Karakteristik geomorfologi Indonesia menyimpan sumber daya alam sekaligus ancaman bencana yang mahadahsyat.
Oleh
YOESEP BUDIANTO
·4 menit baca
Karakteristik geomorfologi Indonesia menyimpan segudang potensi sumber daya alam sekaligus ancaman bencana yang maha dahsyat. Potensi dan ancaman tersebut adalah hasil proses jutaan tahun dari gejolak vulkanisme di Nusantara.
Negara kepulauan yang dibentuk dari pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia ini memiliki deretan ratusan gunung api. Tercatat setidaknya ada 127 gunung api yang membentuk busur kepulauan Nusantara, membentang dari ujung barat Pulau Sumatera hingga ujung timur di Kepulauan Sangihe Talaud.
Berdasarkan pantauan Badan Geologi, saat ini ada tujuh gunung api dengan status aktivitas vulkanik hingga erupsi yang membahayakan penduduk sekitar. Satu gunung api telah naik ke Level IV atau berstatus Awas, yaitu Gunung Ruang di Sulawesi Utara. Letusan eksplosif terjadi berulang dari Gunung Ruang hingga ketinggian kolom abu mencapai 3.000 meter dari puncaknya.
Enam gunung lainnya yang berstatus Siaga adalah Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Gunung Awu di Sulawesi Utara, Gunung Ili Lewotolok di NTT, Gunung Marapi di Sumatera Barat, Gunung Merapi di Yogyakarta, dan Gunung Semeru di Jawa Timur. Status Siaga menunjukkan peningkatan aktivitas gunung api yang semakin nyata, termasuk kemungkinan erupsi dalam waktu dekat sehingga membahayakan daerah sektiarnya.
Gunung api di Indonesia mencakup 13 persen dari total gunung api di seluruh dunia. Sebanyak 76 gunung api masuk kategori sangat aktif, ditandai sejarah erupsi sejak tahun 1600-an hingga sekarang. Berdasarkan catatan Badan Geologi, ada tiga gunung api aktif yang berada di bawah laut, yaitu gunung Buana Wuhu/Sangir, Hobal, dan Emperor of China/Flores.
Deretan gunung api menyimpang risiko bencana yang sangat besar bagi umat manusia. Tingkat kekuatan letusan gunung di Indonesia bersifat tinggi dengan lontaran material lepas yang lebih dominan dibandingkan material vulkanik dari dalam tubuh gunung api. Material lepas dari erupsi sangat berbahaya, selain karena ukurannya yang cukup besar, juga kondisi material tersebut sangat panas dan dilontarkan dengan kecepatan tinggi dari puncak gunung api.
Salah satu bukti kedahsyatan letusan gunung api di Indonesia adalah erupsi Gunung Ruang di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro atau Sitaro, Sulawesi Utara, pada Selasa (16/4/2024). Badan Geologi mencatat muncul asap kawah dengan ketinggian 200-500 meter dari puncak pada Selasa pagi. Tak berselang lama, erupsi intensitas lemah terjadi pada siang hari.
Pada malam hari terjadi erupsi eksplosif dengan estimasi tinggi kolom abu mencapai 2.000 meter dari puncak. Beberapa jam kemudian, erupsi kembali terjadi dengan ketinggian kolom erupi 2.500 meter. Letusan eksplosif kedua disertai suara gemuruh dan dentuman cukup keras. Setelahnya, erupsi terjadi secara berkala hingga tercatat kolom abu dengan ketinggian mencapai 3.000 meter.
Pengamatan Badan Geologi pada 1-17 April menyebutkan bahwa telah terjadi gempa vulkanik 2.008 kali. Sebanyak 72 persennya merupakan gempa vulkanik dalam. Selama periode erupsi pada 16 dan 17 April, aktivitas gempa vulkanik mengalami eskalasi hingga berkali lipat. Berdasarkan pengamatan visual dan instrumental, tingkat aktivitas Gunung Ruang dinaikkan menjadi Level IV atau berstatus Awas.
Aktivitas vulkanik tersebut memaksa evakuasi 828 orang dari Desa Laingpatehi dan Pumpente. Bupati setempat juga telah menetapkan status tanggap darurat melalui SK Bupati Sitaro Nomor 100/2024 terhitung selama 14 hari, yakni pada 16-29 April 2024. Periode tanggap darurat digunakan untuk mempercepat penanganan dampak bencana, termasuk proses evakuasi dan rehabilitas penyintas.
Risiko erupsi
Sejarah erupsi gunung api Indonesia sangat panjang, bahkan beberapa letusan bersifat katastropik hingga berpengaruh pada iklim global dan mengancam peradaban manusia. Letusan Gunung Tambora pada April 1815 menjadi salah satu erupsi maha dahsyat gunung api di Nusantara, bahkan global. Apabila letusan Gunung Merapi 2010 melontarkan 140 juta meter kubik material, Gunung Tambora seribu kali lebih banyak material yang dikeluarkan (150 miliar meter kubik).
Penelitian oleh Igan Supriatman Sutawidjaja tahun 2006, ”Characterization of Volcanic Deposits and Geoarchaeological Studies from the 1815 Eruption of Tambora Volcano”, mengungkap, distribusi awan panas diperkirakan mencapai area 820 kilometer persegi dengan ketebalan awan panas rata-rata 7 meter. Total korban jiwa mencapai 92.000 jiwa di wilayah Sumbawa dan Lombok.
Erupsi lebih dahsyat yang pernah tercatat di sejarah peradaban manusia, selain Gunung Tambora, adalah letusan Gunung Toba di Sumatera. Letusan tersebut terjadi pada 74.000 tahun silam dan menyebabkan gangguan iklim global hingga enam tahun. Dampak letusan tersebut juga memusnahkan sebagian besar spesies flora dan fauna, bahkan kehidupan manusia purba di zaman itu.
Letusan Gunung Tambora dan Toba menjadi fakta bahwa bayang-bayang bencana vulkanologi selalu ada di Indonesia. Badan Geologi juga mencatat saat ini ada 76 gunung api aktif di seluruh Nusantara. Dokumen IRBI 2023 BNPB menyebutkan, ada sekitar 5,86 juta penduduk Indonesia yang rentan terdampak erupsi gunung api. Sementara kerugian ekonomi diestimasi mencapai Rp 8,5 triliun dan kerugian infrastruktur sebesar Rp 3,6 triliun.
Secara geografis, BNPB menilai, wilayah Jawa Barat memiliki jumlah terbanyak penduduk yang berisiko terdampak erupsi gunung api, yaitu 1,57 juta jiwa. Angka tersebut diikuti Jawa Tengah sebanyak 1,19 juta jiwa. Meskipun Jawa Barat dan Jawa Tengah memiliki jumlah penduduk terbanyak berisiko terdampak bencana, kerugian ekonomi terbesar berada di Jawa Timur yang sebesar Rp 1,98 triliun.
Mitigasi bencana
Basis pengurangan risiko bencana erupsi gunung api dilakukan melalui penguatan upaya mitigasi di level komunitas. Upaya ini dapat dimulai dari kesetaraan pemahaman tentang bahaya dan risiko bencana vulkanologi di lingkungan tempat tinggal masyarakat. Salah satu instrumen yang dapat digunakan adalah peta Kawasan Peta Bencana (KRB).
KRB terbagi menjadi tiga, yaitu Level I, II, dan III. KRB Level III mencakup wilayah paling dekat dengan sumber bahaya, yaitu kawah gunung api, sehingga dapat dipastikan terdampak awan panas, aliran lava, guguran batu, hingga hujan abu lebat. Sementara KRB Level II dan I terletak lebih jauh dari sumber bahaya.
Erupsi Gunung Ruang menjadi pengingat kembali terhadap risiko besar bencana vulkanologi di Indonesia. Setiap peristiwa letusan gunung api adalah duka bagi warga terdampak sekaligus pembelajaran penting bagi seluruh orang. Karenanya, masyarakat Indonesia dituntut untuk sadar bencana sehingga memiliki kapasitas adaptasi dan mitigasi yang memadai. (LITBANG KOMPAS)