Guru berperan penting dalam memperkenalkan kemajemukan bangsa kepada peserta didik.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Penghargaan pada keberagaman dan kemampuan mengelola perbedaan tidak otomatis hadir. Kesadaran terhadap keberagaman dapat dibangun lewat pendidikan di keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga saat ini meski memiliki beragam suku, agama, ras, dan golongan terjadi karena adanya moderasi yang diwariskan nenek moyang bangsa. Upaya merawat dan memperkokoh moderasi kehidupan beragama ini kini antara lain diperkuat lewat Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB). Melalui kegiatan itu, diajarkan penghargaan pada keberagaman secara nyata.
Program LKLB diberikan kepada guru dari berbagai mata pelajaran agar mereka dapat secara sadar memasukkan materi terkait penghargaan pada keberagaman, kebebasan beragama, dan supremasi hukum untuk para siswa. Program ini dikembangkan Institut Leimena bekerja sama dengan Direktorat Kerja Sama Hak Asasi Manusia (HAM), Kementerian Hukum dan HAM serta mitra sekolah.
”Ada kompetensi yang harus secara sadar diajarkan guru dan siswa untuk dapat menghargai dan menerima keberagaman. Metode LKLB untuk para guru ini akan merawat moderasi yang kita miliki supaya dapat hidup bersama dengan nyaman dan bahagia, serta dapat berkolaborasi dengan baik,” kata Siti Ruhaini Dzuhayatin, Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Kepresidenan dan Senior Fellow Institut Leimena.
Hal itu disampaikan Ruhaini dalam acara Upgrading Workshop LKLB: Pengembangan Program dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang Memperkokoh Kebebasan Beragama dan Supremasi Hukum, di Surabaya, Jumat (3/5/2024). Acara yang juga digelar berkat kerja sama dengan Yayasan Pendidikan Kristen Gloria Surabaya dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah Jawa Timur ini diikuti 35 guru beragama Islam dan Kristen dari berbagai sekolah dan madrasah di Jawa Timur.
Pengalaman ini diharapkan membuat guru secara sadar memasukkan materi tentang keberagaman.
Menurut Ruhaini, metode LKLB memperkuat kompetensi pribadi guru dalam memahami agamanya sendiri. Selain itu, juga pemahaman pada agama lain melalui perjumpaan langsung dengan guru yang berbeda agama dan tokoh agama di rumah ibadah yang berbeda. Pengalaman ini diharapkan membuat guru secara sadar memasukkan materi tentang penghargaan pada keberagaman, kebebasan beragama, dan supremasi hukum di mata pelajaran apa pun yang mereka ampu.
”Para guru antusias untuk ikut pelatihan meskipun tidak ada instruksi dari dinas ataupun kementerian pendidikan/agama, bahkan mereka mengerjakan tugas dengan semangat. Ini menggembirakan dan memberikan harapan kesadaran guru ini juga akan diwariskan kepada generasi penerus bangsa,” ujar Ruhaini.
Antusiasme guru
Koordinator Program Alumni Institut Leimena Daniel Adipranata mengatakan, sejak tahun 2021, pelatihan LKLB sudah diikuti lebih dari 8.000 guru dari berbagai daerah. Di sejumlah kota, salah satunya Surabaya, dilakukan workshop penguatan, yang sudah memasuki angkatan ke-13.
”Antusiasme guru untuk belajar luar biasa. Program ini tidak dirancang hanya dengan teori, tetapi ada dialog serta pendampingan dari fasilitator kepada guru. Tujuannya agar para guru mampu membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang bisa diaplikasikan di berbagai mata pelajaran,” kata Daniel.
Secara umum, lanjut Daniel, sekitar 90-95 persen guru baru pertama kali mengunjungi rumah ibadah yang berbeda dan berdialog langsung dengan tokoh agamanya. Pada kesempatan itu, para guru bebas menanyakan apa saja.
Menurut Daniel, guru berperan penting dalam memperkenalkan keberagaman kepada peserta didik. Pengalaman berinteraksi dan berdialog dengan orang yang berbeda agama dengan nilai-nilai yang diajarkan di LKLB diharapkan membuat guru mampu mengajarkan keberagaman di mata pelajaran apa pun.
”Semangat guru tetap tinggi seusai pelatihan. Sekitar 70 persen guru mengirimkan video sebagai bukti praktik pembelajaran di dalam kelas,” ucap Daniel.
Direktur Kerja Sama HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Harniati mengatakan, workshop LKLB bertujuan meningkatkan pemahaman kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam perspektif hukum dan HAM bagi pendidik. Hak kebebasan beragama dijamin konstitusi sehingga sudah menjadi tugas negara untuk melindungi hak kebebasan setiap orang dalam beragama dan beribadat.
”Pemahaman masyarakat terhadap pentingnya relasi antara supremasi hukum dan kebebasan beragama sebagaimana dilindungi konstitusi adalah modal penting bagi kemajuan bangsa Indonesia,” tutur Harniati.
Program ini penting untuk membangun karakter guru sehingga bisa mengajarkan toleransi dan hidup dalam keberagaman.
Yudiono dari Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia Yayasan Pendidikan Kristen Gloria Surabaya, mengatakan, pihaknya mendorong para guru ikut workshop LKLB agar dapat bersinergi dan berinteraksi dengan guru lain yang berbeda latar belakang agama. ”Di sekolah kami mengembangkan pendidikan holistik yang juga membangun pendidikan karakter. Program ini penting untuk membangun karakter guru sehingga bisa mengajarkan toleransi dan hidup dalam keberagaman kepada siswa,” ucapnya.
Wakil Ketua Majelis Dikdasmen dan Pendidikan Non-Formal Pengurus Pusat Muhammadiyah Arbaiyah Yusuf mengatakan, sekolah hingga perguruan tinggi di bawah Muhammadiyah juga terbuka untuk peserta didik non-Muslim. ”Di sekolah Muhammadiyah, ada yang menyediakan guru agama Kristen agar dapat menjadi orang Kristen dengan nilai-nilai kemuhammadiyahan. Kita berharap penguatan LKLB ini dapat membuat konflik agama tidak terjadi berkat guru yang menggerakkan dan punya kesadaran pada keberagaman,” kata Arbaiyah.