Koalisi Gemuk, Akankah Menguntungkan Partai Pendukung?
Bergabungnya partai politik di luar koalisi pemerintahan membuat koalisi kelewat gemuk.
Rencana bergabungnya partai politik di luar Koalisi Indonesia Maju membuat koalisi pemerintahan ke depan menjadi kelewat gemuk. Bagi demokrasi, kuatnya cengkeraman di dua kaki pemerintahan, yakni legislatif dan eksekutif, akan menumpulkan mekanisme kontrol.
Tak hanya itu, meski rumput di dalam koalisi pemerintahan tampak lebih hijau, studi menunjukkan bahwa langkah bergabung justru bisa menjadi bumerang bagi partai yang sebelumnya berbeda kubu.
Kabar bergabungnya Nasdem dan PKB ke koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran mewarnai dinamika terbaru konsolidasi politik nasional pascapemilu. Masuknya dua partai punggawa Koalisi Perubahan ini otomatis menambah dalamnya pijakan koalisi pemerintah eksekutif dalam ruang legislatif.
Tambahan Nasdem dan PKB ini membuat koalisi pemerintah menguasai nyaris tiga perempat kursi di DPR. Penguasaan kursi parlemen di kubu oposisi, yang sejauh ini diwakili oleh PDI-P dan PKS, pun hanya berkisar di angka 28 persen.
Lemahnya kekuatan oposisi ini bisa menjadi pertanda yang buruk bagi jalannya demokrasi di Indonesia. Tanpa adanya kekuatan oposisi yang mumpuni, suara kontra dari warga terhadap kebijakan pun akan sulit terakomodasi.
Baca juga : Dukungan Parlemen Tentukan Nasib Demokrasi
Tak selamanya menguntungkan
Mungkin saja masuk ke koalisi pemerintahan menjadi opsi yang menggiurkan bagi partai yang pada pemilu lalu tidak bergabung ke koalisi pemenang.
Menjalani jalan sunyi sebagai oposisi terlihat berat. Bayangan tidak diajak terlibat di berbagai agenda pembangunan membuat partai dan politisi bergidik, hingga enggan untuk berada di posisi kontra dengan pemerintah.
Namun, apakah bergabung ke koalisi menjadi opsi yang lebih menguntungkan? Dalam pengalaman partai-partai di beberapa negara lain, langkah ini justru menjadi bumerang. Ini terutama bagi partai yang masuk ke dalam koalisi pemerintahan setelah pemilu.
Kesimpulan ini muncul dari studi Klüver dan Spoon pada 2019 yang dimuat di Journal of Politics. Berdasarkan penelitian yang diselenggarakan di 28 pemilu Eropa pada rentang 1972 hingga 2017, partai yang kalah dalam pemilu dan bergabung ke koalisi pemenang justru cenderung mengalami kemunduran di pemilu berikutnya.
Salah satunya dapat dilihat dari Partai Demokrat Sosial (SPD) Jerman di pemilu 2017. Sebelumnya, SPD berhasil mengantongi 193 kursi di pemilu 2013. Perolehan ini terpaut cukup jauh dengan partai Kanselir Merkel, Partai Persatuan (CDU/CSU), yang meraih 311 kursi. Sebagai partai dengan perolehan terbesar kedua, SPD justru masuk ke dalam koalisi pemerintahan, alih-alih menjadi kekuatan oposisi.
Pada pemilu selanjutnya, suara SPD turun signifikan. Pada pemilihan tahun 2017, SPD hanya mampu memperoleh 153 kursi di parlemen Jerman atau turun sekitar seperlima dari perolehan di pemilu sebelumnya. Posisi SPD pun kian terjepit ketika CDU/CSU mengeluarkan SPD dari koalisi pemerintahan Jerman periode 2017-2021.
Hal serupa juga dialami partai Aliansi Liberal (LA) pada pemilu Denmark tahun 2019. Sebelumnya, pada pemilu 2015, LA berhasil meraih 7,5 persen suara yang terkonversi menjadi 13 kursi di parlemen.
Sebagai partai dengan perolehan terbesar kelima, LA bergabung ke koalisi yang digawangi oleh Partai Rakyat Denmark (DPP) di posisi kedua, Venstre di posisi ketiga, dan partai konservatif di posisi kesembilan.
Posisi LA sebagai salah satu yunior di koalisi terbukti menjadi bumerang bagi partai tersebut. Pada pemilu berikutnya, suara LA anjlok menjadi 2,33 persen. Dengan perolehan tersebut, LA hanya mampu menguasai 4 kursi. Posisi partai ini pun turun dari papan tengah menjadi partai papan bawah di politik Denmark.
Dalam studi jangka panjang yang dilakukan Klüver dan Spoon, fenomena SPD di Jerman dan LA di Denmark ini bukanlah hal yang aneh. Bahkan, dari 219 kasus pemilu yang diteliti, fenomena SPD dan LA tampak menjadi tren yang bisa diprediksi.
Secara umum, perolehan partai yunior yang bergabung dalam koalisi pemerintah rata-rata mengalami penurunan 17 persen di pemilu setelah partai tersebut bergabung.
Baca juga : Jaga Demokrasi, PDI-P dan PKS Diharapkan Berada di Luar Pemerintahan
Sulit tuntaskan janji
Salah satu alasan utama dari penurunan ini ialah gagalnya partai kecil untuk bisa memenuhi ekspektasi konstituennya setelah bergabung ke dalam koalisi pemerintahan.
Ketika partai yang sebelumnya berbeda kubu dan kemudian masuk ke dalam koalisi pemerintahan, partai ini sulit untuk bisa mengajak partai lain yang posisinya lebih mapan di dalam koalisi untuk mendukung agenda yang mereka bawakan.
Dalam konteks dinamika politik Indonesia, kondisi ini mirip dengan kasus bergabungnya PKB ke dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran. Ketika bertemu, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menitipkan delapan agenda perubahan kepada presiden terpilih Prabowo Subianto.
Meskipun baik, tidak ada jaminan bahwa agenda yang didorong oleh PKB ini akan diterima oleh koalisi pemerintahan.
Terlebih lagi, jumlah partai dalam koalisi terbilang banyak, dengan tiap partai membawa agenda masing-masing. Karena itu, besar kemungkinan keseluruhan agenda tersebut bisa dilaksanakan meskipun PKB berada di koalisi pemerintahan.
Hal ini pun pernah terjadi pada koalisi Pemerintah Jerman periode 2009-2013. Saat itu, FDP mendapat perolehan yang cukup mentereng, yakni 61 kursi atau sekitar 10 persen suara pemilih. Sebagai partai ketiga dengan suara terbanyak, FDP pun memutuskan untuk masuk ke koalisi pemerintahan yang dibangun oleh CDU/CSU.
Pada pemilu 2009, salah satu yang mendongkrak suara FDP adalah kampanye terkait agenda reformasi pajak. Sayangnya, ruang gerak FDP di koalisi sempit dan agenda ini mandek selama empat tahun. Konstituen FDP yang kecewa pun mengalihkan dukungannya, sampai FDP tak mendapat kursi sama sekali di parlemen pada pemilu 2013.
Baca juga : Pertimbangkan Berbagai Masukan, PDI-P Gelar Rakernas Rumuskan Arah Politik
Beda haluan
Tak hanya itu, perbedaan haluan politik juga menjadi alasan lain hilangnya konstituen ketika partai masuk ke koalisi. Hal ini terjadi pada kasus LA di Denmark pada 2019.
Pada 2015, LA yang berhaluan liberal bergabung ke koalisi pemerintahan yang diisi partai-partai yang cenderung berhaluan konservatif. Suara LA pada pemilu berikutnya pun rontok karena konstituen melihat adanya inkonsistensi pada partai tersebut.
Kejadian ini juga menimpa SPD di Jerman. Pada pemilu 2013, SPD yang berhaluan tengah kiri justru bergabung ke koalisi Merkel yang berhaluan tengah kanan. Konstituen yang bingung pun berbondong meninggalkan SPD di pemilu 2017 karena merasa partai tersebut kehilangan platform kebijakan.
Namun, tren yang terjadi di beberapa negara demokrasi maju ini belum tentu terjadi di Indonesia, setidaknya dalam waktu dekat. Pasalnya, berdasarkan studi dari Fossati et al pada 2020, partai-partai di Indonesia tidak memiliki distingsi ideologis seperti pada negara-negara demokrasi Barat.
Di Indonesia, pembeda yang signifikan, baik di mata konstituen maupun internal, hanyalah seberapa besar muatan religiositas di dalam partai.
Di satu sisi, tidak terjadinya tren ini di politik Indonesia bisa menjadi berita baik bagi partai di dalam negeri. Meskipun begitu, di sisi lain, hal ini bisa jadi sinyal demokrasi di Indonesia yang belum berjalan dengan ideal.
Tanpa adanya distingsi ideologis yang jelas, platform kebijakan yang dibawa oleh partai pun sulit untuk dibedakan satu dengan lainnya. Pada akhirnya, politik elektoral di Indonesia hanya berjalan berlandaskan gimik yang minim diskursus pembangunan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : PDI-P Tidak Ditinggalkan, Gibran: Bergabung ke Pemerintah Keputusan Partai