Murrawah Maroochy Johnson, Perjuangan Tanah Adat di Queensland
Murrawah Maroochy Johnson melawan proyek tambang batubara di Australia. Alhasil dia mendapat penghargaan Nobel Hijau.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Murrawah Maroochy Johnson (29) menghentikan proyek tambang batubara yang dapat mempercepat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim serta mengancam masyarakat adat di Queensland, Australia. Upaya perempuan ini menjadi preseden hukum dalam perjuangan hak masyarakat adat.
Sebagai satu dari pengekspor batubara terbesar, Australia ikut menggerakkan pembangkit listrik tenaga batubara di seluruh dunia. ”Negara Kanguru” ini punya cadangan batubara besar yang terletak di Galilee Basin atau Cekungan Galilee, Queensland, yang mencapai 23 miliar ton. Para aktivis lingkungan menyebut tempat ini sebagai ”bom karbon”.
Kami sudah berkata tidak. Kami akan terus mengatakan tidak, dan kami akan melawan sampai akhir.
Selama berabad-abad, tanah masyarakat adat di area tersebut telah dirampas secara sistematis. Sebuah perusahaan asal India berkonflik dengan masyarakat adat atas operasional tambang Carmichael. Setelah kampanye selama hampir satu dekade demi menolak proyek ini gagal, perusahaan itu mulai melakukan kegiatan ekstraksi di tambang itu sejak 2021.
Masyarakat adat harus menyaksikan eksploitasi sumber daya alam, polusi udara dan tanah, permukaan air laut naik, serta penodaan terhadap kawasan suci di tanah adat. Belum lagi soal pelepasan karbon yang terkubur.
Walakin, pada 2019, sebuah perusahaan batubara di Australia meminta persetujuan Pemerintah Queensland untuk megaproyek Galilee Coal. Perusahaan milik miliarder Australia, Clive Palmer, ini diproyeksikan akan mengekstraksi 40 juta ton batubara setiap tahun selama 35 tahun.
Masyarakat adat kembali menolak tegas pembukaan tambang baru di Cekungan Galilee itu. Apabila itu terjadi, tambang itu dapat menghancurkan Bimblebox Nature Refuge. Suaka alam seluas 8.000 hektar ini menjadi habitat dari 176 jenis burung, 45 jenis mamalia, 14 jenis amfibi, 83 jenis reptilia, dan 650 jenis tumbuhan asli. Penambangan juga akan mempercepat perubahan iklim karena melepas 1,58 miliar ton CO2 ke atmosfer selama masa pakai.
”Kami sudah berkata tidak. Kami akan terus mengatakan tidak, dan kami akan melawan sampai akhir,” kata Johnson, dikutip dari situs goldmanprize.org, Rabu (1/5/2024). Johnson merupakan salah seorang pemenang Goldman Environmental Prize 2024 yang diumumkan pada 29 April 2024. Penghargaan yang terkenal sebagai Nobel Hijau ini diberikan untuk aktivis atau tokoh di akar rumput yang bergerak dalam upaya penyelamatan lingkungan meski harus mempertaruhkan hidupnya.
Johnson merupakan perempuan Wirdi dari orang Birri Gubba. Pamannya adalah tokoh budaya ternama, Adrian Burragubba. Ia menjadi aktivis pada usia 19 tahun saat para tetua di Wangan and Jagalingou Traditional Owners Family Council, sebuah organisasi pemerintahan pribumi, mengundangnya menjadi suara generasi muda bersama pamannya dalam kampanye melawan perusahaan batubara tersebut.
Ada niat untuk mengasingkan masyarakat adat dari HAM kami, hak tanah.
Johnson sekarang menjabat sebagai direktur bersama di Youth Verdict, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengorganisasi kaum muda seputar perubahan iklim di wilayah tersebut.
Untuk menjegal proposal perusahaan tambang batubara asal Australia tersebut, Johnson mulai bekerja. Melalui Youth Verdict, ia berkampanye ke komunitas masyarakat adat lewat media sosial, cerita tradisional, bahkan mulut ke mulut. ”Ada niat untuk mengasingkan masyarakat adat dari HAM kami, hak tanah,” ujarnya.
Johnson juga bermitra dengan Environmental Defenders Office (EDO), sebuah firma hukum untuk kepentingan publik, guna menantang perusahaan tambang batubara asal Australia tersebut di Pengadilan Tanah Queensland. Dia berargumen berdasarkan Undang-Undang HAM Queensland yang baru, yaitu masyarakat adat telah mengakui hak-hak budaya terkait dengan kepemilikan tradisional mereka atas wilayah.
Johnson menyatakan, pembakaran batubara oleh perusahaan tambang batubara asal Australia itu akan mengeluarkan gas rumah kaca dan memperburuk perubahan iklim. Proyek itu akan melanggar HAM dan budaya masyarakat adat di Queensland dan sekitar. Alhasil, pengadilan setuju untuk mendengarkan kesaksian masyarakat adat, termasuk yang berada di luar lokasi tambang.
Dengar kesaksian
Meskipun ditolak keras pengacara perusahaan tambang batubara asal Australia tersebut, pengadilan setuju untuk mendengarkan kesaksian dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pengadilan mendengarkan pendapat masyarakat adat langsung di wilayah mereka alias on country.
Johnson membawa anggota pengadilan ke Queensland utara dan Kepulauan Selat Torres untuk bertemu saksi. Saksi-saksi ini masih mempunyai hubungan kekeluargaan dan pernah berkontak dengannya saat kampanye menentang kehadiran tambang Carmichael.
Melalui cerita, nyanyian, dan tarian, para saksi menjelaskan bagaimana lingkungan dan pengetahuan budaya mereka saling terhubung. Ketika perubahan iklim merusak sistem ekologi, budaya tradisional mereka yang terikat dengan wilayah tersebut ikut hancur. Masyarakat adat tidak bisa mewariskan tradisi ke anak cucu jika, misalnya, kuburan nenek moyang mereka tersapu karena naiknya air laut.
Seorang tetua adat di Kepulauan Selat Torres memberi sebuah pernyataan yang berkesan. ”Dalam budaya saya, kami lahir dari bumi dan kembali ke bumi. Pulau ini seperti ibu saya, dan ketika saya pergi, saya merindukannya seperti ibu saya. Ketika saya berpikir tentang perubahan iklim yang melanda pulau ini, saya berduka atas pulau ini seperti saya berduka atas ibu saya,” demikian kesaksiannya.
Johnson mengingatkan, hukum terkait kaum Aborigin berdasarkan observasi bangsa selama ribuan tahun dan pemahaman bahwa seluruh kekuatan alam terkait satu sama lain. ”Kami berhasil menjelaskan tentang realitas pengalaman masyarakat adat atas perubahan iklim,” tuturnya.
Pada November 2022, Pengadilan Tanah membuat keputusan bersejarah. Pengadilan merekomendasi pemerintah agar menolak permohonan sewa pertambangan dan otoritas lingkungan kepada perusahaan tambang batubara asal Australia itu—sebuah keputusan tak terduga. ”Ada embusan napas terkesiap kolektif dalam ruang sidang,” kata Johnson menceritakan kekagetan atas hasil sidang.
Keputusan tersebut berdasarkan kontribusi tambang terhadap perubahan iklim, kerusakan lingkungan, serta pembatasan HAM dan budaya masyarakat adat. Putusan itu kembali mengalahkan banding yang diajukan perusahaan tambang batubara asal Australia tersebut pada 2023.
Johnson berhasil melawan perusahaan tambang batubara asal Australia tersebut, yang menghabiskan biaya jutaan dollar Australia untuk kasus hukum ini. Sementara itu, dia dan rekan-rekannya hanya bermodalkan dukungan pengacara pro bono dan penggalangan dana. Johnson memanfaatkan rumah berbagai (shared house), meminjam mobil, dan mengelola logistik dengan anggaran terbatas.
Kemenangan itu menjadi preseden sehingga masyarakat adat dapat menentang proyek batubara lainnya dengan mengaitkan perubahan iklim dengan HAM manusia dan hak masyarakat adat. Proses sidang dalam kasus ini juga menjadi preseden lainnya, yaitu masyarakat adat mampu bersaksi secara on country atau berdasarkan pengetahuan tradisional di tanah mereka sendiri.
”Saya mencintai budaya saya dan saya mencintai bangsa saya. Saya pikir ada banyak hal yang bisa dipelajari dari cara kita berada. Tugas kita adalah berbicara untuk Tanah Air karena dia tidak bisa berbicara untuk dirinya sendiri,” ujar Johnson.
Kepada ABC News, Johnson sempat mengaku takut jika proyek ”kolonial” dan perubahan iklim akan menjadi penyebab kematian masyarakat adat. Karena itu, perjuangannya akan berlanjut.
Murrawah Maroochy Johnson
Suami: Johnathon Nandy
Prestasi, antara lain:
50 Daftar Fixers (pemimpin iklim dan keadilan yang harus diperhatikan), Grist, 2016
Young Environmentalist of the Year, Bob Brown Foundation, 2017
Activist of the Year bersama Adrian Burragubba, Ngara Institute, 2017
The Young Voltaire Human Rights Award, Liberty Victoria, 2023