Dorong 3 Juta Rumah, Skema Subsidi Diusulkan Berubah
Penyelesaian masalah kekurangan rumah dinilai memerlukan perubahan skema pembiayaan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI, AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·4 menit baca
LABUAN BAJO, KOMPAS — Pasangan presiden-wakil presiden terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menjanjikan program pembangunan 3 juta rumah per tahun. Agar bisa mencapai target ambisius itu, skema subsidi perumahan diusulkan berubah.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Real Estat Indonesia (REI) Joko Suranto mengemukakan, sektor perumahan memiliki kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi. Namun, upaya penyelesaian kekurangan rumah (backlog) di Indonesia cenderung lamban. Selama satu dasawarsa terakhir, angka kekurangan rumah di Indonesia hanya turun 10 persen.
Pada tahun 2020, sebanyak 13,6 juta keluarga tercatat belum memiliki rumah. Adapun pada 2022 keluarga yang belum memiliki rumah sebanyak 12,7 juta keluarga atau 20 persen dari jumlah keluarga.
Sementara itu, laju penambahan kebutuhan hunian per tahun berkisar 600.000-800.000 unit sejalan dengan bertambahnya keluarga baru. Pada tahun 2035, jumlah penduduk di Indonesia diperkirakan sebanyak 304 juta, dengan 60 persen di antaranya tinggal di perkotaan. Akses perumahan yang cepat, mudah, dan ringan diperlukan untuk mengurai masalah kekurangan rumah.
Ia menilai, program penyediaan 3 juta rumah membutuhkan komitmen semua pihak. Tahun 2024, REI telah menyiapkan 600.000 kavling lahan yang diperkirakan cukup untuk penyediaan 1 juta rumah di kawasan perkotaan.
”Cara penyelesaian (backlog) yang sama tidak akan mampu menghasilkan penurunan backlog rumah secara signifikan. Diperlukan perubahan skema subsidi perumahan yang lebih efektif,” ujar Joko di sela-sela perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-52 REI di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Jumat (26/4/2024).
Jangkauan diperluas
Joko mengakui, diperlukan pergeseran pola fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) menjadi subsidi selisih bunga. Anggaran FLPP dimasukkan ke dalam dana abadi dan diinvestasikan. Hasil investasi dana abadi akan dipadukan dengan sumber pendanaan lain untuk pembiayaan subsidi selisih bunga. Bauran dana abadi itu dinilai akan mampu menopang pembiayaan subsidi 3 juta rumah.
Dana abadi dinilai juga dapat memanfaatkan sumber dana lain, seperti dana Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS), Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), dan dana wakaf yang ditempatkan di perbankan untuk menjadi dana pendamping pembiayaan subsidi selisih bunga.
Hal senada dikemukakan Direktur Consumer BTN Hirwandi Gafar. Pemerintah baru menjanjikan akan memberikan tunjangan berupa 3 juta rumah dalam satu periode atau tiga kali lipat dibandingkan periode saat ini yang sebanyak 1 juta unit rumah. Meningkatnya jumlah rumah yang akan dibangun tersebut menandakan anggaran subsidi yang dibutuhkan lebih besar ketimbang periode sebelumnya.
Untuk memperluas sasaran pembiayaan, pihaknya telah mengusulkan kepada pemerintah untuk meninjau ulang definisi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sebab, kalangan yang termasuk dalam kategori masyarakat berpenghasilan tanggung (MBT) dengan penghasilan di atas Rp 8 juta per bulan juga memiliki daya beli terbatas untuk mengakses rumah.
”Kami usulkan kategori penghasilan yang memperoleh subsidi agar diperluas menjadi Rp 12 juta atau Rp 15 juta. Usulan skema pembiayaan sedang dibahas bersama dengan Kementerian PUPR dan Kementerian Keuangan,” kata Hirwandi.
Lebih lanjut, Hirwandi mengatakan, tenor kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi diusulkan dibatasi menjadi 10 tahun, dan selebihnya mengikuti suku bunga pasar. Ini karena penghasilan masyarakat terus meningkat dalam satu dasawarsa. Masyarakat cenderung akan melunasi cicilannya rata-rata setelah memasuki tahun ke-10 sekalipun tenor yang diambil berjangka waktu lebih lama.
Subsidi selisih bunga
Hingga saat ini, pemerintah menerapkan skema FLPP bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan suku bunga tetap (fixed rate) 5 persen per tahun dan pinjaman berjangka hingga 20 tahun.
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Nixon LP Napitupulu menyampaikan, skema pembiayaan masih dalam pembahasan bersama ekosistem pembiayaan perumahan. BTN mengusulkan agar pembiayaan tidak hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengingat program 3 juta rumah menargetkan rumah yang akan dibangun tiga kali lipat dibandingkan periode sebelumnya.
”Kalau pakai cara FLPP, sudah pasti jadinya berat. FLPP itu, kan, seluruh kebutuhan likuiditasnya disediakan oleh APBN. Harus ada terobosan lain agar anggaran pemerintah bisa terserap lebih masuk akal. Kami mengusulkan skemanya berupa kombinasi FLPP dengan subsidi selisih bunga,” katanya dalam konferensi pers paparan kinerja BTN triwulan I-2024, di Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Skema tersebut dilakukan dengan menempatkan anggaran FLPP yang setiap tahunnya berkisar Rp 19 triliun-Rp 25 triliun sebagai dana abadi yang akan dikelola Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Kemudian, dana abadi tersebut nantinya dapat ditempatkan di instrumen surat utang negara berjangka panjang.
Nixon menjelaskan, imbal hasil dari penempatan tersebut akan digunakan untuk menutup kebutuhan subsidi KPR dengan pola subsidi selisih bunga. Dengan imbal hasil sebesar 6 persen, misalnya, anggaran FLPP tersebut dapat membiayai sekitar 250.000 unit rumah dalam setahun.
Nixon menambahkan, pihaknya turut meminta agar batasan harga jual rumah subsidi diperlebar dari sebelumnya Rp 180 juta-Rp 190 juta per unit menjadi Rp 300 juta-Rp 500 juta per unit. Dengan demikian, setidaknya masyarakat akan mendapatkan rumah yang relatif lebih layak dari sebelumnya tipe 30 menjadi tipe 36.
Kenaikan batasan harga jual tersebut akan membuat jangkauan subsidi lebih luas. ”Sepanjang itu adalah rumah pertama, kami usulkan seperti itu. Kalau ini terjadi, daya jangkau ke masyarakat akan lebih besar. Tetapi kualitas rumah juga sudah harus dipikirkan, mumpung pemerintahan baru,” tambah Nixon.