Jaga Demokrasi, PDI-P dan PKS Diharapkan Berada di Luar Pemerintahan
Kehadiran kekuatan politik di luar pemerintahan dibutuhkan untuk menjaga demokrasi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera diharapkan mengambil posisi di luar pemerintahan setelah Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dilantik sebagai presiden dan wakil presiden 2024-2029 pada Oktober nanti. Kekuatan di luar pemerintahan tetap penting agar demokrasi terjaga serta mekanisme checks and balances antara legislatif dan eksekutif tetap berjalan.
Tidak seperti partai-partai politik lain yang telah menyatakan mendukung, bahkan bergabung dalam barisan koalisi pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran, PDI-P dan PKS belum juga menentukan sikap politik. PKS, bahkan, menjadi satu-satunya partai politik pengusung pasangan Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar yang belum memutuskan apakah akan bergabung dengan pemerintah Prabowo-Gibran atau tetap berada di luar pemerintah.
Upaya partai pimpinan Ahmad Syaikhu itu untuk menjajaki kerja sama dengan Prabowo-Gibran belum mendapat sambutan positif. Prabowo tidak memenuhi undangan untuk hadir dalam acara hahalbihalal dan tasyakuran milad ke-22 PKS pada Sabtu (27/4/2024). Padahal, Sekretaris Jenderal PKS Aboebakar Al Habsy telah menyampaikan, PKS menggelar karpet merah untuk Prabowo.
Partai pengusung pasangan Anies-Muhaimin lain, yakni Partai Kebangkitan Bangsa, telah menyatakan dukungan kepada pemerintahan Prabowo-Gibran. Bahkan, Partai Nasdem telah memutuskan untuk bergabung di barisan partai-partai politik pendukung Prabowo-Gibran.
Sementara itu, dua partai pengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD, yakni PDI-P dan Partai Persatuan Pembangunan, belum menyatakan sikap secara tegas terkait posisi yang akan diambil dalam pemerintahan baru. PDI-P akan mengambil sikap, apakah bergabung dengan koalisi pendukung pemerintah atau di luar pemerintahan, pada rapat kerja nasional, Mei nanti.
Begitu pula PPP akan memutuskan posisinya dalam pemerintahan Prabowo-Gibran dalam musyawarah kerja nasional atau rapat pimpinan nasional. Saat ini, partai berlambang Kabah itu masih fokus menggugat hasil pemilihan legislatif ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan itu terkait dengan keputusan Komisi Pemilihan Umum yang menetapkan perolehan suara PPP sebesar 5,87 juta atau 3,87 persen suara sah nasional. Raihan suara partai pimpinan M Mardiono ini masih di bawah ambang batas parlemen 4 persen.
Melihat dinamika politik saat ini, pengajar Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (28/4/2024), mengatakan, lobi-lobi politik belakangan ini terjadi lantaran masih terbatasnya akumulasi kekuatan politik Prabowo-Gibran di parlemen. Situasi itu membuat politik akomodatif dibuka selebar-lebarnya.
Untuk menghadirkan lingkungan politik dan pemerintahan baru yang stabil dalam transisi kekuasaan, lanjut Umam, dibutuhkan setidaknya 60 persen kekuatan parlemen. Namun, jika melihat perolehan kursi partai-partai pengusung Prabowo-Gibran di parlemen, baru mencapai 48,3 persen.
”Dalam konteks ini, pendekatan Prabowo dengan Nasdem dan PKB setidaknya akan menggenapkan kekuatan politik pemerintahan Prabowo-Gibran menjadi sekitar 70 persen. Bahkan jika gugatan PHPU PPP dikabulkan MK, akumulasi koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran bisa semakin gemuk, yakni sekitar 74 persen,” tutur Umam.
Jumlah itu sudah lebih dari cukup untuk sebuah pemerintahan dengan sistem presidensial yang berada di tengah sistem multipartai. Selanjutnya, pemerintahan Prabowo-Gibran diharapkan tetap membuka ruang bagi kekuatan penyeimbang di luar pemerintahan yang memadai. Hal ini penting untuk menjaga sistem saling kontrol dalam mekanisme demokrasi dan tata kelola pemerintahan.
Sinyal oposisi
Umam memprediksi PDI-P dan PKS akan memilih tetap berada di luar pemerintahan. Sejumlah sinyal telah ditunjukkan kedua partai tersebut untuk berada di luar pemerintahan.
Pertama, ketidakhadiran Puan Maharani sebagai Ketua DPR dalam penetapan Prabowo-Gibran sebagai calon presiden dan wakil presiden terpilih oleh KPU, Rabu (24/4/2024). Puan yang merupakan putri Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri juga menjabat Ketua DPP PDI-P.
PDI-P dan PKS akan memilih tetap berada di luar pemerintahan.
Kedua, munculnya informasi dari Ketua Bidang Kehormatan DPP PDI-P Komarudin Watubun yang menyatakan adanya pemberhentian status keanggotaan Presiden Joko Widodo dan Gibran di PDI-P.
Sinyal kuat terakhir bagi pilihan politik PDI-P untuk mengambil langkah oposisi pada era pemerintahan Prabowo-Gibran ialah ketidakhadiran pasangan Ganjar-Mahfud saat penetapan pemenang Pilpres 2024.
Kemudian, ada pula sejumlah alasan Prabowo tak segera membuka pintu bagi PKS. Sejak Prabowo mendekati Jokowi pasca-kekalahannya di Pemilu 2019, Prabowo telah mencoba bertransformasi dari tokoh yang semula dicitrakan dengan kekuatan politik Islam konservatif menjadi tokoh yang lebih bercorak nasionalis lagi.
Dalam konteks ini, menurut Umam, Prabowo mencoba untuk menghapus jejak kedekatannya dengan kelompok Islam konservatif, termasuk dengan PKS. Praktis, setelah bergabung dengan pemerintahan Jokowi, Prabowo hampir tidak pernah menunjukkan kedekatan dan intensitas pertemuannya dengan elite PKS.
”Jadi, jika Prabowo membuka pintu untuk PKS pasca-kemenangannya di Pemilu 2024, hal itu akan memunculkan risiko dirinya akan dicap kembali membukakan peluang atau memfasilitasi masuknya kekuatan politik Islam kanan-konservatif ke dalam kekuasaan, yang justru akan membuat alergi kekuatan politik nasionalis, termasuk kalangan Islam moderat, khususnya komunitas nahdliyin yang terbukti memberikan dukungan politik yang memadai terhadap kemenangan Prabowo-Gibran,” ungkap Umam.
Sebenarnya, lanjutnya, Prabowo tidak punya halangan untuk menerima PKS. Ini mengingat PKS memiliki kedekatan dan pernah menjadi pendukung utama Prabowo pada Pilpres 2014 dan 2019. Namun, kemungkinan besar ada pihak-pihak di jajaran pendukung Prabowo-Gibran, terutama dari lingkaran Presiden Joko Widodo, yang menentang keinginan PKS untuk bergabung.
”Banyak sekali kebijakan publik dari pemerintahan Jokowi yang ditolak oleh PKS. Karena itu, wajar jika Jokowi dan lingkarannya memiliki resistensi tersendiri untuk memberi ruang terbuka bagi PKS di pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran,” ujar Umam.
Namun, jika pada akhirnya PKS dan PDI-P tetap akan menjadi kekuatan penyeimbang pemerintah, lanjut Umam, hal itu justru menguntungkan bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Sebab, PDI-P dan PKS ibarat air dan minyak, dengan basis ideologi kedua partai itu sangat berbeda, bahkan bertolak belakang.
”Kedua partai itu memang berpeluang bisa memainkan peran kritis dalam konteks kebijakan publik, tetapi akan kesulitan untuk membangun gerakan politik oposisional yang solid dan memadai karena ada akar faksionalisme akut akibat perbedaan ideologi,” ucap Umam.
Berbahaya bagi demokrasi
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto menyebutkan, manuver Prabowo belakangan ini sangat terlihat ingin memperbesar koalisi pendukungnya. Tujuannya agar komposisi suara pemerintah di parlemen menjadi lebih besar. ”Kalau suara pemerintah di parlemen besar, pemerintah order (pesan) apa saja, pasti akan lebih mulus jalannya,” ucapnya.
Aan khawatir, dengan bergabungnya PKB dan Nasdem, keberadaan partai penyeimbang di luar pemerintahan akan semakin kecil. Padahal, ”oposisi” sangat penting di dalam negara demokrasi. ”Kalau semua hakikatnya menjadi otokrasi, artinya hanya satu pemerintahan yang berkuasa mulai dari pemerintahan dan partainya dalam satu frame, maka tidak ada penyeimbang dan berbahaya bagi demokrasi. Seharusnya, ada posisi yang konsisten dari partai-partai yang capres-cawapresnya tak menang di Pilpres 2024,” tuturnya.
Akhirnya, lanjut Aan, dalam pilar demokrasi, selain parpol, yang bisa diharapkan tinggal masyarakat sipil dan pers. ”Tapi nanti, kalau yang menjadi penyeimbang ini lelah, ya, wasalam. Demokrasi dalam bahaya dan jangan sampai terakumulasi seperti Orde Baru. Kekuatan bertumpu pada cabang kekuasaan. Ini akan menjadi bom waktu ke depan, dan bumerang dalam demokrasi,” katanya.