Fokus Kelautan 2045
Hanya dengan memilih fokus pembangunan kelautan, kita bisa menjadi negara maju pada 2045.
”Berharap hujan dari langit, air tempayan ditumpahkan”. Peribahasa ini tepat untuk mengingatkan kita agar lebih fokus dan segera memanfaatkan keunggulan di laut guna mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Kementerian PPN/Bappenas dalam Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 memproyeksikan, untuk jadi negara maju, Indonesia harus mampu menebalkan pendapatan per kapita dari 4.919,7 dollar AS/tahun (sekitar Rp 75 juta) saat ini menjadi 30.300 dollar AS (sekitar Rp 453 juta) pada 2045.
Jumlah lapangan pekerjaan juga harus terus ditambah. Laporan BPS mencatat angka pengangguran nasional masih 7,86 juta jiwa. Di luar itu, setiap tahun ada sekitar 3 juta angkatan kerja usia produktif baru siap masuk ke pasar kerja. Persoalannya, rasio penyediaan lapangan kerja sebagai akibat dari masuknya investasi justru sedang menyusut.
Baca juga: Keberpihakan Sektor Maritim Perlu Dibangkitkan
Pada 2013, setiap Rp 1 triliun investasi yang masuk mampu menyerap 4.594 pekerja. Pada 2023, per Rp 1 triliun hanya mampu menyerap 1.285 orang.
Bagaimana Indonesia dapat menurunkan angka pengangguran sekaligus meningkatkan pendapatan per kapita hingga enam kali lipat (hanya) dalam waktu 20 tahun ke depan? Pasti tak akan cukup jika hanya mengandalkan ketersediaan lapangan kerja saat ini (baca: di darat). Kita perlu memperbaiki ekosistem lapangan kerja di laut.
Bekerja di laut memiliki tantangan dengan kompleksitas tinggi dibandingkan dengan di darat. Menjadi nelayan, misalnya, meski risiko dan tuntutan keahliannya tinggi, standar pengupahan dan perlindungan jaminan sosialnya belum memadai.
Di Jawa Tengah, standar upah buruh pabrik (di darat) Rp 2,32 juta (BPS, 2023), sementara pendapatan nelayan hanya Rp 1 juta-Rp 2 juta per bulan. Dengan penghasilan serba minim dan tak pasti itu, sebagian besar keluarga nelayan justru belum dilengkapi jaminan perlindungan sosial.
Survei Bank Dunia dan S4YE di 18 negara (2023) menemukan fakta memprihatinkan lainnya. Penghasilan generasi muda yang berprofesi sebagai nelayan dan pembudidaya ikan jauh lebih rendah daripada orangtuanya: minus 18 persen dan minus 15 persen. Walhasil, hanya 19,20 persen anak muda Indonesia berprofesi di lingkup perikanan, pertanian, dan perkebunan (BPS, 2023). Sebagian besar lainnya bekerja di sektor jasa dan perdagangan.
Tantangan berikutnya, menyatukan ilmu dan teknologi ke dalam proses pengambilan kebijakan pembangunan kelautan. Mari lihat polemik kebijakan soal benih lobster 20 tahun terakhir. Pilihan kebijakannya baru sebatas urusan ekspor benih: dibuka atau ditutup. Sebagaimana pengaturan kapal ikan asing di perairan Indonesia, perdebatannya masih berkutat soal dibuka atau ditutup.
Sejatinya, ini bukan sekadar urusan ”buka-tutup”! Ada kepentingan lebih besar, yakni memastikan agar sumber daya laut yang begitu kaya dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ketidakkokohan sederet kebijakan di hulu telah menyandera proses desentralisasi industri dan hilirisasi produk kelautan nasional. Untuk komoditas unggulan seperti rumput laut, misalnya, hingga saat ini hanya 6 persen dari total ekspor kita dalam bentuk olahan. Selebihnya berupa bahan baku. Tak semua karena masalah teknologi, ada juga yang terkait kecakapan dalam mempersiapkan insentif kebijakan perdagangan agar memberi motivasi kepada pelaku usaha dalam negeri.
Fokus 2045
Presiden Joko Widodo, dengan Poros Maritim Dunia, telah berhasil menggeser diskursus soal kemaritiman dari ”pinggiran” menjadi percakapan utama di Tanah Air dan dunia. Hari ini Indonesia telah memiliki ocean policy: kebijakan kelautan Indonesia. Ini penting agar kita tak lupa kiprah dan khitah kita.
Pertama dan paling utama sebagai fondasi lima tahun ke depan adalah menyiapkan ekosistem lebih baik untuk bekerja di laut Indonesia.
Pekerjaan besar selanjutnya adalah bagaimana agar kelautan menjadi mesin ekonomi baru yang memberikan kepastian dan ketertarikan bagi generasi muda untuk berkarya di masa depan. Syaratnya, model pengelolaannya harus bergeser: dari eksploitatif menjadi berkelanjutan; dari bahan baku menjadi olahan; dari monoton menjadi inovasi; dari sentralisasi menjadi desentralisasi industri; dari sektor menjadi arus utama.
Pertama dan paling utama sebagai fondasi lima tahun ke depan adalah menyiapkan ekosistem lebih baik untuk bekerja di laut Indonesia. Mulai dari kompetensi, gaji, perlindungan sosial, model kemitraan, dan seterusnya. Menarik yang dilakukan Uni Eropa melalui inisiatif Network of Blue School untuk meningkatkan ekonomi maritimnya, yakni mempertemukan dunia pendidikan dengan industri guna menciptakan lapangan pekerjaan berkualitas di bidang STEM (science, technology, engineering, math).
Model serupa dapat digunakan untuk mempercepat pembangunan industri maritim skala menengah (medium industry) berbasis keunggulan di tiap-tiap kepulauan Indonesia.
Kedua, belajar dari keberhasilan Norwegia dengan salmon, Indonesia dapat menetapkan prioritas subsektor ekonomi biru dalam rentang hingga 2045. Laboratorium Indonesia 2045 bersama-sama dengan Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB dan SDGs Center Universitas Diponegoro (2022) telah memetakan sektor prioritas ekonomi biru dengan mempertimbangkan tiga faktor pemungkin (enabling factors): ketersediaan sumber daya, investasi, serta inovasi dan teknologi.
Hasilnya, hingga 2024, Indonesia disarankan cukup berfokus pada dua sektor saja: perikanan dan pariwisata bahari.
Selanjutnya, pada fase menengah 2024-2029, selain menjaga keberlanjutan kedua sektor tadi, juga harus mulai berinvestasi mempersiapkan sektor masa depan yang sedang berkembang, antara lain energi terbarukan, perkapalan, kepelabuhanan, logistik dan rantai dingin, hingga desalinasi air dan kimia berbasis laut. Puncaknya pada 2045 atau 100 tahun Indonesia merdeka, semua potensi ekonomi biru nasional sudah bisa digerakkan secara mapan, inklusif, dan berkelanjutan.
Ikhtiar kebangsaan ini hendaknya dilengkapi dengan penguatan kelembagaan kelautan nasional yang merefleksikan tiga kepentingan utama: optimalisasi dari subsektor ekonomi biru yang dalam jangka pendek bisa berkontribusi pada perekonomian nasional. Memobilisasi investasi untuk ”membangunkan” subsektor ekonomi biru yang masih ”tidur”. Lalu, bebas dari praktik koruptif.
Hanya dengan memilih fokus pembangunan kelautan, kita bisa menjadi negara maju 2045.
M Riza Damanik, Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia