan awalnya.
Keterlibatan semua pihak sebagai penyemangat bergerak bersama pun semoga tidak hanya menjadi slogan. Baik dari pemerintah sebagai perancang dan pelaksana program, pihak perguruan tinggi sebagai penyeleksi, maupun mahasiswa penerimana manfaat.
Bahkan, masyarakat secara umum pun dapat turut berperan. Salah satunya dengan turut aktif melaporkan kasus penyalahgunaan serupa agar program yang dijalankan lebih tepat sasaran. Rasanya sudah terlalu sering program tidak tepat sasaran ditemukan di negeri ini, termasuk untuk hal-hal paling mendasar, seperti makanan dan pendidikan.
Momentum ini juga menjadi pengingat bagi pemerintah terkait untuk turut mengawasi dan mengevaluasi program yang dijalankan. Sekaligus menjadi momentum untuk mengembalikan semangat pemerataan pendidikan. Bantuan pendidikan perlu disalurkan kepada mereka yang berhak agar semuanya berpeluang mengakses ilmu yang lebih tinggi demi peningkatan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan. Pada akhirnya, keberhasilan sebuah program bukan hanya dari angka yang terus meningkat, tetapi juga dari kualitas yang dihasilkan. Selamat Hari Pendidikan Nasional! (Litbang Kompas)