Rajin Bergaul, Kolaborasi Ganjarannya
Hadir dalam pasar film atau film market menjadi kunci kolaborasi. Sering hadir dan produktif, makin terbuka kolaborasi.
Hadir di Hong Kong Filmart berarti menegaskan diri masih eksis dalam ekosistem perfilman Asia, bahkan dunia. Hal ini menjadi penting sebagai upaya merawat ingatan publik bahwa Anda masih bisa dijangkau, diajak kerja sama, atau sekadar berbagi tentang perkembangan pasar film.
Itulah sisi penting yang menjadi dasar kesadaran seorang pegiat film hadir dalam pasar film seperti Hong Kong Filmart pada pertengahan Maret lalu. Salah satunya produser film dari Kawankawan Media, Yulia Evina Bhara. Hari itu, ia melangkah tegas dan melambaikan tangan menuju ruang panel yang sebentar lagi menggelar diskusi tentang perfilman Indonesia.
”Ntar kita jadwal ulang, ya, ada orang yang harus gue temui, nih,” ujarnya sembari meninggalkan Pavilion Indonesia, stan atau booth yang menjadi titik temu para delegasi dari Indonesia di Hong Kong Trade Development Council (HKTDC), the Hong Kong International Film and TV Market (Filmart), di Hong Kong, Selasa (12/3/2024).
Ini kali pertama Indonesia mempunyai stan di Hong Kong Filmart berkat sponsor Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif didukung Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Tidak kurang dari 30 delegasi Indonesia hadir dalam acara ini, baik didanai sponsor maupun datang secara mandiri. Yulia, yang akrab disapa Ebe ini, adalah salah satu dari delegasi tersebut.
Ebe menegaskan bahwa dia terus bergulir dalam ekosistem perfilman global atau setidaknya di Asia. Kali ini, dia telah menyusun 10 hingga 12 jadwal pertemuan dengan kolega atau calon rekan produser untuk diajak kolaborasi. Pertemuan-pertemuan itu tidak selalu luring, ada juga yang daring.
Sehari sebelumnya, Ebe ngobrol intensif dengan dua pria tak jauh dari pintu masuk Hong Kong Filmart. Dua rekan bicara Ebe itu ternyata produser dari Singapura dan Hong Kong. Obrolan tersebut bagian dari jadwal Ebe. Yang pasti, sebagian besar pertemuan itu sudah dia rancang jauh-jauh dan bahkan beberapa adalah pertemuan lanjutan setelah pertemuan-pertemuan daring. Namun, ada juga pertemuan-pertemuan insidental. Ini bisa terjadi ketika Ebe mendapat info rekannya yang beberapa bulan tak dia temui ternyata hadir di acara yang sama.
Selain itu, tidak semua perbincangan bicara tentang proyek kerja sama, bisa juga sekadar saling sapa. Kadang pembicaraan yang tidak berorientasi dengan pekerjaan justru dapat memberi informasi penting satu sama lain. Misalnya, Ebe pernah punya film produksi bersama dengan Singapura dan Vietnam bertajuk Don’t Cry, Butterfly yang ditulis dan disutradarai Duong Dieu Linh, dari Vietnam.
”Aku ketemu co-producer-ku sekadar cacth up dan next mau ngapain,” ucap Ebe yang rajin mendatangi acara pasar dan festival film di sejumlah negara.
Menegaskan pergaulan
Masih di Pavilion Indonesia, Chief Operating Officer Adhya Pictures Shierly Kosasih mengobrol dengan produser dari Korea. Selang setengah jam kemudian, dia terlibat obrolan dengan distributor film di Malaysia, Suraya Film, Shures R; dan CEO Merak Abadi Productions Dewi Amanda. Mereka bertukar info tentang perkembangan film horor Indonesia yang diputar di Malaysia. Kebetulan Shierly juga memproduksi beberapa film horor.
Shierly termasuk salah satu sineas Indonesia yang rajin datang ke Hong Kong Filmart. Ini adalah kedatangannya yang keenam. Bagi Shierly, Ajang seperti ini merupakan kesempatan memperluas distribusi.
”Film ini punya banget kesempatan untuk bisa travel the world. Tentu saja jualan Danau Toba yang cantik,” kata Shierly tentang filmnya, Tulang Belulang Tulang terkait dengan tujuan dia memasarkannya di Hong Kong Filmart.
Acara ini dihadiri tak kurang dari 760 paviliun dari 27 negara. Selain itu, mengajak lebih dari 7.500 pelaku industri film, produser, distributor, agen penjualan, penyedia layanan dan penanam modal film dari 50 negara. Tak hanya dari Asia, sebagian juga dari Eropa dan Amerika. Singkatnya, Hong Kong Filmart merupakan pintu masuk yang menjanjikan bagi sineas atau para pebisnis film. Dari jumlah tersebut, 40 persennya adalah sineas China.
Selain sebagai produsen, China juga diincar sebagai pasar film. Dengan jumlah penduduk 1,4 miliar jiwa, China menjadi pasar yang menjanjikan. Tahun lalu, negeri Tirai Bambu ini memecahkan rekor dengan penghasilan dari bioskop sebesar 2,87 miliar dollar AS.
China adalah produsen film terbesar nomor dua setelah Amerika Serikat. Jumlah layar bioskopnya tak kurang dari 40.000. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya memiliki 2.145 layar di 517 bioskop.
Shierly menyiapkan beberapa film horor, seperti Death Knot, Mantra Surugana, Bolong (The Hole), dan Lala The Lucifer’s Bride. Selain China, pasar yang menjanjikan adalah Malaysia, Kamboja, dan Mongol. ”Yang sudah di-pick up, Death Knot dan The Hole. Bisa tayang kapan saja,” ucap Shierly.
Para distributor film percaya kepada Shierly karena dia bukan orang asing. Pergaulannya di pasar perfilman menguatkan penjenamaan dirinya ataupun perusahaannya. Bagi orang seperti Shierly dan Ebe, Hong Kong Filmart hanya satu mata rantai ekosistem perfilman di Asia. Mata rantai lainnya adalah Asian Contents & Film Market (ACFM) di Busan International Film Festival di Korea dan Asia TV Forum & Market (ATF) di Singapura.
Baca juga: Titip Rindu untuk Anabul Tersayang
Ketiganya mempunyai irisan yang sangat besar meski tetap memiliki karakteristik berbeda. ACFM amat lekat dengan festival, sementara ATF cenderung berat ke konten televisi. Adapun Hong Kong Filmart berdiri tanpa festival. ”Tapi, ketiganya bagian dari ekosistem besar perfilman,” tutur Yulia.
Dengan banyak muncul di pasar-pasar film seperti itu, seseorang bukan saja makin dikenal, melainkan juga diketahui konsistensinya di dunia film. Sebab, setiap ada pasar film dan mereka bertemu, mereka kerap bertanya tentang proyek yang baru saja selesai digarap, sedang digarap, atau akan digarap. Dari sana, sering kali muncul ajakan kolaborasi.
Ebe membuktikan itu lewat film Autobiography (2022), hasil kolaborasi atau produksi bersama tujuh negara, yakni Singapura, Indonesia, Qatar, Polandia, Jerman, Filipina, dan Perancis.
Hal serupa dilakukan produser Talamedia Mandy Marahimin. Di Hong Kong Filmart, Mandy mengumumkan kerja sama dengan agen penjualan film berbasis di Dubai, Cercamon. Agen ini memperoleh hak tayang di seluruh dunia untuk film Crocodile Tears.
Film ini merupakan produksi bersama antara Talamedia dari Indonesia, Acrobates Films (Perancis), Giraffe Pictures (Singapura), Poetik Film, dan 2Pilots Filmproduction (Jerman). ”Rencana juga ada film yang mau dibuat pada pertengahan tahun,” ujar Mandy yang akan berkolaborasi dengan produser dari Perancis, Jerman, dan Singapura.
Dia menegaskan, film-filmnya tersebut antara lain hasil bertemu banyak orang di pasar film maupun laboratorium film di beberapa negara, seperti Thailand, Perancis, dan Italia.
Angin kolaborasi yang berembus kencang di Hong Kong Filmart menggairahkan para pembuat film untuk berlomba menawarkan kerja sama. Pihak Hong Kong melihat hal yang sama. Negara-negara di Asia sulit untuk bisa memenuhi kebutuhan pasar jika tidak saling berkolaborasi.
Semangat itu setidaknya diwakili oleh ungkapan Kepala Dewan Pengembangan Film Hong Kong Wilfred Wong saat berbicara dalam Asia Content Business Summit Annual Conference pada Hong Kong Filmart di Hong Kong Convention and Exhibition Centre, Selasa (12/3/2024).
Pihaknya membuka kesempatan kerja sama dengan negara-negara mana saja, terutama yang berada di kawasan Asia. Dia menjanjikan dana hibah sebesar 9 juta dollar Hong Kong untuk pembuatan film yang melibatkan sutradara atau penulis skenario pemenang penghargaan dari Hong Kong. Bisa juga melibatkan produser utama dari Hong Kong.
Baca juga: Lebaran, Cuan Mengalir Deras ke Kantong "Rangers"
Jalan kolaborasi ini ditempuh Pemerintah Hong Kong karena mereka sadar tak mungkin sendirian memenuhi kebutuhan pasar yang demikian besar. Makanya, mereka menggeser paradigma dari made in Hong Kong menjadi made by Hong Kong. ”Hong Kong bisa ikut berpartisipasi atau bahkan ikut membiayai, tetapi (film) bisa dibuat di mana saja di penjuru dunia,” katanya.
Negara-negara lain menyambut antusias angin kolaborasi ini dengan menjanjikan potongan harga. Thailand menyediakan potongan harga produksi 10-20 persen, Malaysia dan Uni emirat Arab 30 persen, sementara Indonesia menjanjikan skema matching fund atau dana paruhan.
”Artinya, jika negara lain yang mau berkolaborasi menyediakan dana 10 juta dollar Amerika, kami menyiapkan dana sebesar itu juga,” kata Alex Sihar, staf khusus dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek.