Antisemitisme dan Divestasi di Pusaran Unjuk Rasa Mahasiswa AS
DPR AS ingin menyebut segala kritik terhadap Israel adalah antisemit. Banyak pihak menentang.
Unjuk rasa pro-Palestina masih berlanjut di sejumlah perguruan tinggi di Amerika Serikat. Tiga perguruan tinggi, yaitu Universitas Brown, John Hopkins, dan Northwestern, telah membuat kesepakatan antara kampus dan para mahasiswa pengunjuk rasa. Mereka akan membahas kemungkinan divestasi dari perusahaan-perusahaan Israel ataupun lembaga yang mendukung militer Israel di Jalur Gaza, Palestina.
Pada saat bersamaan, DPR AS juga membahas rencana perubahan Undang-Undang Hak Sipil 1964. Mereka ingin memperluas definisi antisemitisme yang terkandung dalam aturan tersebut dengan mencakup ”segala narasi ataupun tindakan yang mengkritik Israel sebagai negara Yahudi”.
Presiden AS Joe Biden pada Kamis (2/5/2024) mengatakan, kebebasan berekspresi harus berjalan. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, polisi menangkapi mahasiswa atas tuduhan menduduki kampus-kampus. Sejumlah universitas bahkan menskors sivitas akademika yang turut berunjuk rasa.
”Ada hak berunjuk rasa, tapi tidak ada hak berbuat kekacauan. Di AS, tidak ada tempat untuk perilaku antisemit, Islamofobia, anti-Palestina, dan anti-Arab,” kata Biden.
Baca juga: Unjuk Rasa Pro-Palestina Berlanjut di Kampus UCLA, Polisi Serbu Kampus Lagi
Niat DPR ini memunculkan banyak kritik. Persatuan Kebebasan Sipil AS (ACLU) megeluarkan pernyataan tertulis yang menyebut rencana perubahan definisi antisemitisme itu menjadi terlalu luas dan sumir.
Hal ini bisa membungkam kebebasan berpendapat dan sifat kritis yang menjadi landasan demokrasi. Sejumlah anggota Kongres AS yang menganut agama Yahudi juga menentang recana itu. Mereka antara lain Bernie Sanders dari Fraksi Independen dan John Nadler dari Fraksi Partai Demokrat.
Definisi antisemit
Pendapat Sanders dan Nadler sejalan dengan penjelasan Joshua Shanes, pakar Kajian Yahudi di Kolese Charleston. Di The Conversation edisi 31 Januari 2024, Shanes memaparkan bahwa antisemitisme adalah teori konspirasi yang mengatakan orang-orang Yahudi memegang posisi strategis dengan tujuan menguasai dunia sehingga orang Yahudi disalahkan atas segala peristiwa negatif global.
Antisemitisme juga berarti menganggap orang Yahudi hanya setia kepada Israel, bukan kepada negara yang menjadi tanah air mereka selama ini. Selain itu, antisemitisme juga menyalahkan diaspora Yahudi atas keputusan Pemerintah Israel.
Shanes menjelaskan, terdapat pula pandangan antizionisme. Ini adalah pemikiran yang menentang pendirian negara Israel untuk kaum Yahudi dengan mengorbankan bangsa Palestina. Pandangan antizionisme juga dipercayai oleh sebagian kaum Yahudi. Antizionisme tidak mendiskriminasi orang Yahudi karena identitas keagamaan dan etnik, tetapi menentang keputusan politik Israel sebagai negara.
Baca juga: Polisi Serbu Sejumlah Kampus di Amerika Serikat
”Oleh sebab itu, antizionisme dan kritik terhadap Pemerintah Israel tidak boleh dikategorikan sebagai antisemit,” papar Shanes.
Keputusan membuat rencana perubahan definisi antisemitisme itu berasal dari Fraksi Partai Republik. Mereka menilai unjuk rasa para mahasiswa yang menentang operasi militer Israel di Jalur Gaza karena sudah jauh melampaui tindakan membela diri atas penyerangan Hamas pada 7 Oktober 2023 itu antisemit.
Pasalnya, mahasiswa kini meminta agar kampus-kampus mereka melepaskan diri dari sumbangan yang berasal dari orang, perusahaan, dan lembaga yang mendukung operasi tersebut. Sejumlah organisasi Yahudi di AS menuduh tindakan mahasiswa mengincar perusahaan-perusahaan Israel secara spesifik ini antisemit.
Hal itu dibantah oleh organisasi-organisasi Yahudi lainnya, termasuk Suara Yahudi untuk Perdamaian (JVP). Cameron Jones, anggota JVP sekaligus mahasiswa Universitas Columbia di New York, menekankan, tidak ada aspek rasialis dan diskriminatif di dalam permintaan mereka untuk divestasi.
”Tuntutan kami jelas sekali, yaitu berhenti berhubungan dengan pihak-pihak yang mendukung genosida bangsa Palestina. Pihak-pihak ini tidak cuma perusahaan Israel, tetapi pihak mana pun yang secara langsung dan tidak langsung terlibat mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia di Palestina,” kata Jones, dikutip surat kabar TheNew York Times edisi Rabu (1/5/2024).
Oleh sebab itu, antizionisme dan kritik terhadap Pemerintah Israel tidak boleh dikategorikan sebagai antisemit.
Dikumpulkan dari berbagai sumber, perusahaan-perusahaan yang dituduh oleh para mahasiswa AS terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam genosida bangsa Palestina ini antara lain Alphabet yang merupakan induk Google, Amazon, Airbnb, Boeing, dan Lockheed Martin.
Google karena menyediakan teknologi komputasi awan yang dipakai militer Israel, Airbnb karena memiliki usaha di wilayah pendudukan Tepi Barat, dan Lockheed Martin karena memproduksi persenjataan yang digunakan militer Israel.
Divestasi
Terkait dengan divestasi, tiga perguruan tinggi mempertimbangkan hal tersebut. Selain menarik uang kuliah dari mahasiswa, kampus-kampus di AS juga mengandalkan investasi ataupun sumbangan dari individu, perusahaan, dan lembaga. Berdasarkan data Departemen Pendidikan AS tahun 2023, di 100 perguruan tinggi, nilai investasi dari pihak luar mencapai 375 juta dollar AS.
Todd Ely, Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Colorado Denver, ketika diwawancarai NPR edisi 30 April 2024 mengatakan, investasi swasta ini masuk ke dalam dana perwalian universitas. Ini adalah dana abadi yang antara lain dipakai untuk memberi beasiswa, melaksanakan operasionalisasi perguruan tinggi, serta melakukan penelitian dan pengembangan.
”Divestasi tidak akan berpengaruh kepada ekonomi perusahaan dan industri. Malah berisiko mengancam pembiayaan operasional kampus jika tidak dilakukan dengan saksama,” tuturnya.
Baca juga: Kampus AS Mulai Skors Mahasiswa Pengunjuk Rasa Pro-Palestina
Dalam kasus Universitas Brown, misalnya, mahasiswa mengidentifikasi 11 perusahaan yang menurut mereka menyokong genosida di Palestina. Apabila dihitung, nilai dari 11 perusahaan ini kurang dari 10 persen investasi swasta di universitas tersebut. Ini pula yang diduga membuat Brown mau mempertimbangkan divestasi.
Sejatinya, divestasi bukan hal baru di dunia pendidikan tinggi AS. Pada 1980-an, mahasiswa berhasil mendesak perguruan-perguruan tinggi agar divestasi dari perusahaan-perusahaan yang menyokong pemerintahan apartheid Afrika Selatan (Afsel).
Pada 1997, perguruan tinggi divestasi dari perusahaan-perusahaan rokok. Mereka menilai tidak etis apabila universitas mengembangkan kajian kesehatan masyarakat, tetapi menerima uang dari perusahaan tembakau.
Pada 2005, Universitas Stanford melakukan divestasi dari orang, perusahaan, dan lembaga yang secara tidak langsung mendukung genosida di Darfur, Sudan. Akan tetapi, Universitas Yale menolak divestasi dari perusahaan pembuat senjata dan teknologi militer. Alasannya, persenjataan juga penting untuk pertahanan nasional dan aparat penegak hukum.
Baca juga: Polisi New York Serbu Columbia University, Jerman Tetap Boleh Kirim Senjata ke Israel
Kepada media PBS, dosen Kajian Pendidikan Kolese Davidson, Chris Marsicano, menerangkan, divestasi ini tidak semuanya bertujuan untuk memukul industri. Ia mencontohkan divestasi dari perusahaan tersangkut apartheid Afsel sama sekali tidak berpengaruh pada pendapatan korporasi.
”Akan tetapi, divestasi itu sangat berpengaruh kepada tekanan politik yang akhirnya membuat Afsel bereformasi meninggalkan paham apartheid,” tuturnya.
Marsicano berpendapat, divestasi kali ini bukan untuk menjegal perekonomian Israel. Langkah ini diharapkan bisa menekan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menghentikan genosida di Palestina. (REUTERS/AP)