Keberlanjutan Monarki di Era Demokrasi
Keberlanjutan monarki otentik di DIY tak menghilangkan demokrasi. Ditunggu peran monarki DIY untuk kepentingan nasional.
Di tengah gonjang-ganjing pascapemilu saat ini, yang membuat sebagian orang pesimistis dengan keberlanjutan demokrasi kita, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) justru antusias dengan keberlanjutan monarkinya. Pemerintah dan DPRD setempat baru saja menetapkan tanggal 13 Maret sebagai Hari Jadi DIY, yang mengacu pada tanggal diproklamasikannya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sultan Hamengku Buwono I pada 13 Maret 1755.
Penetapan tanggal tersebut bermakna bahwa Keistimewaan DIY sudah eksis sejak berdirinya kerajaan tersebut. Hal itu diperkuat fakta sejarah bahwa selama masa kolonialisme, Belanda mengakui Kasultanan Yogyakarta sebagai daerah istimewa (speciaal gebied). Selama menduduki Indonesia, Jepang pun mengakui eksistensi Nagari Yogyakarta sebagai sebuah daerah kerajaan tersendiri (koti).
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY (UUK) meneguhkan keberlanjutan monarki di era demokrasi di DIY. Sultan dan adipati yang bertakhta otomatis menjadi gubernur dan wakil gubernur. Proses alot dan panjang yang melibatkan perjuangan rakyat hingga pengesahan UUK itu menunjukkan bahwa rakyat Yogyakarta menghendaki keberlanjutan monarki di era demokrasi.
Baca juga: Sejarah Peraturan Keistimewaan Yogyakarta
Kepentingan lokal
Untuk konteks DIY, keberlanjutan monarki dalam sistem demokrasi menyejarah dan konstitusional. Setelah bergabung dengan RI, Presiden Soekarno memberikan ”Piagam Kedudukan” (19 Agustus 1945) yang intinya mendukung keberlajutan kepemimpinan monarkis di Yogyakarta.
Sultan HB IX dan Paku Alam VIII kemudian menegaskan kepemimpinan mereka berdua di DIY dalam Amanat 5 September 1945 yang menjadi embrio status hukum Keistimewaan DIY (Sujamto, 1988). Penguatan konstitusional terhadap keberlanjutan monarki Yogyakarta kemudian terjadi melalui UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY yang puluhan tahun kemudian di-update dan di-upgrade dalam UUK Tahun 2012.
Kehendak rakyat DIY tentang keberlanjutan monarki di era demokrasi telah teruji dan sudah dianggap final. Setelah Reformasi 1998, rakyat menggelar pengukuhan Sultan dan Paku Alam yang bertakhta sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, serta menginginkan mekanisme itu menjadi basis Keistimewaan DIY.
Konsep seperti itulah yang terus diperjuangkan sampai akhirnya UUK 2012 disahkan. Perjuangan rakyat saat itu sangat berat karena pemerintah pusat (nasional) tidak langsung setuju oleh sebab konsep itu dianggap bertentangan dengan demokrasi.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono X mengukuhkan para lurah di Kabupaten Kulon Progo, sebagai pemangku keistimewaan, Senin (27/1/2020), di kompleks Kantor Gubernur DIY, Kota Yogyakarta.
Kini setelah 12 tahun UUK diimplementasikan (2012-2024), keberlanjutan monarki di era demokrasi di DIY diperkuat lagi dengan penetapan Hari Jadi DIY. Penetapan itu terjadi melalui pergulatan panjang. Raperda Hari Jadi DIY belum selesai dibahas di DPRD periode 2014-2019. Baru pada periode 2019-2024 ini berhasil disahkan menjadi Perda DIY Nomor 2 Tahun 2024.
Masyarakat DIY sudah mantab dengan pilihannya itu dan bahkan menjadi sensitif manakala Keistimewaan DIY diusik. Sebagai contoh, begitu akademisi Ade Armando menyindir monarki Yogyakarta dengan menyamakannya dengan praktik “politik dinasti”, elemen-elemen masyarakat DIY langsung bangkit melawannya.
Masyarakat yang juga semakin terdidik bisa membedakan antara keberlanjutan monarki yang otentik di DIY dan gejala ”ke-monarki-monarki-an” yang terjadi di kancah perpolitikan dan praktik demokrasi saat ini.
Kini setelah 12 tahun UUK diimplementasikan (2012-2024), keberlanjutan monarki di era demokrasi di DIY diperkuat lagi dengan penetapan Hari Jadi DIY.
Pertanyaan adalah sampai kapan masyarakat DIY menerima, mendukung, merasa mantab, dan bahkan bangga dengan keberlanjutan monarki di era demokrasi? Kata kuncinya adalah manfaat atau kebermanfaatan (migunani).
Dalam hal inilah UUK Tahun 2012 menekankan kebermanfaatan bagi kepentingan masyarakat. Pasal 5 UUK menyatakan bahwa tujuan pengaturan Keistimewaan DIY (yang bercirikan keberlanjutan moinarki di era demokrasi) adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketenteraman rakyat.
Pasal tersebut menekankan keberpihakan kepada kepentingan rakyat. Hal itu sejalan dengan konsep monarki Yogyakarta sejak dahulu, bahwa raja harus mewujudkan kehidupan rakyat yang makmur, sejahtera, aman, dan tenteram (gemah ripah loh jinawi tata titi tentrem kerta raharja).
Sultan HB IX (1912-1988) menegaskan keberpihakan kepada rakyat itu dalam konsep kepemimpinan ”takhta untuk rakyat”. Ketika naik takhta pada 1989, Sultan HB X kemudian melanjutkan visi kepemimpinan ayahnya itu dengan konsep ”takhta untuk kesejahteraan rakyat”.
Baca juga: Tanggapi Ade Armando, Sultan HB X: Keistimewaan DIY Diakui Undang-Undang
Bagi orang Yogya (DIY), konsep kesejahteraan dan ketenteraman itu holistik komprehensif, tidak semata-mata urusan ekonomi. Itulah sebabnya meskipun menurut Badan Pusat Statistik (BPS) DIY merupakan provinsi termiskin di Pulau Jawa, tetapi Indeks Kebahagiaan DIY tinggi dengan skor 71,70 pada tahun 2021.
Sentuhan kememimpinan monarki menumbuhkan kesejahteraan psiko-spiritual (adhem ayem) dan kehidupan yang guyub meski secara ekonomi belum makmur, tetap giat berkumpul meski tidak makan kenyang (mangan ora mangan kumpul).
Namun, keberlanjutan monarki di era demokrasi modern di Yogyakarta harus serba terukur manfaatnya. Rakyat kecil jangan malah dikondisikan bersikap menerima (narima), mengalah (ngalah), sungkan (ewuh-pakewuh), dan menjalani hidup asal jalan (alon-alon waton kelakon). Fakta DIY termiskin di seantero Jawa semestinya menjadi cambuk agar Keistimewaan DIY benar-benar bermanfaat (migunani) bagi kepentingan rakyat setempat.
Simbol keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Keraton Ngayogyakarta, Senin (28/5/2018).
Kepentingan nasional
Sejarah telah mencatat bahwa keberlanjutan monarki di era demokrasi di DIY bermanfaat (migunani) bagi kepentingan nasional. Tak lama setelah RI lahir, DIY menjadi ”inkubator” yang menyelamatkan ”bayi RI” dari masa kritis. Pengakuan kedaulatan diperoleh setelah Yogyakarta pasang badan sebagai Ibu Kota RI (1946-1949). Slamet Sutrisno (2008) mengibaratkan Yogya sebagai ”ibu pengasuh bayi RI”.
Menurut Sudomo Sunaryo dalam buku ”Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya” (2010), setelah RI beranjak menjadi remaja yang mulai bisa berjalan lincah, hampir saja mendurhakai ibunya. Saat proses penggodokan RUU tentang pemerintahan daerah pada 1974, Keistimewaan DIY hampir saja dihapus dengan alasan Rezim Orde Baru hendak menyeragamkan pemerintah-pemerintah daerah.
Di kemudian hari, sang ibu memainkan peran penting untuk ikut menggulirkan Gerakan Reformasi Nasional 1998. Pada 20 Mei 1998 sejuta warga Yogya melakukan people power yang dikenal sebagai ”Pisowanan Ageng”. Rakyat bersama Sultan HB X dan Paku Alam VIII kala itu menyatakan sikap tegas melawan rezim dan mendukung penuh reformasi. Sehari sesudahnya, penguasa pun lengser.
Perilaku politik ”ke-monarki-monarki-an ” di era demokrasi sejatinya menista kewibawaan monarki otentik yang bukan hanya menyejarah di DIY, tetapi di seluruh Nusantara.
Hari-hari ini, sang anak yang sudah semakin berumur ternyata jiwanya mengalami semacam gangguan ”disorientasi”. Kesadarannya akan waktu dan tempat terganggu sehingga tak tahu identitas dirinya sendiri dan orang kain.
Waktu sekarang yang seharusnya RI memakai sistem demokrasi malah mencampuradukkannya dengan tindakan dan perilaku ”ke-monarki-monarki-an” dengan praktik-praktik seperti politik dinasti, nepotisme akut, relasi patron-klien yang hegemonik, dan sebagainya. Untuk ukuran demokrasi dalam konteks waktu dan tempat sekarang ini, tindakan dan perilaku seperti itu jelas melanggar etika, moral, dan juga konstitusi.
Perilaku politik ”ke-monarki-monarki-an” di era demokrasi sejatinya menista kewibawaan monarki otentik yang bukan hanya menyejarah di DIY, tetapi di seluruh Nusantara. Majapahit, Sriwijaya, Mataram, dan lain-lain adalah monarki-monarki otentik yang sudah terbukti berjaya selama ratusan tahun, dibanding RI yang belum genap seabad usianya.
Baca juga: Yogyakarta, Daerah Istimewa dengan Peran yang Juga Istimewa
Keberlanjutan monarki otentik di DIY terbukti tidak menghilangkan demokrasi. Malahan pada 2022, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), DIY meraih skor tertinggi (85,62 poin) dalam Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). Sementara itu praktik ”ke-monarki-monarki-an” itu jelas mencederai demokrasi.
Sekarang kembali ditunggu peran sang ibu untuk meluruskan kembali jalan anaknya yang terseok. Sampai hari ini, sudah menjadi tradisi jika para pemimpin dan kandidat pemimpin di negeri ini sowan ke Kraron Yogyakarta untuk memohon doa restu. Hal itu pun sejatinya merupakan rekognisi terhadap keberlanjutan monarki otentik di era demokrasi modern.
Hal itu harus dimanfaatkan sebagai peluang bagi monarki otentik untuk memberi kritik, masukan, saran, dan teguran bagi para pemimpin (penguasa) demokrasi modern. Dengan demikian, keberlanjutan monarki di era demokrasi di DIY bermanfaat bagi kepentingan nasional.
Haryadi Baskoro, Forum Ketahanan dan Pembangunan Nasional; Antropolog-Teolog