Dua dari tiga responden memandang pelibatan TNI-Polri di jabatan sipil bisa mengundang TNI-Polri berpolitik praktis.
Oleh
GIANIE/LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
Publik menganggap pengisian jabatan lintas lembaga antara Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan sipil perlu dikaji dengan baik. Sebab, di antara aparatur negara tersebut ada perbedaan kompetensi dan dikhawatirkan bisa merusak sistem merit di lembaga TNI-Polri dan sipil, terutama di lembaga aparatur sipil negara.
Hasil jajak pendapat Kompas pada pertengahan Maret 2024 lalu menunjukkan opini publik yang mendua ketika ditanya soal pengisian jabatan sipil oleh TNI-Polri. Sebanyak 41,1 persen responden menyatakan tidak setuju jika jabatan sipil diisi oleh TNI-Polri yang masih aktif. Namun, persentase yang sama juga menyatakan setuju. Adapun responden yang menyatakan sangat setuju sebanyak 5,8 persen dan sangat tidak setuju 9,1 persen.
Ketika ditanya sebaliknya apakah jabatan di TNI-Polri bisa diisi oleh aparatur sipil negara (ASN), responden yang menyatakan tidak setuju jumlahnya lebih banyak, yakni 49,2 persen. Yang menyatakan sangat tidak setuju 6,3 persen. Sebaliknya, responden yang menyatakan setuju ada 34,1 persen dan yang sangat setuju 3,1 persen.
Dari sini terlihat sebenarnya publik memandang sebaiknya ada batas atau pembagian wilayah kerja (division of labour) yang tegas antara lembaga sipil dan non-sipil. Salah satu alasan yang diutarakan responden adalah kompetensi yang dimiliki TNI-Polri tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan untuk di instansi sipil negara (47,4 persen). Namun, ada juga yang berpendapat sebaliknya, jumlahnya 46,4 persen.
Munculnya polemik soal pengisian jabatan di sipil oleh TNI-Polri yang masih aktif tak lepas dari tengah dibahasnya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Manajemen ASN yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN. Menurut rencana, RPP tentang manajemen ASN ini akan diterbitkan pada 30 April 2024.
Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB), aturan mengenai pengisian jabatan sipil oleh personel TNI-Polri akan bersifat resiprokal. Artinya, pegawai ASN juga dapat mengisi jabatan di lembaga TNI-Polri.
Targetnya adalah mendapatkan talenta terbaik dari TNI-Polri untuk di sipil, dan sebaliknya. Dikatakan pula, pengisian jabatan akan diseleksi secara ketat dan disesuaikan dengan kebutuhan instansi.
Dalam Pasal 19 Ayat 2 UU tentang ASN disebutkan bahwa jabatan tertentu di ASN dapat diisi TNI dan Polri. Dalam praktiknya, selama ini terdapat sejumlah posisi di sipil yang diisi TNI. Hal itu diperbolehksan karena berdasarkan UU No 34/2004 tentang TNI terdapat sejumlah posisi yang bisa diisi oleh prajurit aktif.
Posisi itu adalah jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan, pertahanan negara, Sekretaris Militer Presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, narkotik nasional, dan Mahkamah Agung. Di luar bidang-bidang itu, prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Dalam tradisi selama ini banyak personel TNI, juga dari Polri, baik yang masih aktif maupun sudah pensiun, menduduki jabatan tertinggi di pemerintahan daerah dengan menjadi penjabat kepala daerah. Mayor Jenderal TNI Achmad Tanribali Lamo, misalnya, pernah ditunjuk menjadi Penjabat (Pj) Gubernur Sulawesi Selatan saat ia masih menjabat struktural di TNI sebagai Asisten Personalia Kepala Staf TNI AD. Namun, sehari sebelum dilantik sebagai Pj Gubernur Sulsel tahun 2008, Tanribali Lamo ditugaskan sebagai Staf Ahli Menteri Dalam Negeri.
Setelah itu, Tanribali juga pernah menjadi Pj Gubernur Sulawesi Tengah (2011), Pj Gubernur Papua Barat (2011-2012), dan Pj Gubernur Maluku Utara (2013-2014). Selanjutnya dari Polri, Komisaris Jenderal Mochamad Iriawan dilantik jadi Pj Gubernur Jawa Barat tahun 2018 saat ia menjabat Asisten Operasi (Asops) Kapolri.
Pada 2022 dan 2023, terdapat sejumlah penjabat kepala daerah yang juga berasal dari kalangan TNI/Polri, sampai kepala daerah definitif terpilih melalui Pilkada Serentak 2024. Beberapa di antaranya Brigadir Jenderal Andi Chandra As’aduddin yang menjadi Pj Bupati Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku (2022). Juga ada Mayor Jenderal Hassanudin yang menjadi Pj Gubernur Sumatera Utara (2023).
Penunjukan untuk menjabat posisi kepala daerah ini mengundang kontroversi. Hasil jajak pendapat juga menunjukkan sikap yang terbelah. Sebanyak 49,6 persen responden tidak menyetujui jika TNI-Polri menjadi penjabat kepala daerah. Sementara 47,9 persen lainnya menyatakan setuju.
Selain menganggap kompetensi TNI-Polri yang tidak sesuai dengan kebutuhan untuk jabatan sipil, kontroversi mengenai jabatan sipil diisi TNI-Polri juga muncul karena alasan yang lain. Setidaknya publik memandang ada dua hal yang menjadi dasar kekhawatiran jika TNI-Polri yang masih aktif mengisi jabatan sipil.
Pertama, dari sisi sipil, kondisi itu akan merusak sistem merit dalam penjenjangan karier di ASN. Orang-orang terbaik di ASN bisa jadi akan mengalami perlambatan karier jika posisi yang berpotensi bisa ditempatinya diisi oleh talenta terbaik dari TNI-Polri. Kondisi ini diutarakan oleh 53,7 persen responden.
Jika dilihat berdasarkan generasi, kondisi ini lebih banyak disuarakan oleh gen Z, generasi yang berada di masa-masa awal pengabdian ke negara ketika ia memilih menjadi ASN, yaitu sebanyak 61,1 persen. Sementara pada generasi lain, pendapat serupa diutarakan oleh sekitar 50 persen responden.
Alasan kedua, dari sisi non-sipil, pelibatan TNI-Polri di jabatan sipil berarti mengundang TNI-Polri untuk berpolitik praktis. Hal ini disampaikan oleh dua dari tiga responden (67,3 persen). Hal itu bisa pula berarti membuka kembali jalan bagi terjadinya dwifungsi ABRI/TNI dan ini dianggap bertentangan dengan semangat reformasi.
Jika dilihat berdasarkan generasi, pendapat tersebut lebih banyak diungkapkan oleh generasi X (73,4 persen). Sementara pada generasi yang lain, persentasenya 62-66 persen. Tingginya pendapat yang disuarakan gen X ini, generasi yang sekarang dalam rentang usia 40-54 tahun ini, bisa dimaklumi karena mereka sangat dekat dengan kelahiran masa reformasi. Bisa jadi pula mereka inilah pelopor atau pelaku-pelaku dalam gerakan reformasi. Hal itu karena pada masa reformasi, kelompok ini berada di rentang usia 16-28 tahun.
Melihat kontroversi yang potensial ditimbulkan akibat RPP manajemen ASN ini, pemerintah sebaiknya mengkaji lebih mendalam dampak dari diberlakukannya RPP itu, terutama soal pengisian jabatan lintas lembaga sipil dan non-sipil.
Banyak aspek yang harus dipertimbangkan, mulai dari prinsip dan semangat reformasi, kompetensi yang didasarkan pada division of labour yang tepat, hingga sistem jenjang karier yang tidak berbenturan atau tumpang tindih. Pengisian jabatan sipil oleh TNI-Polri sebaiknya tidak diperluas melebihi posisi yang sudah diatur dalam UU TNI.
Partisipasi publik harus dilibatkan dan didengarkan dalam pembahasan RPP yang tinggal sebulan ini. Selain hal itu untuk menghargai nilai-nilai demokrasi, juga untuk meminimalisasi potensi masalah yang muncul di kemudian hari.