Konflik Palestina-Israel Jadi Ancaman Biden pada Pemilu 2024 (I)
Isu kejahatan perang di Palestina memengaruhi posisi politik Biden di AS menjelang pemilu 2024.
Kejahatan perang yang terus terjadi di Palestina mulai memengaruhi situasi politik internal AS. Sebagai salah satu mitra strategis Israel, Pemerintah AS dipandang ikut bertanggung jawab atas genosida yang tengah berlangsung.
Tanpa adanya sikap tegas dari Pemerintah AS, isu ini bisa menjadi sandungan terbesar dalam upaya Presiden Joe Biden untuk kembali memenangi pemilu pada November mendatang.
Hingga saat ini, Biden menjadi calon tunggal dari Partai Demokrat untuk bertarung pada Pemilu AS 2024. Di tingkat pemilu pendahuluan, nama-nama seperti Dean Phillips dan Marianne Williamson tak mampu membendung laju sang petahana.
Bahkan, hasil pemilu pendahuluan ini telak dimenangi oleh Biden. Di Negara Bagian New York, misalnya, Biden mampu memperoleh lebih dari 91 persen suara. Perolehan ini jauh mengungguli Marianne Williamson dengan perolehan sebesar 4,9 persen dan Dean Phillips 3,6 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa dukungan masyarakat AS terhadap Biden masih cukup solid. Tak dapat dimungkiri, Biden memang mampu menavigasi masa sulit pascapandemi dengan cukup baik. Turbulensi ekonomi yang dirasakan pada 2021 hingga 2022, ditandai dengan laju inflasi tinggi, mampu dikendalikan hingga kini berada di titik yang cukup stabil.
Baca juga: Pemanasan Rivalitas Joe Biden dan Donald Trump pada Pemilu Presiden 2024
Sandungan isu Israel-Palestina
Meskipun begitu, isu terkait konflik Israel-Palestina justru bisa menjadi batu sandungan bagi langkah Biden untuk mengamankan jabatannya sebagai President of the United States (POTUS).
Pasalnya, sebagai mitra strategis Israel, AS memiliki beban moral terkait dengan genosida yang masih terjadi di Palestina. Beban ini diperkuat dengan masifnya bantuan militer yang dialirkan pemerintahan Biden, baik dalam bentuk pendanaan maupun persenjataan, ke Israel.
Nuansa penolakan posisi Pemerintah AS ini mulai terasa sejak awal tahun ini. Gelombang demonstrasi pro-Palestina di AS menguat. Pada Januari, contohnya, demonstrasi pro-Palestina diselenggarakan oleh United Auto Workers, salah satu serikat buruh terbesar dan tertua di AS, di Washington.
Selain diinisiasi dan diikuti oleh simpul-simpul sosial yang ternama, aksi pro-Palestina di AS juga masif secara kuantitas.
Data dari Crowd Counting Consortium (CCC), proyek dari Harvard Kennedy School dan University of Connecticut yang berupaya untuk mendokumentasikan aksi massa di AS, menunjukkan, telah terjadi lebih dari 1.800 aksi pro-Palestina yang dihadiri ratusan ribu pendemo selama Oktober hingga November 2023. Jumlah ini pun dapat dipastikan telah bertambah berkali lipat hingga pertengahan April 2024.
Pengaruh dari isu konflik Israel-Palestina ke posisi politik Biden terekam dari hasil jajak pendapat sedari awal tahun 2024.
Hasil survei oleh PBS NewsHour/Marist poll pada Januari 2024 menunjukkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat secara umum terhadap kepemimpinan Biden cukup tinggi, yakni di angka 79 persen.
Angka tersebut merosot ke kisaran 60 persen ketika responden survei ditanya soal kepuasan mereka terhadap kepemimpinan Biden dalam konteks konflik Israel dan Hamas.
Baca juga: Biden Minim Aksi Hentikan Perang Gaza
Konteks politik elektoral AS
Dalam konteks politik elektoral Biden, ancaman isu konflik ini tampak nyata. Hal ini salah satunya dapat dilihat dari hasil pemilu pendahuluan di beberapa negara bagian kunci. Negara-negara bagian ini menjadi kunci karena dapat direbut oleh Biden pada Pemilu AS 2020 setelah dimenangi oleh Trump pada Pemilu AS 2016.
Salah satu negara bagian yang masuk ke dalam kategori kritis ini adalah Michigan. Memang, suara Biden di negara bagian ini pada pemilu pendahuluan lalu absolut. Tak kurang dari 81 persen suara dikuasai sang petahana. Namun, yang perlu diperhatikan adalah tingginya angka pilihan uncommitted yang menyentuh 13 persen lebih dari total suara, atau setara dengan 101.100 pemilih.
Pilihan uncommitted, atau kadang disebut juga dengan uninstructed, ini disediakan sebagai opsi bagi pemilih apabila tidak ada calon di surat suara yang dirasa sesuai.
Di satu sisi, para simpatisan partai masih bisa ikut berpartisipasi dan menunjukkan dukungan meski tidak menentukan pilihan langsung kepada figur politisi di partai tersebut. Namun, di sisi lain, dukungan dari para pemilih dalam kategori ini berpotensi untuk bergeser dan hilang apabila partai tidak bisa menyediakan alternatif yang bisa diterima.
Tingginya angka pemilih bimbang di kalangan Demokrat Michigan ini menjadi alarm yang keras bagi Biden. Pasalnya, selisih kemenangan Biden di Michigan pada pemilu sebelumnya cukup tipis, yakni sekitar 150.000 suara.
Artinya, apabila angka kebimbangan di Michigan ini membesar, kemungkinan Biden untuk kembali menguasai negara bagian ini pun semakin mengecil pada November mendatang.
Selain di Michigan, sentimen serupa terjadi di Wisconsin. Pada Pemilu 2020, Wisconsin menjadi salah satu medan pertempuran sengit antara Biden dan Trump. Saat itu, Biden menjadi pemenang dengan selisih tipis sekitar 20.000 suara.
Pada pemilu pendahuluan Partai Demokrat pada awal April, jumlah pemilih uninstructed cukup tinggi di angka 47.000 orang, lebih dari dua kali lipat selisih kemenangan Biden pada 2020. Tak ayal, nasib Biden di negara bagian ini pada pemilu mendatang pun masih tak menentu.
Fenomena ini sangat berkaitan dengan aspek demografis pemilih AS. Di Michigan, misalnya, munculnya sentimen anti-Biden menjadi dapat dipahami apabila melihat negara bagian ini sebagai salah satu yang memiliki populasi umat Islam terbesar di AS.
Apa yang terjadi di negara bagian ini bisa menjadi preseden yang berlanjut hingga tujuh bulan ke depan. Terutama di daerah-daerah swing states dengan memiliki porsi penduduk Muslim yang signifikan.
Salah satunya ialah Illinois, negara kedua dengan persentase penduduk Muslim terbesar di AS. Secara historis, negara bagian ini termasuk ke dalam area ”berayun”, dengan tendensi lebih condong ke Partai Republik.
Meski pada 2020 Biden menang dengan cukup besar, dengan angka kemenangan di atas 57 persen, Trump bisa saja merebut negara bagian ini apabila sentimen pro-Palestina tidak dapat diakomodasi oleh Biden. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Kado Valentine Biden untuk Palestina: Larangan Deportasi