Butuh orang-orang profesional yang punya rasa malu untuk menyelenggarakan pendidikan.
Oleh
A AGOES SOEDIAMHADI
·2 menit baca
Putu Satria Ananta Rustika (19) meninggal dianiaya seniornya di toilet Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran atau STIP, Cilincing, Jakarta Utara. Sebelumnya, pada 25 April 2014, Dimas Dikita Handoko (20), taruna STIP, juga tewas dengan sebab yang sama. Tiga tahun berselang penganiayaan yang berujung kematian menimpa enam taruna tingkat I di kompleks STIP (Kompas 6/5/2024).
Penyelesaian kasus tersebut tidak cukup hanya memberikan sanksi pidana terhadap penganiaya, tetapi juga semua pihak yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut. Para dosen, pembimbing akademik, perwira pembina taruna, dan terutama ketua STIP sebagai penanggung jawab utama perlu diusut seberapa jauh ikut andil dalam tragedi tersebut.
STIP merupakan sekolah kedinasan di bawah Kementerian Perhubungan sehingga model pendidikannya tidak selayaknya mengikuti pendidikan ala militer. Semua atribut, pola pengasuhan, dan tata ruang sekolahan seyogianya bisa membentuk jiwa pelayar, bukan pelaut militer. Penegakan disiplin tidak harus dengan kekerasan.
Selama ini, seperti pada satuan pendidikan yang lain, fungsi pembimbingan dari pembimbing akademik belum optimal. Tugas tersebut merupakan pekerjaan sampingan, mereka lebih sibuk dengan tugas pokoknya sebagai pengampu mata kuliah dan beban administrasi demi mengejar kenaikan pangkat.
Oleh sebab itu, Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 mendesak untuk dilaksanakan, antara lain membentuk satuan tugas yang berfungsi mencegah terjadinya kekerasan. Tugas tersebut jangan merupakan pekerjaan sampiran, tetapi merupakan tugas pokok.
Mengadakan forum sambung rasa antara siswa dan pamong sehingga komunikasi dan hubungan keduanya bisa sebagai anak asuh dan pamong, bukan sebagai atasan dan bawahan. Butuh orang-orang profesional yang punya rasa malu untuk menyelenggarakan pendidikan.