Perang ”Drone” dan Kesiapan Indonesia
Indonesia masih perlu mengejar teknologi pesawat nirawak (”drone”) sebagai bagian sistem pertahanan negara.
Penggunaan pesawat nirawak (drone) dalam dunia militer menjadi makin sering digunakan sebagai senjata ataupun bagian pertahanan negara.
Konflik di Timur Tengah (Rusia-Ukraina dan Iran-Israel) menjadi panggung kehadiran drone di mata dunia. Pemerintah perlu serius dalam penelitian, pengembangan, dan pengadaan drone bagi pertahanan negara.
Dalam sejumlah pemberitaan media massa disebutkan bahwa Iran menggunakan setidaknya 200 drone Shahed-136. Namun, sejumlah media Israel melaporkan, Iran meluncurkan drone Shahed-238 bermesin jet. Drone Shahed-238 diklaim dapat melakukan perjalanan tiga kali lebih cepat dibandingkan Shahed-136s atau versi pengembangan dari tipe Shahed-136.
Mengutip analisis dari Iran's Ashura University of Aerospace Sciences and Technologies, drone Shahed-238 mampu mencapai kecepatan 402-599 kilometer per jam karena ditopang dengan delapan aktuator yang meningkatkan stabilitas dan kemampuan manuver yang andal.
Shahed-238 dilengkapi kepala pemandu radar yang berfungsi sebagai analogi rudal antiradar yang menargetkan emisi dari radar pencari. Dari sejumlah pengamat, fitur inilah yang memungkinkan Shahed-238 mampu menetralisasi dan menembus wilayah udara Israel.
Pesawat nirawak yang dilengkapi dengan senapan serbu juga pernah digunakan Israel saat menyerang Rumah Sakit Al-Amal di Khan Younis pada 19 Januari 2024.
Bulan Sabit Merah Palestina menuding Israel telah melakukan kejahatan perang karena menyerang warga sipil yang sedang mengungsi. Namun, Israel mengklaim kota tersebut sebagai basis utama Hamas.
Selama konflik Rusia ke Ukraina yang dimulai pada 2022, kedua negara menggunakan drone, baik sebagai alat pengintaian maupun penyerangan.
Ukraina menggunakan drone Bayraktar TB2 buatan Turki selama konflik, sedangkan Rusia menggunakan Shahed-136 buatan Iran. Namun, fungsi utama drone dalam konflik Rusia-Ukraina cenderung mengarah para pengintaian, terutama pengamatan posisi artileri lawan.
Penggunaan drone telah menjadi bagian peperangan sejak abad ke-19, dimulai saat Austria menggunakan balon udara panas tanpa pilot untuk mengebom Venesia.
Pengembangan mesin terbang nirawak seperti yang dioperasikan saat ini dimulai setelah Wright bersaudara mendemonstrasikan penerbangan bertenaga dengan pesawat kendali jarak jauh pertama yang dikembangkan selama Perang Dunia Pertama.
Istilah drone digunakan setelah Inggris mengembangkan Queen Bee, pesawat terbang bersayap ganda (bi-plane) yang diubah untuk dikendalikan melalui radio dari darat.
Selama masa perang dingin, drone jarang diandalkan karena kecil dan mahal. Seorang pilot harus berada dalam jangkauan sinyal radio analog untuk menerbangkan drone sambil duduk di pesawat berawak di dekatnya.
Tentu saja, para pilot pengendali drone pada masa itu lebih sering tewas karena dipantau jaringan satelit dan pesawat mata-mata berawak supersonik yang jauh lebih canggih, seperti U-2 dan SR-71 Blackbird.
Asal muasal drone yang mengorbit di medan perang saat ini dapat dilihat dari tiga lompatan teknologi utama. Pertama, pada 1970-an dimulai pengembangan pesawat dengan sayap yang sangat panjang dan tipis sehingga dapat menahan pesawat di ketinggian selama lebih dari 24 jam penerbangan. Daya tahan menjadi ”standar” drone modern yang digemari, seperti drone General Atomics Reaper yang diproduksi AS.
Lompatan teknologi kedua terjadi ketika drone mampu menggunakan pemancar untuk mengirim rekaman langsung (real time) kepada pengendali di markas. Teknologi inilah yang digunakan NATO dalam perang Yugoslavia dan berakhir dengan Perjanjian Dayton. Pada tahap ini, drone tidak lagi menggunakan gelombang pemancar radio, tetapi ditransmisikan melalui jaringan satelit.
Inilah yang kemudian menginspirasi AS untuk melakukan lompatan ketiga dengan memasangkan rudal pada drone di era 2000-an. Drone pemburu inilah yang dikendalikan oleh satelit dan memungkinkan pilot mengendalikan pesawat mereka dari belahan dunia lainnya.
Pengembangan teknologi drone dan produksinya terjadi secara besar-besaran di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama yang kemudian dilanjutkan di era kepemimpinan Presiden Donald Trump.
Baca juga: Abaikan Desakan PBB, Israel Pertimbangkan Balas Serangan Iran
Kesiapan ”Drone” Indonesia
Melalui Litbang Kementerian Pertahanan RI, wacana untuk serius menggarap drone sebagai bagian dari sistem pertahanan sudah dimulai sejak 2017.
Rajawali 720 menjadi drone pertama buatan dalam negeri yang berfungsi sebagai pesawat pengintai dan dilengkapi kamera yang menghasilkan gambar ataupun video. Pesawat ini juga bisa terbang hingga ketinggian mencapai 8.000 meter dan kecepatan mencapai 135 kilometer per jam.
Sebagai langkah lanjutan, Kemenhan RI turut menunjuk sembilan perusahaan yang tergabung dalam industri strategis dalam negeri untuk mengembangkan drone ke depan.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), dan beberapa universitas, termasuk dalam sembilan industri yang diharapkan mampu memproduksi drone untuk kepentingan militer di Indonesia.
Setidaknya, hingga kini, TNI memiliki sejumlah drone yang diperkenalkan kepada publik. Misalnya, Schiebel Camcopter S-100 buatan Austria yang dimiliki oleh Pusat Penerbangan TNI Angkatan Laut (Puspenerbal). Schiebel Camcopter S-100 diklaim mampu terbang hingga 10 jam dan memiliki kecepatan maksimum hingga 220 kilometer per jam dengan ketinggian terbang maksimum 5.500 meter.
Berikutnya ada ScanEagle buatan AS yang diklaim mampu terbang setinggi 5.943 meter dan bertahan di udara selama 24 jam.
Selain itu, ada CH-4 buatan China yang merupakan drone tempur berjenis medium altitude long endurance (MALE) dengan satelit Beyond Line of Sight (BLOS). Terakhir, buatan dalam negeri bernama Elang Hitam dengan jenis MALE dan mampu terbang di ketinggian sekitar 9.000 meter.
Elang Hitam dirancang dan dibangun oleh konsorsium Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Pertahanan, TNI AU, PT Dirgantara Indonesia, dan PT Len Industri. Pada September 2022, BRIN resmi mengalihkan proyek drone kombatan Elang Hitam dari platform militer ke versi sipil.
Namun, seturut pandangan peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Beni Sukadis, pengembangan pesawat nirawak di Indonesia belum optimal dan masih butuh waktu panjang untuk meningkatkan kapabilitasnya. Pengembangan drone nasional dinilai lebih fokus pada aspek intelijen, pengawasan, dan pengintaian (intelligence, surveillance, reconnaissance/ISR) (Kompas, 14 April 2024).
Padahal, fungsi intelijen dan pengawasan merupakan kemampuan paling rendah dari pemanfaatan drone. Sebab, fungsi ini sebatas pada pengumpulan informasi dengan kemampuan fotografik dan pemetaan di wilayah musuh.
Sejauh ini, kekuatan pertahanan negara masih dapat bergantung pada kekuatan TNI Angkatan Udara yang memiliki dua skuadron pesawat nirawak di Pontianak, Kalimantan Barat, dan Natuna. Menurut rencana, TNI AU juga akan menambah dua skuadron lagi di Tarakan, Kalimantan Utara, dan Malang, Jawa Timur.
Sementara untuk anti-drone, Artileri Pertahanan Udara TNI Angkatan Darat memiliki rudal Grom dan TNI Angkatan Laut memiliki armada fregat jenis Misral. Baik Grom maupun Mistral masuk kategori SHORAD, rudal ringan untuk sasaran jarak pendek. Untuk sistem peluncurnya, TNI AL memiliki Mistral dengan dua platform, yakni Tetral dan Simbad.
Jika Simbad dioperasikan secara manual oleh operator, Tetral dapat dioperasikan dari pusat informasi tempur. Satuan Kapal Eskorta TNI AL memiliki empat kapal yang dilengkapi unit korvet untuk meluncurkan rudal Mistral Tetral. Keempatnya ialah KRI Diponegoro 365, KRI Hasanuddin 366, KRI Sultan Iskandar Muda 367, dan KRI Frans Kaisiepo 368.
Baca juga: Peran ”Drone” Kian Strategis untuk Pertahanan
Masuk rencana
Perencanaan serius dalam pengembangan ppesawat nirawak menjadi implementasi atas Permenhan Nomor 12 Tahun 2021 tentang Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara Tahun 2020-2024.
Dalam poin h disebutkan, Kelembagaan Industri Pertahanan memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam peningkatan kemampuan pertahanan udara untuk melindungi wilayah udara nasional, termasuk Zona Identifikasi Pertahanan Udara (Air Defense Identification Zone/ADIZ) dan Sistem Identifikasi Pertahanan Udara (Air Defense Identification System/ADIS) di Indonesia.
Kemampuan TNI untuk beradaptasi dengan teknologi militer, seperti penggunaan drone, turut ditegaskan dalam Strategi Pertahanan Nusantara.
Disebutkan, adaptasi sistem teknologi persenjataan menjadi hal penting dalam mempertahankan Mandala Luar (lapis pertama di luar ZEE) dan Mandala Utama (lapis kedua di luar ZEE). Mengingat sebagian besar batas wilayah Indonesia dikelilingi perairan, penangkalan di dua mandala tersebut menjadi aspek krusial pertahanan negara.
Kementerian Pertahanan RI juga terus mendorong perguruan tinggi dan industri pertahanan bekerja sama melakukan penelitian, pengembangan, dan perekayasaan yang dibutuhkan.
Sinergitas untuk membangun industri pertahanan nasional inilah yang disebut-sebut sebagai konsep Triple Helix. Dalam prosesnya, sinergi ini diklaim telah berhasil memproduksi pesawat tanpa awak dan kapal selam tanpa awak.
Meski demikian, tampaknya fokus pemerintah masih pada pengadaan alutsista seiring menunggu pengembangan dari industri lokal.
Pengadaan drone dan anti-drone masuk dalam Rencana Strategis (Renstra) 2024-2029. Dengan melihat kemajuan teknologi drone dalam konflik antarnegara saat ini, Indonesia masih perlu serius dan berkomitmen untuk pengembangan drone. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: ”Drone” Tempur Iran Versus Pertahanan Berlapis Israel