Harapan pada Oposisi
Oposisi diperlukan bukan untuk memberi ancaman kepada penguasa, melainkan menjaga agar segalanya seimbang, terkontrol.
Kejatuhan negara-negara demokrasi (democratic breakdowns) pada kurun tahun 2000-2024 berlangsung lebih cepat dari yang diduga.
Observasi dan riset independen berturut-turut menghadirkan data, dengan Indonesia salah satu di antaranya, terus menguatnya tendensi otoritarianisme. Pemilu 2024 kita adalah satu dari pemilu di Asia Tenggara yang menyisakan persoalan besar dengan potensi ekses panjang.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sebelumnya, Filipina, Malaysia, dan Thailand dirundung ketidakstabilan politik akut setelah pemilu mereka pada 2022 dan 2023 yang ditandai pragmatisme buta para elite dalam membangun kompromi dan koalisi beracun dengan para rival lama. Hasilnya: pengorbanan sia-sia dan besar-besaran dalam menyelamatkan kepentingan antarelite, proteksi dari kasus hukum dan kontroversi, serta habisnya agenda-agenda reformis.
Baca juga: Paradoks Demokrasi Tanpa Oposisi
Salah satu fitur yang disorot dari komplikasi ini adalah melemahnya oposisi. Kekosongan peran mereka menyumbang lahirnya rezim nirkontrol yang ditandai oleh kehadiran minimal kelompok oposisi.
Namun, beberapa sarjana, seperti Laura Gamboa (2023), justru melihat sebuah harapan. Menguatnya tendensi otoritarianisme, kompromi jalan belakang, distorsi konstitusi, nepotisme dan politik dinasti, telah menciptakan bahan bakar yang cukup bagi kekuatan oposisi untuk melakukan pukulan balik.
Dua strategi
Publik sering kali ditipu oleh ilusi lama, yakni bukti sahih bahwa kita adalah negara yang demokratis lantaran terselenggaranya pemilu yang teratur.
Fakta pemilu reguler tidaklah keliru, tetapi uraian riset terbaru memperlihatkan bahwa pemimpin otokrat justru memanfaatkan dan dilahirkan ”secara sah” dari pemilu (Morgenbesser dan Pepinksi 2019; Schnaudt 2023). Di sinilah kemudian amatan harus digeser untuk melihat apakah pemilu yang berlangsung secara rutin juga mampu menghasilkan situasi politik yang demokratis, pemimpin berkualitas, dan terutama, oposisi yang kuat.
Dari begitu banyak laporan murung atas demokrasi di dunia, Gamboa melihat titik cerah yang memproyeksikan kehadiran segera kekuatan oposisi karena kemuakan terhadap tendensi otoritarianisme dan erosi demokrasi yang merugikan mereka. Dari ketekunan mencatat kasus-kasus oposisi politik di seluruh dunia, Gamboa menyimpulkan dua latar strategi.
Pertama, strategi ekstrainstitusional yang secara radikal bertujuan secara konfrontatif melawan rezim berkuasa lewat cara-cara mobilisasi protes jalanan, boikot panjang, mogok kerja, hingga yang paling ekstrem, kudeta. Contoh dari pilihan strategi ini terjadi di Venezuela pada 2002-2005.
Namun, sebagai strategi yang melelahkan, mahal, serta sering kali dilakukan secara sembrono dan gagal, strategi ini justru bisa memperkuat kedudukan rezim otokrat, memberi mereka kekuatan untuk melakukan represi besar-besaran, menambah korban jatuh, dan menghabisi kekuatan oposisi hingga ke akar.
Cara kedua, strategi intrainstitusional mencoba memperjuangkan situasi dengan target-target yang lebih moderat.
Kelompok oposisi berada dalam spektrum perjuangan jangka panjang yang diisi dengan negosiasi, diskusi dan kampanye publik, aktivitas kritis parlemen, serta pembentukan kesadaran bertahap pada level masyarakat. Strategi oposisi ini berjalan di Kolombia, di mana kelompok oposisi meraih simpati perlahan dari publik, memperluas aliansi nasional dan internasional, serta mencegah dan mengganggu agenda-agenda kontroversial negara yang bersifat antidemokratis.
Indonesia memerlukan aliansi luas yang bukan saja mampu menumbuhkan simpati bagi warga negara dalam negeri, melainkan juga kelompok kritis internasional.
Dukungan pada demokrasi
Masalah besarnya adalah kedua jalan yang menghadirkan keberhasilan cepat-risiko tinggi dan keberhasilan lama-risiko rendah sama-sama mensyaratkan dua hal yang masih perlu diperjuangkan. Pertama, dukungan dalam negeri yang solid atas demokrasi. Sikap suportif warga negara dalam membela institusi demokrasi dan kelompok kritis adalah hal yang memperpanjang napas oposisi.
Dukungan semacam ini sesungguhnya sudah dan sedang berlangsung di negeri kita, lewat bermacam-macam saluran, dari yang sangat kasual di medsos hingga formal di parlemen dan parpol. Meski beberapa survei memperlihatkan bahwa warga kita melihat situasi ekonomi jauh lebih penting ketimbang demokrasi, temuan sehari-hari di lapangan menunjukkan harapan atas bangkit dan sehatnya demokrasi kita.
Syarat kedua, dukungan internasional. Pelajaran dari kemunduran demokrasi di Hongaria memperlihatkan betapa penting dukungan komunitas internasional Uni Eropa yang lalu menyumbang tekanan bagi rezim otoriter di sana.
Indonesia memerlukan aliansi luas yang tidak hanya mampu menumbuhkan simpati bagi warga negara dalam negeri, tetapi juga kelompok kritis internasional. Dua tekanan dari dalam dan luar akan menjadi kombinasi yang seimbang untuk memberi hidup yang sehat bagi kelompok oposisi di luar pemerintah. Sebaliknya, sikap diam (national and international silence) adalah kegawatan. Sikap pasif yang mendiamkan cara-cara antidemokrasi adalah hal besar yang mempercepat kejatuhan demokrasi kita.
Penulis menambahkan syarat ketiga, yakni tumbuhnya kekuatan politik alternatif baru di parlemen. Alih-alih mengandalkan peta politik lama yang didominasi oleh profil-profil partai yang memiliki rekam jejak bermasalah, kelahiran partai-partai baru yang diinisiasi dari bawah, dengan kaderisasi yang rapi, serta platform politik yang terukur dan progresif, adalah sebuah kesegaran.
Inspirasi dari ini adalah Move Forward Party di Thailand, yang menggaungkan revisi dan amendemen konstitusi yang dimaksudkan untuk mengurangi kekuasaan otoritatif kerajaan. Misi sederhana, tetapi sangat fokus ini menarik simpati publik, membuat partai yang relatif baru dan didominasi oleh kelompok usia relatif muda ini memenangi pemilu 2023.
Meski hingga kini masih berjuang melawan rangkaian represi dan aksi antidemokrasi, partai ini menginspirasi banyak negara untuk lebih berani menawarkan alternatif lewat kekuatan formal parpol progresif.
Kita di Indonesia memiliki benih yang mampu saling melengkapi ketiga syarat itu. Bagaimanapun suara keras oposisi diperlukan bukan untuk memberikan ancaman kepada penguasa, melainkan menjaga agar segalanya seimbang, terkontrol, menjamin hak dan kewajiban rakyat, dan pada akhirnya melahirkan apa yang dicita-citakan dan diangkat dalam kampanye pemilu kita sepanjang 2023 dan 2024: sebuah keadaan yang riang dan gembira.
Rendy Pahrun Wadipalapa, Peneliti Politik, PhD dari School of Politics and International Studies, University of Leeds