Joko Pinurbo Tuntas Menunaikan Ibadah Puisi
Karya sastra Joko Pinurbo yang sederhana punya makna dalam. Karyanya menginspirasi dan memperkaya sastra Indonesia.
Joko Pinurbo (61) tutup usia pada Sabtu (27/4/2024) di Yogyakarta. Puisi-puisinya yang sederhana, jenaka, tetapi bermakna dalam dianggap telah memperkaya khazanah susastra Indonesia.
Semasa hidup, Jokpin, begitu dia biasa disapa, dikenal sebagai pribadi yang rendah hati, hangat, dan tulus. Penulis Warih Wisatsana mengenangnya sebagai sahabat sekaligus harta karun bagi dunia sastra Indonesia.
Warih meyakini bahwa Jokpin telah memetakan karya para penyair dari generasi terdahulu, generasi Jokpin, dan generasi baru. Hal ini membuat Jokpin mampu menegaskan sikap estetiknya sendiri dalam berkarya.
”Karyanya dibaca sebagai sesuatu yang penuh ironi, parodi, dan seakan ditulis dengan ringan. Tetapi, saya meyakini bahwa itu dilakukan dengan penuh pertimbangan terhadap bunyi, arti, pemilihan metafor, dan tema yang diangkat. Seakan-akan (temanya) sehari-hari, tetapi sesungguhnya itu hasil pergulatan panjang yang melahirkan suatu ragam estetika yang memperkaya susastra Indonesia,” ucap Warih saat dihubungi secara terpisah, Sabtu.
Jokpin telah melahirkan sejumlah karya, termasuk buku kumpulan puisi. Beberapa di antaranya adalah Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Kepada Cium (2007), Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016), Perjamuan Khong Guan (2020), Kabar Sukacinta (2021), dan Epigram 60 (2022).
Baca juga: Joko Pinurbo Meninggal, Indonesia Kehilangan Penyair Terbaik
Seperti judulnya, puisi-puisi Jokpin membahas hal-hal sederhana dari kehidupan dan barang sehari-hari. Diksi dalam puisinya juga sederhana, tetapi mampu ”menyentil” pembacanya. Puisinya pendek alias singkat, jelas, dan padat. Karena kesederhanaannya pula, puisi Jokpin tidak sukar dipahami, bahkan oleh orang yang mengaku bukan penikmat puisi.
Cermin kehidupan sosial
Warih menambahkan, karya Jokpin sebetulnya merekam kehidupan sosial, budaya, dan politik negeri selama 30 tahun terakhir. ”Semua itu menggambarkan kerja intelektual Jokpin yang panjang. itu yang diwariskan ke generasi penyair berikutnya.”
Mari kita buka apa isi kaleng Khong Guan ini: biskuit, peyek, keripik, ampiang, atau rengginang?// Simsalabim. Buka!// Isinya ternyata ponsel, kartu ATM, tiket, voucer, obat, jimat, dan kepingan-kepingan rindu yang sudah membatu.
Demikian salah satu puisi karya Jokpin berjudul ”Agama Khong Guan” dalam buku Perjamuan Khong Guan. Buku berisi 80 judul puisi tersebut diluncurkan bersama puluhan orang di toko buku Gramedia, Jakarta, pada 26 Januari 2020.
Kala itu, Jokpin menjelaskan bahwa bukunya bukan sekadar bicara soal merek biskuit. Buku soal Khong Guan justru lahir dari pemikiran Jokpin soal cinta dan keberagaman. Ia terinspirasi dari tulisan di internet tentang Abdurrahman Wahid atau Gus Dur saat berkisah tentang kunjungannya ke Madura.
Presiden keempat Indonesia itu menguji audiens nama-nama agama di Indonesia. Alih-alih menyebut Khonghucu, audiens malah menjawab Khong Guan. Gus Dur tertawa dan kelakar soal agama Khong Guan muncul.
Lelucon itu menjadi inspirasi Jokpin untuk bercerita. Ia ingin agar para pembaca ikut memikirkan persaudaraan dan cinta kasih antarumat manusia. Khong Guan dinilai sebagai media bercerita yang tepat karena sederhana dan melekat di benak masyarakat.
”Saya mau ajak orang memperhatikan isu-isu yang mungkin mencakup wilayah negara. Namun, saya tidak mau bikin bahasan ini jadi menyeramkan,” katanya (Kompas.id, 26/1/2020).
Baca juga: Mari Makan Khong Guan Sambil Bicara Cinta
Inspirasi generasi muda
Joko Pinurbo termasuk salah satu penyair ”senior” yang populer hingga ke kalangan anak muda. Ia tak gagap dengan perkembangan zaman. Ia cukup aktif di media sosialnya yang diikuti ribuan pengikut.
Menurut Warih, Jokpin mengerti peradaban dan realitas virtual yang terjadi saat ini. Kesederhanaan sajak Jokpin justru malah memberi ruang para pembaca untuk berimajinasi sendiri.
Di sisi lain, penulis Gratiagusti Chananya Rompas mengatakan, Jokpin adalah salah satu orang yang mendorongnya untuk terus menulis puisi dan mengirimkannya ke media massa. Karya Jokpin pula—yakni buku Celana—yang menginspirasinya untuk membentuk komunitas Bunga Matahari tahun 2005. Anggota komunitas itu bermain sembari mengasah kemampuan berpuisi saat berkumpul.
”Jokpin datang ke salah satu sesi open mic dan kami berkenalan. Jokpin menyemangati kami sebagai penyair-penyair muda untuk terus berkarya,” ucap penulis yang akrab dipanggil Anya ini. ”Kami lebih kayak teman saat ngobrol. Jokpin melihat saya sebagai penyair muda, tetapi bukan penyair yang tidak setara dengan dia,” tambah Anya yang suami dan anaknya dekat dengan Jokpin.
Dari karya Jokpin pula Anya belajar soal ekonomi kata. Menurut dia, setiap kata dalam karya Jokpin selalu berfungsi. Itu sebabnya Jokpin mampu membuat puisi pendek yang bermakna besar.
”Puisi-puisi Jokpin di buku Celana sangat segar dan itu membuat saya merasa bahwa puisi tidak harus pakai kata yang berbunga-bunga. Bisa saja pakai kata sehari-hari. Puisi juga boleh galau, tetapi bisa juga bercanda lewat puisi. Jokpin memengaruhi saya tentang bagaimana memandang puisi,” tambah penulis buku puisi Non-Spesifik ini.
Hidup dari kata-kata
Sepenuhnya, Philipus Joko Pinurbo hidup dari kata-kata. Bahkan, kata-kata yang digunakan adalah kata-kata sehari-hari yang bisa menjadi puisi jenaka dan dalam.
Demikian disampaikan Butet Kertaredjasa, mengenang rekannya, Joko Pinurbo. ”Saya tahu betul, Jokpin sepenuhnya hidup dari kata-kata. Terakhir kali saya datang ke rumahnya pada 27 Maret 2024, ia mengeluhkan ’reward’ ekonomi bagi literasi puisi sekarang begitu rendah,” ujar Butet, Sabtu, di Jakarta.
Butet berada di Jakarta dalam rangka pembukaan pameran tunggal seni rupa yang bertajuk ”Melik Nggendong Lali” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Pameran dengan kurator Asmudjo J Irianto itu berlangsung 26 April hingga 25 Mei 2024.
Sewaktu Butet mengunjungi Jokpin di rumahnya, mereka sempat bercanda. Butet mengajak Jokpin nyengget (meraih) mukjizat kesembuhan, karena dirinya juga pernah nyengget mukjizat kesembuhan seperti itu. ”Jokpin lalu memperlihatkan dengkul, kaki, atau tangannya, dan mengatakan sudah tinggal tulang. Kemudian Jokpin malahan bercerita yang aneh-aneh,” ujar Butet.
Jokpin sering mengalami halusinasi visual. Ia mengatakan sering melihat ada orang berjubah putih di hadapannya. Menurut Butet, halusinasi seperti itu pernah diungkapkan Jokpin kepada dirinya sewaktu mereka bertemu pada November 2023. Butet mengunjungi Jokpin di rumah. Saat itu ia sudah kritis dengan penyakit yang menyerang paru-parunya. Kemudian Butet secara diam-diam menghimpun dana untuk biaya perawatan kesehatan Jokpin.
Bagi Butet, kiprah Jokpin di dunia sastra puisi sangatlah mengesankan. Suatu kali, dalam puisinya secara khusus diperuntukkan bagi dirinya dan almarhum Djaduk Ferianto, adiknya. ”Saya lupa judulnya,” kata Butet.
Butet juga terkesan dengan puisi-puisinya yang melawan politik identitas. Ia pernah meminta izin untuk memasukkan puisi Jokpin ke dalam karya visualnya. Butet pun berjanji akan membagi dua jika lukisannya itu terjual. Dan, benar terjual. ”Saya menuliskan puisi Jokpin, ’Apa agamamu? Agamaku adalah air yang membersihkan pertanyaanmu’. Ini puisi yang jenaka dan begitu dalam,” ujar Butet.
Butet terkesan dengan penggunaan frasa ”membersihkan pertanyaanmu”. Itu mengisyaratkan pertanyaan tentang apa agamamu itu kotor. Jokpin tidak ingin menghapus, tetapi sekadar membersihkan yang kotor tersebut.
Selain berpuisi, Jokpin juga menulis cerita. Beberapa cerpennya dimuat di media massa, bahkan terpilih menjadi isi dari buku kumpulan Cerpen Pilihan Kompas tahun 2013, 2014, dan 2015. Ia juga menjajal penulisan novel. Novel perdananya berjudul Srimenanti dan terbit pertama kali pada 2019.
Penyair yang berbasis di Yogyakarta ini mendapatkan sejumlah penghargaan atas karya sastranya. Menurut laman Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Jokpin menerima Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta pada 2001. Pada tahun yang sama, ia menerima Hadiah Sastra Lontar dan menjadi Tokoh Sastra Pilihan Tempo.
Baca juga: Joko Pinurbo, Tamasya Rohani dalam Puisi
Ia juga menerima Penghargaan Sastra Badan Bahasa Kemendikbud (2002), Kusala Sastra Khatulistiwa (2005), Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2012), Penghargaan Sastra Badan Bahasa Kemendikbud (2014). Penghargaan lainnya adalah Southeast Asia Writers Award (2014), Kusala Sastra Khatulistiwa (2015), dan Anugerah Kebudayaan Gubernur DIY (2019).
Joko Pinurbo telah meninggalkan kenangan manis serta karya yang telah mewarnai dunia sastra Indonesia. Selamat jalan dan selamat menunaikan ibadah puisi di alam seberang.