Berubah Sebelum Waktunya
Pergeseran struktur ekonomi itu niscaya. Namun, di Indonesia, transformasi itu cenderung ”melompat” sebelum waktunya.
Data pertumbuhan ekonomi Indonesia di awal tahun yang baru-baru ini dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) mempertegas sejumlah tren yang meresahkan. Kinerja sektor-sektor utama penopang perekonomian nasional hanya mampu tumbuh moderat, bahkan terkontraksi. Sebaliknya, sektor-sektor yang tidak berkontribusi besar terhadap ekonomi tumbuh pesat.
Ekonomi Indonesia selama ini ditopang oleh tiga sektor besar, yaitu industri pengolahan, perdagangan, dan pertanian. Namun, pada triwulan I tahun 2024, kinerja ketiga sektor itu semua tumbuh di bawah laju pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,11 persen secara tahunan (year on year).
Industri pengolahan yang kontribusinya 19,28 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional hanya mampu tumbuh 4,13 persen, disusul sektor perdagangan dengan kontribusi 13,15 persen yang hanya tumbuh 4,58 persen. Industri pertanian dengan kontribusi 11,61 persen terhadap PDB bahkan tumbuh minus atau terkontraksi -3,54 persen secara tahunan.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi di Tengah Deindustrialisasi Prematur
Sementara itu, sektor yang kontribusinya kecil terhadap PDB justru tumbuh pesat melampaui pertumbuhan ekonomi, beberapa sampai tumbuh dua digit.
Sebut saja, administrasi pemerintahan yang distribusinya 3,36 persen terhadap perekonomian tumbuh meroket hingga 18,88 persen; sektor jasa kesehatan dengan kontribusi 1,22 persen tumbuh 11,64 persen; serta sektor jasa perusahaan dengan kontribusi 1,93 persen yang tumbuh 9,63 persen. Ketiga sektor ini terungkit karena momentum pemilihan umum 2024.
Ada pula sektor akomodasi dan makan minum (mamin) dengan kontribusi 2,62 persen yang tumbuh 9,39 persen, informasi dan komunikasi (infokom) yang tumbuh 8,39 persen meski kontribusinya hanya 4,4 persen, serta jasa lainnya yang tumbuh 8,92 persen meski kontribusinya hanya 2,05 persen.
Ini bukan kali pertama kinerja sektor-sektor utama ekonomi itu tumbuh moderat di bawah laju pertumbuhan ekonomi. Setidaknya satu dekade terakhir, industri pengolahan, perdagangan, dan pertanian hampir selalu tumbuh di bawah laju pertumbuhan ekonomi. Sementara, sektor jasa seperti akomodasi dan mamin, infokom, transportasi dan pergudangan, serta jasa lainnya, selalu tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi.
Di Indonesia, transformasi ekonomi itu cenderung “melompat” sebelum waktunya.
Satu-satunya pengecualian adalah pada tahun 2022 ketika industri pengolahan mampu tumbuh 5,07 persen dan industri perdagangan tumbuh 5,71 persen. Pertumbuhan itu tidak stabil karena lebih banyak terbantu oleh faktor sesaat yang hanya terjadi satu kali (one-off) seperti momentum ledakan harga komoditas (commodity boom).
Selain pertumbuhan sektor manufaktur yang trennya konsisten di bawah pertumbuhan ekonomi, fenomena transformasi ekonomi itu juga tampak dari berkurangnya kontribusi sektor pengolahan dan pertanian terhadap pembentukan PDB dalam satu dekade terakhir.
Kajian oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI menunjukkan, pada 2011, kontribusi pertanian terhadap pembentukan PDB mencapai 13,9 persen dan secara konsisten menurun hingga 11,8 persen pada 2023. Industri pengolahan juga turun dari 22,1 persen (2011) ke 20,4 persen (2023). Terakhir, pada triwulan I-2024, kontribusi sektor manufaktur terhadap perekonomian nasional tinggal 19,28 persen.
Sebaliknya, kontribusi PDB oleh sektor jasa bernilai tambah rendah cenderung stabil di kisaran 25,5 persen dan kontribusi sektor jasa bernilai tambah tinggi naik cukup signifikan dari 15,7 persen pada 2011 ke 19,8 persen pada 2023.
Baca juga: Menahan Deindustrialisasi Dini
Prematur
Dalam ekonomi, perubahan memang tidak terelakkan. Pada satu titik, semua negara pasti akan melalui transformasi struktur ekonomi. Negara-negara maju, misalnya, sudah duluan melalui fase yang disebut deindustrialisasi menuju tahap pasca-industrial itu secara “alamiah”.
Transformasi ekonomi secara alamiah itu terjadi secara bertahap ketika aktivitas ekonomi beralih dari sektor pertanian ke sektor yang lebih bernilai tambah seperti manufaktur. Tahap berikutnya adalah pergeseran dari sektor industri pengolahan yang sudah mencapai puncak kejayaannya dan perlahan beralih ke sektor jasa.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teguh Dartanto, Jumat (10/5/2024) mengatakan, pergeseran struktur ekonomi ke sektor jasa adalah keniscayaan. Namun, di Indonesia, transformasi ekonomi itu cenderung ”melompat” sebelum waktunya.
Transformasi ekonomi Indonesia cenderung melompati tahap-tahap alamiah itu sebelum waktunya. Indonesia belum sungguh-sungguh melakukan pembangunan pertanian yang modern melalui mekanisasi dan hilirisasi, serta belum membangun sektor industri manufakturnya secara komprehensif.
Proses transformasi semestinya berjalan baik tanpa meninggalkan terlalu banyak residu atau dampak negatif.
”Transformasi kita terjadi saat industri kita belum benar-benar kuat, tetapi kita sudah bergeser ke sektor jasa atau yang disebut dengan deindustrialisasi prematur. Pergeseran ekonomi ke arah sektor jasa itu juga tidak dibarengi pergeseran tenaga kerja,” ujarnya.
Selama satu dekade terakhir ini, terjadi peningkatan yang signifikan pada proporsi tenaga kerja di sektor jasa. Namun, tren itu mengarah pada sektor jasa bernilai tambah rendah, yakni dari 35,2 persen pada 2011 menjadi 41,3 persen pada 2023.
Sementara, peningkatan proporsi tenaga kerja di sektor jasa bernilai tambah tinggi cenderung terbatas dari 7,1 persen (2011) menjadi 8,3 persen (2023) karena sektor ini membutuhkan tenaga kerja dengan keterampilan khusus yang ketersediaannya masih terbatas.
”Akhirnya, terjadi penurunan produktivitas pada sektor pertanian dan industri, lalu sebagian besar penciptaan lapangan kerja terjadi pada sektor yang bernilai tambah rendah. Ada mismatch antaraunskilled labor dengan sektor-sektor bernilai tambah yang butuh skilled labor,” ujarnya.
Baca juga: Beban Ganda Industrialisasi RI
Residu ekonomi
Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, meski niscaya, proses transformasi semestinya berjalan baik tanpa meninggalkan terlalu banyak residu atau dampak negatif dari transformasi tersebut.
Saat ini, ada ketimpangan antara kesiapan perilaku konsumen untuk bergeser ke sektor tersier. ”Dari sisi konsumen sepertinya sudah lebih siap untuk bertransformasi, terlihat dari demand untuk perdagangan yang sifatnya e-commerce dan untuk sektor teknologi informasi (TI). Akibatnya, kebutuhan akan sektor tersier memang semakin tinggi,” katanya.
Menurut Heri, harapannya pertumbuhan sektor tersier atau jasa itu bisa menggerakkan produksi di sektor sekunder seperti industri manufaktur. Namun, kenyataannya, ketika sektor perdagangan berkembang, sektor domestik sulit mengimbangi sehingga produk yang diperdagangkan di dalam negeri pun bukan barang-barang produksi dalam negeri.
”Ketika ada pertumbuhan yang tinggi di sektor tersier, idealnya sektor sekunder ikut tumbuh tinggi. Ini yang tidak terjadi sehingga ada residu negatif yang muncul sebagai imbas transformasi ini,” ujar Heri.
Harapannya pertumbuhan sektor tersier atau jasa itu bisa menggerakkan produksi di sektor sekunder seperti industri manufaktur.
Menurut Teguh, untuk mengimbangi arus perubahan yang sudah terjadi itu, perlu ada kesesuaian antara transformasi struktur ekonomi nasional dan strategi pendidikan dan pengembangan keterampilan pekerja.
Jika itu dilakukan, tenaga kerja bisa terserap di sektor-sektor jasa yang bernilai tambah tinggi dan produktif, bukan terserap di sektor jasa yang umumnya bergerak di sektor informal dan minim kepastian dan kesejahteraan kerja, seperti pengemudi ojek daring, pekerja konstruksi, atau pedagang asongan.
Di sisi lain, sektor penopang utama ekonomi seperti pertanian dan industri pengolahan juga perlu digerakkan agar tidak tergerus oleh transformasi prematur itu. Apalagi, kedua sektor itu menghasilkan produk-produk bernilai tambah tinggi yang krusial untuk menopang perekonomian nasional.
”Modernisasi sektor pertanian perlu digalakkan agar memberikan nilai tambah tinggi dan menyediakan lapangan kerja produktif yang bisa menyejahterakan pekerja. Demikian juga, industrialisasi kita jangan hanya berhenti pada hilirisasi tambang, tetapi juga sektor yang relevan dengan struktur sosial kita, seperti perkebunan,” ujarnya.