Menyimak kasus pencatutan nama dosen Malaysia untuk artikel ilmiah seorang dosen di Indonesia dan jumlah publikasi yang mencapai 160 buah dalam kurun waktu empat bulan tidak lagi membuat kaget kita yang terbiasa dengan suguhan serba instan di negeri ini. Adakah yang bersangkutan menulis semua makalah tersebut? Atau mungkin ada pihak yang membantu penulisan tersebut?
Sekilas kita bertanya, tetapi kemudian mafhum. Konon there is nothing new under the sun, tidak ada hal yang baru dari kejadian tersebut. Ini bukan kejadian langka, melainkan sudah kronis. Hal ini bukan skandal eksklusif milik dunia pendidikan.
Ini adalah salah satu hasil mekanisme pasar belaka, ada permintaan dan ada penawaran. Ketika pemenuhan syarat jenjang karier bisa dikonversikan menjadi nilai mata uang, maka pasar jual beli syarat jenjang karier akan terbentuk. Dan juga kebiasaan plagiarisme yang sudah menjadi ”seni” tersendiri.
Baca juga: Etika Publikasi Dosen dan Peneliti
Bagi para dosen, pemenuhan kelengkapan berkas dalam laporan beban kerja dosen (BKD) tiap akhir semester tentu bukanlah hal baru. Kinerja dosen harus memenuhi tiga unsur yang merupakan tridarma perguruan tinggi, yaitu mendidik, meneliti, dan mengabdikan diri kepada masyarakat, ditambah satu unsur penunjang. Nilai kredit masing-masing sudah ditetapkan dan seorang dosen harus mencapai minimal angka tersebut untuk setiap kategori.
Adalah hal yang baik bahwa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) membuat situs web (website) untuk memonitor kinerja para dosen dan perguruan tinggi. Namun, hal ini adalah untuk kelengkapan administrasi belaka.
Perihal kerja penelitian dosen yang dilaporkan salah satunya dalam bentuk publikasi artikel ilmiah dalam suatu jurnal, terkadang ini dinilai sebagai bagian yang paling sulit karena itu pula bobotnya besar. Seyogianya penerbitan laporan penelitian dilakukan sebagai kebiasaan yang sudah mendarah daging, sudah berjalan otomatis bagi dosen yang selalu belajar dan mencari ilmu.
Demikianlah idealnya, tetapi ternyata target publikasi artikel ini membentuk ekosistem tersendiri dalam bentuk simbiosis mutualisme. Ada penyedia jasa pembuatan dan penerbitan artikel ilmiah dan ada pengguna jasa, yaitu para dosen yang dituntut membuat laporan secara rutin. Di sinilah transaksi terjadi.
Apa boleh buat, data dan hasil penelitian begitu mudah dibuat. Ada pola tertentu yang bisa dicermati untuk kemudian diduplikasi. Penyedia program akal imitasi (artificial intelligence/AI) bertebaran di internet. Pun kalau ini dirasa masih terlalu njelimet, muncullah plagiarisme. Mencontek.
Ada penyedia jasa pembuatan dan penerbitan artikel ilmiah dan ada pengguna jasa, yaitu para dosen yang dituntut membuat laporan secara rutin.
Jika sekarang sudah banyak program komputer yang mencegah seseorang mencontek karya orang lain seperti Turnitin, maka seolah tugas manusialah untuk mengakali program tersebut. Diketahui, dengan mengimbuhkan satu huruf pada tiap kata dan mencetak huruf tersebut tanpa terlihat (warna huruf sama dengan latar belakang), maka Turnitin dapat ditundukkan. Nanti, entah apalagi akal manusia untuk menjaili aplikasi sejenis ini.
Berbagai kecaman dilontarkan; pendapat yang utama adalah memang kalau sudah mentalnya adalah mencari jalan pintas, maka etika ditekuk, semangat melestarikan keilmuan pun dipersetankan, yang penting pemenuhan syarat diselesaikan tepat waktu, tunjangan pun cair.
Memulai generasi baru
Komponen ekosistem pasar artikel ilmiah ini beragam. Bisa diterka, penyedia jasa bisa jadi merupakan dosen sendiri atau lulusan perguruan tinggi yang mengetahui ”pintu belakang keilmuan” seperti ini. Seperti halnya jasa pembuatan makalah tugas akhir atau skripsi.
Kenyataan seperti ini sebenarnya menunjukkan betapa kikuk dan gagapnya kita di hamparan dunia keilmuan.
Solusi nyata bagi hal-hal seperti ini memang tidak bisa dikerjakan sendiri. Harus ada kemauan menjadi bangsa yang hebat yang diwujudkan dalam bentuk kebijakan pemerintah. Niat menjadi bangsa yang besar dan berdaulat jangan hanya menjadi jargon.
Baca juga: Efek Kobra Publikasi Ilmiah
Sikap pemerintah untuk menghilangkan budaya instan dan plagiarisme ini harus mulai diterapkan di semua lini. Dari pendidikan di usia dini, hindarkan anak-anak dari budaya instan, korupsi, tanamkan nilai-nilai luhur yang menjunjung tinggi kejujuran dan kerja keras. Ini adalah lari jarak jauh sekaligus estafet. Hasilnya tidak bisa dirasakan secara cepat, tetapi perlu beberapa generasi. Bisakah bangsa ini melaksanakannya?
Dari diri sendiri, memang menghela napas dan kembali bersabar dengan laporan-laporan yang harus dikerjakan adalah jalan yang terbaik.
Dinar Rahaju Pudjiastuty, Dosen Sekolah Tinggi Analis Bakti Asih
Facebook: dinar.rahayu.3