Mempertanyakan Kebiasaan Dokter Meresepkan Antibiotik
Memperbaiki kesadaran dokter ternyata justru yang sangat sulit.
Kegandrungan dokter meresepkan antibiotik untuk berbagai penyakit noninfeksi bakteri menimbulkan pertanyaan besar. Apakah dokter, yang dipandang awam merupakan orang-orang pintar, masih juga kurang pengetahuan?
Selama puluhan tahun, harian Kompas sendiri telah banyak menulis tentang pentingnya penggunaan antibiotik yang rasional. Berdasarkan arsip 25 tahun terakhir, Kompas telah menerbitkan 108 artikel tentang isu antibiotik.
Di balik fenomena kegemaran dokter meresepkan antibiotik untuk penyakit infeksi nonbakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dari wawancara dengan berbagai narasumber terkait, dapat disimpulkan beberapa faktor yang melatarbelakangi fenomena itu. Mulai dari kurangnya pengetahuan dokter dan keterampilan klinis dalam menegakkan diagnosis, kurikulum pendidikan kedokteran yang kurang memadai soal isu resistensi antimikroba, kebiasaan keliru dalam peresepan yang dinormalisasi, hingga bias independensi dokter dalam berelasi dengan perusahaan farmasi.
Soal relasi dokter dengan industri farmasi, potret sederhana bisa dilihat di berbagai rumah sakit. Sampai saat ini, medical representative atau biasa disebut ”medrep” lazim terlihat di berbagai rumah sakit untuk menemui para dokter. Beberapa rumah sakit ada yang lebih menertibkan pergerakan medrep dengan memberi waktu khusus dan terbatas.
Suatu siang di pertengahan Januari lalu, misalnya, di sebuah rumah sakit papan atas di Jakarta Selatan, beberapa medrep tampak kucing-kucingan berusaha menemui dokter dengan cara mencegat. Petugas satpam yang mengendus kemudian menegur dan menghalau beberapa medrep yang sedang berdiri di depan lift. Salah seorang medrep perempuan lalu sigap beringsut sembunyi di balik punggung seorang pengunjung rumah sakit.
”Nyaru (menyamar) pura-pura jadi pasien,” bisik medrep itu sambil tersenyum tipis.
Nyaru (menyamar) pura-pura jadi pasien.
Ia mengaku menemui dokter untuk sekadar mengingatkan tentang peresepan agar menggunakan obat dari perusahaannya. ”Mengingatkan dokternya untuk peresepan aja, sih,” kata sang medrep.
Ditanya apakah ia juga menawarkan iming-iming hadiah atau komisi kepada dokter, sang medrep mengelak sembari tersenyum. Ia mengaku bertugas mempromosikan obat pantoprazole, yakni obat golongan proton pump inhibitor yang digunakan untuk meredakan gejala asam lambung seperti mag dan gejala refluks asam lambung.
Dokter yang ia dekati untuk mempromosikan obat tersebut mulai dari dokter umum, penyakit dalam, hingga spesialis paru. Obat lambung demikian, biasanya juga diresepkan dokter ketika memberi antibiotik yang bisa menimbulkan efek samping gangguan pada lambung.
Salah penggunaan
Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan periode 2014-2021 Hari Paraton menegaskan, dokter yang meresepkan antibiotik untuk berbagai penyakit noninfeksi bakteri adalah tindakan salah. Menurut dia, tak dapat diperhalus dengan menyebut peresepan yang tidak tepat.
”Bukan tidak tepat, tetapi memang tidak ada indikasinya. Kalau tidak tepat itu misalnya dalam memilih jenis (antibiotik), memilih dosisnya. Kalau ini (antibiotik untuk penyakit noninfeksi bakteri) memang salah. Penggunaan yang salah. Jadi mestinya orangnya itu (pasien yang diberi obat) tidak minum antibiotik,” tegas Hari.
Meskipun pengetahuan bahwa antibiotik hanya digunakan untuk membunuh bakteri tampaknya merupakan pengetahuan dasar, dalam praktiknya di kalangan dokter masih banyak yang salah kaprah.
”Batuk pilek dikasih antibiotik, Covid juga, kok, dikasih antibiotik, demam berdarah dikasih antibiotik. Itu salah. Jadi, (fenomena) ini bukan penyalahgunaan, tetapi penggunaan yang memang salah,” tegas Hari.
Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan buku panduan antibiotik yang bahkan cukup bisa dipahami publik. Panduan tersebut bisa diunduh di internet, berjudul Buku Antibiotik WHO AWaRe.
Panduan itu memuat berbagai penyakit yang lazim, mulai dari infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), bronkitis, infeksi telinga, sakit radang tenggorokan atau faringitis, hingga sinusitis. Dalam panduan itu disebutkan pula, umumnya penyakit seperti batuk-pilek dan sakit/radang tenggorokan lebih dari 80 persen disebabkan oleh virus, bukan bakteri, sehingga tidak membutuhkan antibiotik.
Dokter sulit diubah
Anggota KPRA, dr Purnamawati S Pujiarto, yang juga dokter spesialis anak bercerita, sejak 2003 ia mulai kerap menyuarakan soal ancaman bakteri-kebal atau resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR). Bakteri menjadi kebal resisten akibat dari penggunaan antibiotik yang tidak rasional atau serampangan.
Ia kemudian membentuk komunitas Milis Sehat yang diikuti ribuan orangtua yang peduli dengan kesehatan dan masalah obat serta dokter-dokter yang peduli pada isu yang sama. Komunitas ini kemudian menjadi Yayasan Orang Tua Peduli (YOP) yang masih aktif berkampanye hingga kini.
Purnamawati mengaku, gerakan itu ia gulirkan berangkat dari kesadaran bahwa sangat susah mengubah kebiasaan keliru para dokter agar menjunjung prinsip penggunaan obat yang rasional (rational use of medicine/RUM). Oleh karena itu, ia tergerak mengadvokasi publik yang merupakan konsumen kesehatan agar menjadi lebih kritis menghadapi dokter.
”Sudah sangat sulit mengubah dokter, jadi kami berupaya mengubah kesadaran pasarnya,” kata Purnamawati.
Sudah sangat sulit mengubah dokter, jadi kami berupaya mengubah kesadaran pasarnya.
Mengapa sulit menyadarkan dokter, persoalannya pelik. Purnamawati menyorot soal kemampuan atau keterampilan klinis para dokter dalam menegakkan diagnosis. Menurut dia, jika kemampuan tersebut mumpuni, seorang dokter mampu menganalisis perbedaan penyakit, mana yang diakibatkan oleh infeksi virus, mana yang akibat bakteri. Pemeriksaan lebih lanjut, yaitu tes uji laboratorium, baru diperlukan untuk menguatkan diagnosis.
Adapun soal kompetensi dokter itu, dari arsip lama Kompas tercatat artikel yang memuat jaminan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bahwa dokter Indonesia sudah kompeten meresepkan antibiotik. Berita berjudul ”IDI Jamin Kompetensi Dokter Umum” diterbitkan Kompas pada Selasa, 15 November 2011.
Sementara Hari menengarai, dokter kerap tidak percaya diri dalam mendeteksi penyakit pasien. Pemberian antibiotik bahkan kadang dimaksudkan untuk pencegahan agar pasien tidak terkena infeksi lebih lanjut. Hal itu, menurut dia, cara yang salah. Kesesatan lainnya, antibiotik juga kerap dianggap bisa membuat seorang yang sakit menjadi lebih cepat sembuh.
Alasan dokter bahwa pasien kerap mendesak diberi antibiotik tidak bisa diterima begitu saja mengingat profesionalitas tidak boleh dikorbankan hanya karena alasan desakan pasien.
”Antibiotik tidak boleh digunakan untuk mencegah, pencegahan, tidak boleh,” tegas Hari.
Antibiotik tidak boleh digunakan untuk mencegah, pencegahan.
Hari menjelaskan, pemberian antibiotik ditujukan untuk dua hal, yakni terapi (pengobatan) dan profilaksis. Antibiotik untuk profilaksis diberikan hanya kepada pasien yang menjalani operasi atau bedah mengingat pelukaan yang terjadi saat bedah memungkinkan masuknya bakteri yang beredar di ruang operasi. Bahkan, dengan tata kelola higienis yang baik, pada praktiknya di luar negeri sebagian jenis operasi tidak memerlukan antibiotik.
Hari menilai, pendidikan kedokteran yang dahulu memakan waktu lama, sejak diperpendek, banyak materi kurikulum yang dipangkas. ”Penggunaan antibiotik itu termasuk (kurikulum) yang dipangkas, berkaitan dengan munculnya bakteri resisten, sehingga para dokter itu tidak cukup cermat untuk menggunakan antibiotik,” kata Hari.
Seorang dokter anak yang juga amat peduli dengan isu ancaman AMR juga membenarkan, peresepan antibiotik serampangan oleh dokter masih juga terjadi karena rendahnya keterampilan klinis dari dokter dalam menegakkan diagnosis. Faktor lainnya, juga karena kebiasaan peresepan antibiotik yang salah dan ditiru dari para senior, tetapi dianggap kebenaran, serta akibat dari bias relasi tak independen antara dokter dan perusahaan farmasi.
”Makanya, kalau pemerintah berambisi memperbanyak jumlah dokter di Indonesia, tetapi kualitasnya tidak diperbaiki, ya percuma. Banyak dokter, tetapi kualitasnya masih begini. Malah berbahaya dari segi patient safety (keselamatan pasien)," ujar dokter tersebut.
Rahasia umum
Tentang hubungan dokter dan perusahaan farmasi selama ini sudah menjadi rahasia umum dan kerap dibongkar dalam berbagai laporan jurnalistik berbagai media. Seorang medrep senior yang berbagi cerita dengan Kompas mengungkapkan, saat ini sebenarnya relasi gelap dokter-perusahaan farmasi tidak separah di masa lalu.
Dari arsip lama Kompas, misalnya, pernah terbit artikel berjudul ”Industrio-Medical Complex Makin Kompleks”, Rabu 22 November 2000. Artikel itu mengungkap praktik buruk akibat relasi tak sehat antara perusahaan farmasi dan dokter, yakni pemberian gratifikasi yang memengaruhi peresepan obat, termasuk antibiotik.
Isu tersebut sebenarnya juga menjadi fenomena di berbagai negara. Sebuah artikel lama berjudul "Doctors and Drug Companies" yang dimuat dalam jurnal The New England Journal of Medicine mengungkapkan penelitian terkait sejauh apa bias di kalangan dokter akibat dari relasinya dengan perusahaan farmasi di Amerika Serikat. Relasi yang disorot termasuk pemberian berbagai hadiah kecil ataupun besar, termasuk sokongan atau sponsorship untuk kepentingan pendidikan bagi dokter. Tak hanya kepada dokter langsung, tetapi juga kepada organisasi yang membawahkan para dokter yang disponsori perusahaan farmasi untuk berbagai acara.
Di Indonesia, celah yang masih terpelihara saat ini, menurut medrep itu, adalah dibolehkannya perusahaan farmasi mensponsori para dokter untuk mengikuti seminar atau simposium kesehatan. Dokter perlu secara reguler mengikuti kegiatan tersebut dalam rangka mengumpulkan ratusan poin SKP (satuan kredit profesi) untuk memenuhi syarat kompetensi dalam rangka memperpanjang surat izin praktik.
”Bekerja di Indonesia itu yang dibutuhkan sertifikat, bukan otak dan integritas,” seloroh dokter anak tadi sedikit sarkastis.
”Bekerja di Indonesia itu yang dibutuhkan sertifikat, bukan otak dan integritas, ” seloroh dokter anak tadi sedikit sarkastis.
Seminar-seminar kesehatan berbayar yang cukup mahal, di hotel mewah, kerap disponsori oleh perusahaan farmasi. ”Semua biaya akomodasi dokter tersebut, tak jarang keluarganya ikut, juga ditanggung oleh perusahaan farmasi,” kata medrep tersebut.
Dokter anak tadi juga membenarkan adanya fenomena itu. Ia selama ini mengaku membiayai sendiri semua seminar atau simposium kesehatan yang berbayar. Untuk menekan biaya, ketika seminar digelar di luar kota, ia akan memilih menginap di hotel yang murah.
”Saya sampai dianggap aneh sendiri oleh teman-teman (sejawat), karena di antara dokter-dokter, yang kayak gitu (tidak disponsori farmasi) itu enggak lazim,” kata si dokter anak.
Cerita si dokter anak tersebut menggambarkan, dokter-dokter yang berusaha lurus, taat asas dan prinsip, serta berintegritas dalam menjalankan profesinya di Indonesia saat ini seolah-olah justru menjadi minoritas.
Baca juga: Obat Rasional, Kuncinya Dokter
***
Tulisan 4 dari 10