Petani, desa, dan pertanian menjadi kunci kedaulatan pangan. Namun, keberadaannya belum benar-benar dilindungi.
Oleh
SUSANTI AGUSTINA S
·3 menit baca
Sejak masa kolonialisme, hidup sebagai petani dan menjadi bagian dari sistem ekonomi kapitalis bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Gelombang pemiskinan secara drastis terhadap petani berlangsung karena pemutusan hubungan kepemilikan oleh modal.
Modal kapitalis meluaskan diri dengan beragam cara yang ternyata merusak keberlangsungan hidup petani, dengan cara produksi prakapitalisnya, seperti dijelaskan secara kontekstual oleh David Harvey (2007) dalam artikel berjudul ”Neoliberalism and Creative Destruction” (2007).
Petani dan ekonomi rumah tangga petani tetap berlanjut hidup, mempertahankan diri, dan melawan gelombang pemusnahan oleh ekonomi kapitalis global. Francis Wahono dan Theresia Puspitawati dalam publikasi berjudul Desa Swabina, Petani Merdeka: Pancasila sebagai Landas Pacu Merdesa (Penerbit Buku Kompas, 2024) merujuk ke karya klasik dari Alexander Chayanov, terutama The Theory of Peasant Economy (1966/1925). Landasan teori tersebut digunakan untuk memahami pilar-pilar ekonomi pertanian rumah tangga yang membuatnya dapat melanjutkan hidup.
Chayanov jelas propetani dan pertanian rakyat. Alirannya neopopulisme yang antikapitalis, tetapi bukan komunis. Praktik neopopulisme justru selalu ditentang oleh paham komunis yang menjadikan tanah rakyat sebagai tanah negara dan pengusahaannya dilakukan oleh petani sebagai tenaga kerja kolektif.
Teori dari AV Chayanov menjadi landasan teori yang digunakan Francis Wahono dan Theresia Puspitawati dalam menjelaskan perjuangan rumah tangga petani dan pertanian skala rumah tangga rakyat. Kedua penulis berupaya mendorong para pemikir, pemimpin, dan penggerak rakyat serta kalangan yang rajin berkampanye tentang hak petani, kedaulatan pangan, reforma agraria, untuk bekerja secara konkret menemukan cara baru supaya petani mencapai Merdesa-kah, yakni Merdeka menjadi warga Desa ber-Swabina Pancasila.
Persoalan desa, petani, dan pertanian
Setidaknya ada enam pokok persoalan yang harus dituntaskan supaya cita-cita desa swabina tercapai dan petani semakin merdeka. Pertama, kontroversi asal-muasal desa apakah merupakan desa warisan asli sejak dahulu kala atau desa produk dari penjajahan kolonialis, khususnya sistem perpajakan hitung cacah kepala, serta alokasi tanah yang bias tanam paksa. Dengan demikian, akses lahan, air, dan asupan pertanian dan petani ditentukan oleh status asal-muasal desa.
Kedua, ketiadaan batas desa sehingga ada tumpang tindih di antara berbagai batas. Misalnya, antarwilayah, suku, bahasa, jenis pekerjaan, sejarah, administrasi, politik budaya, dan ekonomi sosial. Akibatnya, satuan komunitas petani dibedakan dari nonpetani dan petani di suatu desa. Satuan hamparan pertanian juga dibedakan dari hamparan nonpertanian, seperti perkebunan dan kehutanan.
Ketiga, pembagian penduduk desa atas kelas sosial ekonomi. Kelas pemilik tanah luas dan pemilik tanah sempit, gurem, bahkan tunakisma adalah kisah perebutan sumber daya kehidupan antarpetani di antara mereka sendiri ataupun dengan imperium politik ekonomi di atasnya.
Keempat, penyedotan sumber-sumber daya agraria dan tenaga desa oleh pemerintah pusat, seperti pajak agraria (tanah, air, dan bangunan) yang selalu mengalami kenaikan, tetapi subsidi pupuk dan sarana produksi pertanian cenderung menurun.
Kelima, penetrasi global ke desa yang menunjukkan adanya komodifikasi desa dalam sumber agraria, termasuk sumber daya kelautan. Hal ini yang disebut kolonialisasi desa, zaman kolonial baru lintas bangsa. Padahal, desa semestinya dipelihara dan dilindungi oleh pusat kekuasaan terhadap gempuran eksploitasi dan produk impor global vis- a-vis sumber daya dan hasil lokal. Desa dan pertanian menjadi obyek rente seeking, pun demikian terjadi pada petani dan pertaniannya.
Persoalan keenam ialah penganaktirian desa di pesisir. Desa, petani, dan pertanian pesisir dari kacamata paradigmadarat dianggap sebagai comberan di darat. Sementara, dari paradigma laut, dipandang sebagai pinggiran yang miskin biota laut kendati ternak rumput laut berada di kawasan perbatasan.
Kesetiaan pada cita-cita mulia
Gagasan membangun desa swabina sebagai perwujudan desa Pancasila sehingga berkelindan dengan ”petani menjadi merdeka” merupakan cita-cita mulia. Namun, beragam persoalan yang terkait dengan petani, desa, dan pertanian harus lebih dahulu dituntaskan. Upaya menuntaskan beragam persoalan yang terkait bukan perkara mudah, terlebih dalam situasi sosial, ekonomi, dan politik saat ini.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, serta peraturan turunannya, bagi kebanyakan desa di Indonesia, meski sudah lebih maju, dalam pembagian keuangan dan inisiatif penguasa lokal masih menyimpan kerapuhan. Masalah fundamental yang terkait eksistensi petani kecil, nelayan kecil, masyarakat adat, perempuan, dan generasi muda masih sering terjadi.
Reforma agraria lebih luas dari redistribusi tanah, masih tambal sulam. Sebagai mandat dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, reforma agraria adalah conditio sine qua non dari rakyat merdeka. Undang-undang tersebut merupakan pengejawantahan dari preambul UUD 1945 berikut kelima sila Pancasila yang penjabarannya tertuang dalam Pasal 33 Ayat 1-3. Dengan demikian, hal ini merupakan diktum kemerdekaan semua warga negara Indonesia, termasuk fakir dan miskin dipelihara oleh negara. Bahkan, yang membutuhkan sarana penghidupan dijamin dengan pekerjaan layak dan yang dalam kondisi bahaya dilindungi lewat kehadiran negara.
Implementasi nilai-nilai Pancasila dalam pembangunan desa demi kesejahteraan petani dan pertaniannya berarti meniadakan beragam bentuk penyimpangan, seperti monopoli, konsentrasi, estat, lumbung pangan, dan energi ala MIFEE dan Kalimantan Tengah yang meniadakan petani.
Keteguhan jiwa dinilai penulis sebagai modal yang harus dimiliki oleh berbagai pihak supaya ”Desa Pancasila” benar-benar terwujud. Keteguhan jiwa dibangun lewat asas mental ”kesetiaan”. Kesetiaan terhadap cita-cita ideal Proklamasi Kemerdekaan. Terlebih, petani, desa, dan pertanian menjadi kunci dalam mewujudkan kedaulatan pangan. (STI/LITBANG KOMPAS)
Data Buku
Judul: Desa Swabina, Petani Merdeka: Pancasila sebagai Landas Pacu Merdesa