Pembalakan Hutan dan Kerusakan Lingkungan Picu Amuk Alam di Sulawesi Selatan
Petaka beruntun di Sulsel adalah akumulasi pembalakan hutan dan kerusakan daerah aliran sungai yang telah lama terjadi.
Banjir dan Longsor yang terjadi beruntun di Sulawesi Selatan bukan hanya karena hujan lebat. Kerusakan hutan akibat pembalakan liar dan kerusakan lingkungan di daerah tangkapan air memicu bencana hidrometeorologi yang memukul warga. Kebijakan tepat dalam mengatasi persoalan lingkungan di Sulsel mendesak dilakukan sebelum lebih banyak lagi jatuh korban.
Dalam kekalutan, Risno dan 26 kerabatnya turun gunung meninggalkan Desa Buntu Serek, Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, Selasa (7/5/2024) lalu. Berjalan kaki hingga lebih enam jam melewati gunungan longsor dan menyeberangi sungai, mereka tiba di Posko Bencana Banjir di Belopa, ibu kota Luwu.
Aksi nekat ini bukan tanpa sebab. Kondisi permukiman dan rumah mereka di lereng Gunung Latimojong terus diintai longsor. Tak hanya bekas longsoran lama yang bertambah parah, longsoran baru pun bermunculan.
”Makanan masih ada walau sudah menipis. Bantuan juga mulai masuk. Tapi yang bikin kami turun adalah rasa khawatir dengan kondisi di kampung dan rumah yang rasanya tidak layak lagi. Kami terus dihantui longsor,” katanya.
Kekhawatiran sama dialami Hj Netti (53), warga Desa Ulusalu, saat dihubungi via telepon, Senin (6/5/2024) sore. Hujan yang terus turun dan retakan di dinding tebing sekitar desa membuat dia tak tenang.
Baca juga: Latimojong Dikepung Longsor, Distribusi via Udara Terhadang Cuaca Buruk
”Terus terang kami semua khawatir. Sudah banyak longsoran baru. Yang longsoran lama makin parah karena tanah dan batu terus jauh. Sekitar 100 meter dari rumah saya, banyak patahan di tebing-tebing. Kami tidak tahu mau ke mana. Kami berharap bisa dievakuasi ke luar,” katanya.
Amuk alam yang terjadi di sembilan kabupaten di Sulsel sejak pertengahan April hingga awa Mei lalu menjadi petaka bagi warga. Selama kurun waktu tak sampai sebulan, 36 warga tewas akibat longsor dan banjir bandang.
Hingga Jumat (10/5/2024), sejumlah desa di Luwu masih terisolasi akibat jalan dan jembatan putus serta luapan sungai. Tak hanya putus dari Belopa, ibu kota Luwu, tetapi juga terputus dengan desa sekitar. Jembatan darurat belum juga selesai dibangun. Helikopter milik TNI AU, TNI AD, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Polda Sulsel, bolak-balik membawa bantuan maupun mengevakuasi warga.
Memang di sebagian wilayah situasi berangsur kondusif. Sebagian warga mulai kembali membersihkan rumah dari lumpur dan berbagai material. Namun, cuaca yang tak menentu tetap saja membuat mereka tak tenang.
Petaka beruntun
Rangkaian bencana di Sulsel dimulai saat longsor terjadi di Makale dan Makale Selatan, Tana Toraja, pada Sabtu (14/4/2024). Sedikitnya 20 warga tewas tertimbun longsor. Belum usai Tana Toraja, banjir menerjang Luwu Utara.
Baca juga: Banjir dan Longsor Terjang Sejumlah Kabupaten di Sulsel
Peristiwa berikutnya adalah longsor di Toraja Utara pada Jumat (26/4/2014) yang menewaskan tiga warga. Keesokan harinya, Sabtu (27/5/2024), banjir bandang dan longsor menerjang Enrekang. Sejumlah titik jalan ambles. Rumah-runah warga dipenuhi lumpur.
Belum lagi sisa bencana ini dibenahi, Enrekang kembali diterjang longsor pada Jumat (3/5/2024). Bencana ini bersamaan dengan banjir bandang dan juga longsor di Luwu, Sidrap, Wajo, Pinrang, dan Sinjai. Di Luwu yang cukup parah, 13 warga tewas tertimbun longsor dan terseret luapan air.
Petaka ini membawa duka bagi warga. Selain korban jiwa, ratusan rumah rusak tertimbun maupun terseret arus. Ribuan sawah rusak dan terendam. Jembatan dan jalan putus di banyak lokasi. Di Wajo, banjir berdampak pada 12.000 jiwa. Sementara itu, di Kecamatan Latimojong lebih dari 6.000 warga terisolasi.
Pembalakan hutan
Kepala Pusat Studi Lingkungan Universitas Hasanuddin, Ilham Alimuddin, mengatakan, bencana ini adalah akumulasi dari pembalakan hutan yang terjadi cukup lama. Pembukaan hutan ini cukup signifikan membuat tutupan lahan kian berkurang. Selain itu, bencana juga menyebabkan kerusakan di daerah aliran sungai.
Baca juga: Banjir Luwu, Kini dan Dulu
”Dulu daerah Luwu, Enrekang, Toraja, dan lainnya masih banyak hutan. Sekarang banyak dibuka untuk kebun dan permukiman. Di Luwu juga ada tambang emas. Semua faktor ini saling terkait dan ikut andil membuat daya tahan lingkungan berkurang. Hujan hanya pemicu. Walau deras, jika masih ada tutupan, tak akan separah ini,” katanya.
Daerah-daerah rawan banjir ini dilintasi sungai besar ataupun kecil. Sebagai gambaran, di Luwu Utara ada Sungai Rongkong dan Sungai Masamba. Ada pula Sungai Sa’dan yang melintasi Toraja, Enrekang, hingga ke Pinrang. Di Luwu ada sejumlah sungai, seperti Sungai Kaili, Sungai Suli, dan beberapa sungai lainnya.
Di Sidrap dan Wajo yang berbatasan dengan Danau Tempe, banjir menjadi peristiwa rutin saat danau tektonik ini meluap. Danau ini mendapat air dari aliran Sungai Bila dan Sungai Walanae yang juga melintasi Sidrap dan Wajo, serta puluhan sungai kecil. Danau ini juga menjadi hulu bagi Sungai Cenrana sebelum alirannya berakhir di Teluk Bone.
Pada dataran tinggi, struktur tanah batuan terbentuk dari batuan beku atau granit dan sedimen. Dalam jangka waktu tertentu, terjadi pelapukan yang kian tebal dan membuat tanah jadi labil dan akhirnya longsor seiring terpaan hujan yang terus-menerus.
Baca juga: Hutan di Sulawesi Selatan Kian Kritis
”Saya belum menghitung data pasti seberapa besar pembukaan lahan ini. Dari citra satelit tampak benar bahwa bukaannya cukup signifikan,” katanya.
Banjir besar di Luwu sebenarnya bukan baru kali ini. Pada 2007 dan 2014 pernah juga terjadi. Pada 2007, korban jiwa mencapai 13 orang.
Dalam data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas hutan di Sulawesi Selatan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.362/Menlhk/Setjen/Pla.0/5/2019 adalah 1.993.902 hektar.
Ini terdiri atas hutan lindung seluas 1.119.410 hektar, hutan produksi terbatas 468.280 hektar, hutan produksi 135.575 hektar, hutan produksi konversi 14.844 hektar, dan hutan suaka alam/wisata seluas 255.793 hektar.
Apabila dibandingkan data BPS Sulsel tahun 2015, jumlah ini jauh berkurang. Tahun 2015, BPS Sulsel mencatat total luas hutan di wilayah ini mencapai 2.527.753 hektar. Luasan ini, di antaranya, meliputi hutan lindung 1 213 864.99 hektar. Adapun hutan produksi seluas 128 459.84 hektar. Selebihnya adalah hutan konservasi, hutan wisata, dan taman laut.
Banjir besar di Luwu sebenarnya bukan baru kali ini. Pada 2007 dan 2014 pernah juga terjadi banjir. Pada 2007, korban jiwa mencapai 13 orang. Walau demikian, belum ada upaya pengendalian maupun penataan kawasan yang bersifat mitigasi. Akademisi kerap memberi masukan dan rekomendasi terkait pengaturan tata tuang dan pengendalian.
”Tapi memang belum banyak yang dijalankan. Karena itu, kami sangat berharap ke depan, masukan-masukan dan rekomendasi yang ada menjadi pijakan pemerintah dalam mengendalikan kerusakan lingkungan. Tata ruang juga harus dilihat kembali mana yang rawan dan mana yang sama sekali tak bisa lagi dihuni,” kata Ilham.
Dia mengakui mustahil merelokasi semua warga, terlebih dengan tuntutan ekonomi dan lahan permukiman yang kian terbatas. Karena itu, dia berharap edukasi dan mitigasi pada warga juga ditingkatkan, misalnya mengenali kondisi dan gejala alam di sekitar.
Baca juga: Hutan Adat Didorong Minimalkan Masalah Lingkungan di Sulawesi Selatan
”Bagaimana mengedukasi warga untuk bersikap saat bencana. Misalnya bertahan atau menolong diri dan orang lain, bukan sekadar berharap bantuan. Saya juga mengkritisi manajemen pengelolaan bencana ini. Ada banyak bantuan, tetapi distribusinya tidak merata dan lambat,” katanya.