Menguatnya Ancaman Kebebasan Pers di Tengah Darurat Lingkungan
Krisis iklim sudah di depan mata. Namun, keselamatan jurnalis memberitakan kerusakan lingkungan justru semakin terancam.
Ancaman terhadap kebebasan pers menguat di tengah darurat lingkungan yang mengancam kehidupan. Ancaman kekerasan hingga pembunuhan jurnalis di seluruh penjuru Bumi masih terjadi saat krisis iklim semakin menjadi-jadi.
Krisis iklim sudah di depan mata. Kejadian bencana meningkat di mana-mana. Suhu bumi mencapai rekor terpanas, gletser di Antartika menyusut, degradasi lingkungan kian parah.
Akan tetapi, masih banyak pihak kurang peduli terhadap fenomena ini. Jurnalis dan media diharapkan menjadi corong yang menyuarakan isu tersebut sehingga menumbuhkan kesadaran menghadapi dampak krisis iklim.
Pada Hari Kebebasan Pers Sedunia, Jumat (3/5/2024), Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres menyoroti peran jurnalis dalam memberitakan kerusakan lingkungan. Ia mengatakan, dunia sedang mengalami darurat lingkungan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menimbulkan ancaman besar bagi generasi sekarang dan mendatang.
”Masyarakat perlu mengetahui hal ini dan jurnalis serta pekerja media memiliki peran penting dalam memberikan informasi dan mendidik mereka,” ujarnya melalui kanal Youtube United Nations.
Media memberitakan krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan ketidakadilan lingkungan. Pemberitaan itu membuat masyarakat semakin memahami kondisi kerusakan lingkungan yang sedang terjadi sehingga dapat mengambil tindakan nyata untuk membenahinya.
Karya jurnalistik mendokumentasikan degradasi lingkungan. Hal ini membuktikan ada vandalisme lingkungan yang bisa digunakan untuk meminta pertanggungjawaban pihak-pihak yang berkontribusi terhadap kerusakan itu.
Baca juga: Serangan terhadap Kebebasan Pers di Seluruh Penjuru Dunia
Menurut Guterres, tidak mengherankan jika beberapa perusahaan dan lembaga yang mempunyai pengaruh besar tidak akan berhenti melakukan apa pun untuk menghalangi jurnalis lingkungan melakukan pekerjaannya. Kebebasan pers sedang dikepung dan jurnalisme lingkungan menjadi profesi yang semakin berbahaya.
”Sejumlah jurnalis yang meliput penambangan ilegal, pembalakan liar, perburuan liar, dan isu-isu lingkungan lainnya telah terbunuh dalam beberapa dekade terakhir. Dalam sebagian besar kasus, tidak ada seorang pun yang dimintai pertanggungjawaban,” ucapnya.
Tanpa fakta, kita tidak bisa melawan misinformasi dan disinformasi. Tanpa akuntabilitas, kita tidak akan mempunyai kebijakan yang kuat. Tanpa kebebasan pers, kita tidak akan mempunyai kebebasan apa pun.
Guterres menuturkan, laporan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) menyebutkan, dalam 15 tahun terakhir, telah terjadi 750 serangan terhadap jurnalis dan media yang melaporkan isu-isu lingkungan hidup. Frekuensi serangan tersebut terus meningkat.
Proses hukum juga disalahgunakan untuk menyensor, membungkam, menahan, dan melecehkan wartawan lingkungan. Di sisi lain, era baru disinformasi iklim berfokus pada melemahkan solusi yang sudah terbukti, termasuk energi terbarukan.
”Namun, jurnalis lingkungan hidup bukanlah satu-satunya pihak yang berisiko. Di seluruh dunia, para pekerja media juga mempertaruhkan nyawa mereka dalam upaya memberitakan segala hal, mulai dari perang hingga demokrasi,” ujarnya.
Guterres mengaku terkejut dengan banyaknya jurnalis yang tewas dalam operasi militer Israel di Gaza. PBB mengakui kerja luar biasa para jurnalis dan pekerja media dalam memastikan masyarakat mendapatkan informasi dan keterlibatan.
”Tanpa fakta, kita tidak bisa melawan misinformasi dan disinformasi. Tanpa akuntabilitas, kita tidak akan mempunyai kebijakan yang kuat. Tanpa kebebasan pers, kita tidak akan mempunyai kebebasan apa pun. Pers yang bebas bukanlah pilihan, melainkan sebuah kebutuhan,” katanya.
UNESCO menyebut setidaknya 749 jurnalis dan media yang melaporkan isu-isu lingkungan menjadi sasaran pembunuhan, kekerasan fisik, penahanan dan penangkapan, serta pelecehan daring pada periode 2009-2023. Lebih dari 300 serangan terjadi pada 2019-2023, atau meningkat 42 persen dibandingkan dengan periode 2014-2018.
Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay mengatakan, tanpa informasi ilmiah yang dapat diandalkan, krisis lingkungan akan sulit diatasi. ”Namun, para jurnalis yang kita andalkan untuk menyelidiki masalah ini dan memastikan informasi dapat diakses menghadapi risiko tinggi yang tidak dapat diterima di seluruh dunia. Selain itu, disinformasi terkait perubahan iklim adalah hal yang sangat buruk, merajalela di media sosial. Kita harus menegaskan kembali komitmen kita untuk membela kebebasan berekspresi dan melindungi jurnalis di seluruh dunia,” ujarnya.
Indeks kebebasan pers
Berdasarkan Indeks Kebebasan Pers Dunia 2024 oleh Reporters Without Borders (RSF) yang dirilis pada Jumat (3/5/2024), kebebasan pers seluruh dunia sedang terancam oleh pihak yang seharusnya menjadi penjamin kebebasan pers, yaitu otoritas politik. Indeks ini memantau kondisi jurnalisme di 180 negara.
Baca juga: Kebebasan Pers Direpresi dari Berbagai Sisi
Dari lima indikator yang digunakan dalam pemeringkatan, indikator politik mengalami penurunan paling besar, dengan rata-rata penurunan global sebesar 7,6 poin. Direktur Editorial RSF Anne Bocande mengatakan, seiring dengan lebih dari separuh populasi dunia mengikuti pemilu pada 2024, pihaknya melihat ada tren mengkhawatirkan yang diungkapkan indeks tersebut.
”Kekuatan-kekuatan politik semakin berkurang perannya dalam melindungi kebebasan pers. Pelemahan ini kadang-kadang terjadi bersamaan dengan tindakan-tindakan yang lebih bermusuhan yang melemahkan peran jurnalis atau bahkan menginstrumentasikan media melalui kampanye atau disinformasi,” ujarnya.
Dalam indeks tersebut, Norwegia masih menempati peringkat teratas dengan 91,89 poin. Posisi lima besar lainnya ditempati oleh Denmark (89,6 poin), Swedia (88,32 poin), Belanda (87,73 poin), dan Finlandia (86,55 poin).
Sementara lima peringkat terbawah dihuni oleh negara-negara Afrika dan Asia, yaitu Eritrea (16,64 poin), Suriah (17,41 poin), Afghanistan (19,09 poin), Korea Utara (20,66 poin), dan Iran (21,3 poin). Adapun Indonesia menempati posisi ke-111 (51,15 poin). Peringkat itu menurun dibandingkan dengan tahun lalu yang menempati peringkat ke-108 (54,83 poin).