Yuli Yanika, Menyelamatkan Masa Depan Anak Disabilitas
Anak tunagrahita itu hamil, tetapi tak tahu siapa ayahnya. Dengan gaji Rp 300.000, Yuli membantu anak disabilitas itu.
Saat menjadi guru honorer di SD negeri, Yuli Yanika (34) menemukan anak dengan keterbelakangan mental mengalami pelecehan seksual hingga hamil. Anak tunagrahita itu juga tinggal kelas berkali-kali dan masih kelas lima SD di usia 15 tahun. Kondisi itu membuat Yuli berkomitmen membangun Yayasan Rumah Ceria Medan, sekolah penuh kasih sayang untuk anak disabilitas di Medan.
Anak tunagrahita itu juga tidak pernah bisa diterima oleh teman-temannya di lingkungan sekolah, tidak bisa berkomunikasi dengan teman-temannya, dan sering mendapat perundungan. Sekolah juga tidak memahami kondisi dan penanganan anak itu.
Nasib seperti itu dialami oleh banyak sekali anak disabilitas di Tanah Air. Kesulitan semakin besar bagi anak yang lahir di keluarga miskin. ”Ketika melihat anak-anak disabilitas hidup di tengah stigma yang sangat menyedihkan, saya berkomitmen untuk mendirikan sekolah inklusi. Saya ingin mengajak semua orang peduli pada anak disabilitas,” kata Yuli di Rumah Ceria Medan, Sumatera Utara, Senin (29/4/2024).
Yuli akhirnya mendirikan Yayasan Rumah Ceria Medan pada 2015. Yayasan itu menyelenggarakan berbagai kegiatan dan sejak 2019 mulai membuat sekolah inklusi setingkat TK dan SD di sebuah rumah sederhana di Jalan Bunga Teratai, Medan. Muridnya kini 35 orang yang terdiri dari anak tunarungu, tunagrahita, terlambat bicara, autis, dan beberapa anak nondisabilitas.
Senin siang, anak-anak itu belajar penuh ceria meskipun cuaca terik. Seorang guru, Suri Dwi Utami, dengan sabar mengajarkan pelajaran menghitung uang rupiah. Dia menulis di papan tulis, menggunakan bahasa isyarat dan bahasa verbal.
Anak-anak duduk lesehan di lantai beralaskan plastik bermotif dengan sebuah meja di depannya. Dindingnya terbuat dari tripleks, bilah bambu, dan jaring kawat. Ada tiga ruang kelas, yakni TK A, TK B, dan SD.
Meski bangunan ruang kelasnya sederhana, dindingnya dipenuhi media pembelajaran mulai dari gambar bagian tubuh, pohon, alat transportasi, hingga geometri. Nyaris tidak ada dinding yang kosong. Ruang belajar terasa ceria dan menyenangkan dengan warna-warni bunga kertas hasil kerajinan yang memenuhi langit-langit kelas.
Baca juga: Pendidik Luar Biasa di Sekolah Luar Biasa
”Bagaimana belajarnya hari ini, Anak-anak? Sudah bisa menghitung uang rupiah, kan?” kata Yuli menyapa anak muridnya.
Sudah sembilan tahun Yuli mengasuh anak disabilitas di Rumah Ceria Medan. Dia berupaya melawan stigma yang dialami anak disabilitas. Mereka diejek, dilempar, disebut orang gila, orang bodoh, dan jahat, baik di sekolah maupun di lingkungan keluarga. Yuli sendiri juga pernah terjebak dalam stigma itu. Saat masih kecil, dia pernah menyakiti orang dengan gangguan jiwa karena merasa orang itu jahat.
Pertemuan Yuli dengan anak-anak disabilitas mengubah total pola pikirnya. Saat menangani anak tunagrahita yang hamil itu, dia tergerak membantu anak itu hingga melahirkan. Padahal, Yuli kala itu hanya guru honorer SD negeri dengan gaji Rp 300.000 sebulan.
Sementara anak tunagrahita itu tidak terdaftar di BPJS Kesehatan. Biaya persalinan caesar-nya Rp 6 juta. ”Persoalan paling besar, anak tunagrahita itu tidak tahu siapa ayah anak yang dikandungnya. Kadang bilang si A, B, C, dan seterusnya,” kata Yuli yang juga akrab disapa Kak Uye itu.
Yuli akhirnya menggalang dana dari teman-teman dan keluarga hingga akhirnya semua biaya tertutupi. Anaknya lahir dengan selamat. Anak itu juga mengikuti pendidikan di Rumah Ceria Medan. Meski ada indikasi keterbelakangan mental, kondisi anaknya jauh lebih baik dari ibunya karena ditangani dengan baik sejak bayi. Banyak kondisi tunagrahita kian parah karena diturunkan dalam genetik sosial, yakni dilahirkan di tengah lingkungan sosial yang membuat dia mengalami keterbelakangan mental.
Kini mereka sudah bisa menulis dan berkomunikasi dengan lebih baik. Tahun ini, sebagian anak akan mengikuti ujian Paket A setara SD.
Mendirikan sekolah untuk anak disabilitas tentu tidak mudah. Murid-murid pertama di sekolah itu sudah berumur 9-10 tahun. Meski sudah pernah sekolah, mereka sulit berkomunikasi, tidak bisa menulis, membaca, bahasa isyarat ataupun verbal. ”Anak sering tantrum dan merusak ruang kelas,” kata Yuli.
Yuli akhirnya mulai mengajarkan hal dasar, yakni berkomunikasi dengan teman dan guru. Pelan-pelan anak tunarungu diajari bahasa isyarat dan menulis. Anak tunagrahita didampingi agar bisa menulis dan membangun interaksi sosial dengan teman-teman.
Setelah bisa berkomunikasi, murid-murid disabilitas berkembang pesat. Yuli menunjukkan tulisan anak disabilitas tentang diri mereka. ”Kini mereka sudah bisa menulis dan berkomunikasi dengan lebih baik. Tahun ini, sebagian anak akan mengikuti ujian Paket A setara SD,” kata Yuli.
Bahasa isyarat
Sejalan dengan kegiatannya mengurus anak disabilitas, Yuli juga kini menjadi penerjemah bahasa isyarat. Dia membantu teman tuli mengakses berbagai layanan pemerintah. Saat diwawancarai Kompas, dia meminta waktu karena harus menjawab panggilan video dari seorang teman tuli yang sedang membuka rekening bank.
Wajah Yuli berubah ceria dengan senyum lebar saat mengangkat panggilan video dari teman tuli itu. Petugas bank lalu menjelaskan tahapan pembukaan rekening. Yuli menerjemahkannya ke bahasa isyarat agar bisa dipahami oleh teman tuli. Sebaliknya, ketika teman tuli berbicara dengan bahasa isyarat, Yuli menerjemahkannya untuk petugas bank.
Saat terjadi bencana alam, Yuli juga ikut menjadi penerjemah bahasa isyarat dan memberikan layanan psikososial bagi korban bencana. Dia terbang dari Medan untuk membantu korban bencana gempa dan likuefaksi Sulawesi Tengah 2018.
Di Yayasan Rumah Ceria Medan, guru-guru juga belajar bahasa isyarat. Mereka juga punya seorang murid SD nondisabilitas bernama Tania yang membantu guru-gurunya berkomunikasi dengan anak murid. Tania itu seperti dikirim Tuhan untuk Rumah Ceria Medan. Awalnya, orangtuanya hanya ingin Tania sekolah TK di sana karena dekat dengan rumahnya.
Setelah tamat TK, Tania tidak mau lanjut ke SD lain. Dia ingin tetap bersama teman-teman disabilitas. Hal itu tentu bukan pilihan mudah bagi orangtuanya. Namun, orangtua Tania menyetujui anaknya melanjutkan SD bersama anak-anak disabilitas. ”Tania itu penyelamat bagi sekolah kami. Saat guru kesulitan berkomunikasi dengan anak-anak atau sebaliknya, Tania yang jadi penerjemah. Dia seharusnya sudah bisa jadi penerjemah cilik di acara-acara umum,” kata Yuli.
Rumah Ceria Medan kini diasuh oleh tujuh guru, termasuk kepala sekolah dan wali kelas. Yayasan itu berupaya terus mengasuh anak-anak di tengah keterbatasan keuangan. Mereka tidak mematok uang sekolah, tetapi setiap orangtua diminta memberikan uang sekolah sebagai bentuk tanggung jawab.
”Kami harus tegaskan Rumah Ceria Medan bukan sekolah gratis. Kami tidak mau membentuk mental miskin. Meskipun ada orangtua yang membayar Rp 10.000, kami sangat menghargai usaha orangtua itu,” kata Yuli.
Baca juga: 70 Tahun SLB Karya Murni Menjunjung Kehidupan Disabilitas
Yuli kerap menutupi kekurangan biaya operasional sekolah dari uang pribadi hasil honor sebagai penerjemah bahasa isyarat. Meskipun sekolah tersebut berutang puluhan juta rupiah, Yuli tetap optimistis sekolah itu bisa terus memberikan pendidikan inklusif bagi anak disabilitas.
Sekolah itu juga didirikan di atas tanah pinjaman dan pemiliknya sudah mengingatkan bahwa tanah akan dijual. Yuli dan guru lain sedang mencari lahan baru untuk sekolah itu.
Di ruang kelas, anak-anak SD masih asyik belajar menghitung uang pecahan ribuan. Di ruang belajar TK, mereka diajarkan makan sayur dan ikan. Kalau makan permen jangan bergantian dengan teman-teman. Suasana belajar penuh kasih sayang memenuhi ruang belajar di Rumah Ceria Medan. Semoga anak-anak disabilitas itu bisa tetap mempunyai ruang belajar….
Yuli Yanika
Lahir: Berastagi, 1989
Pendidikan:
- SD Negeri 064024 Pasar 4 Medan, 1996-2002
- SMP Gajah Mada Medan, 2002-2005
- SMA Pelita Medan, 2005-2008
- Sekolah Tinggi Agama Islam Medan, Program Studi Pendidikan Agama Islam, 2017-sekarang